Papua, Ujian Terakhir Bagi Keadilan di Negeri Ini
Guru Menulis | 2025-06-11 06:16:07
Di tanah yang kaya akan emas, tembaga, hutan lebat, dan sungai-sungai besar itu, anak-anak masih kelaparan. Mereka duduk di ruang kelas reyot, tanpa guru yang cukup, tanpa buku yang layak, dan tanpa harapan pasti akan masa depan yang setara dengan saudara mereka di bagian barat negeri. Dalam bayang-bayang kekayaan sumber daya alam, yang mengalir deras ke pusat, rakyat Papua masih menggigil dalam kemiskinan yang diwariskan dari masa ke masa.
Lima puluh tahun yang lalu, rakyat Papua dijanjikan masa depan yang lebih baik ketika Indonesia memeluk mereka ke dalam pangkuan republik. Narasi nasional menyebutnya sebagai integrasi; rakyat Papua menyebutnya dengan berbagai nama—di antaranya ada yang menyebutnya luka. Mereka berharap Indonesia akan menjadi ibu yang mengayomi, bukan penjajah baru yang mengganti warna benderanya tapi melanjutkan warisan kolonial: mengeruk, mengeksploitasi, lalu meninggalkan.
Sayangnya, bagi banyak orang Papua, pengalaman yang mereka rasakan selama ini lebih menyerupai penjajahan ketimbang pengayoman. Pemerintah pusat datang dengan janji, tetapi juga dengan senjata. Hadir dengan pembangunan, tetapi juga dengan ketakutan. Membangun jalan raya, tapi membiarkan sekolah terbengkalai. Mengumbar kata “kemajuan”, tetapi gagal menyembuhkan trauma dan luka sejarah yang mendalam.
Kini, ketika Presiden Prabowo Subianto memulai masa pemerintahannya, pertanyaan besar pun menggema: apakah beliau akan membiarkan anak-anak Papua terus hidup dalam kemiskinan yang tak berkesudahan? Apakah pemerintahannya akan tetap memakai pendekatan keamanan sebagai wajah negara di Papua, ataukah berani beralih pada pendekatan kemanusiaan yang mendengar, memulihkan, dan mengangkat martabat?
Papua tidak butuh lebih banyak pasukan. Papua butuh lebih banyak guru, dokter, pustakawan, dan pekerja sosial. Butuh negara yang hadir dengan hati nurani, bukan dengan laras panjang. Butuh pembangunan yang tidak hanya membangun infrastruktur, tetapi juga manusia. Karena yang sedang runtuh di Papua bukan hanya bangunan, tetapi juga kepercayaan.
Kita sering bangga menyebut Indonesia sebagai negara demokratis yang berdaulat. Namun, selama rakyat Papua masih merasa terasing di tanahnya sendiri, selama anak-anak di sana masih bertanya mengapa mereka selalu tertinggal, selama air mata para ibu Papua jatuh dalam sunyi karena lapar dan kehilangan, maka kemerdekaan itu masih setengah jalan.
Ini bukan hanya soal Papua. Ini soal kita semua. Karena Papua adalah cermin yang menunjukkan siapa kita sebenarnya sebagai bangsa. Apakah kita benar-benar menjunjung tinggi sila kelima Pancasila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Ataukah sila itu hanya berhenti sebagai hafalan dalam upacara bendera?
Sejarah akan mencatat. Dan dunia akan melihat. Apakah Indonesia, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, mampu menyalakan harapan baru bagi Papua? Ataukah membiarkan luka lama terus bernanah dan keadilan menjadi barang mewah yang tak pernah sampai di timur matahari?
Saatnya berhenti bicara soal nasionalisme sambil memunggungi ketidakadilan. Papua bukan sekadar wilayah. Papua adalah nurani. Dan selama nurani itu terus berteriak, maka bangsa ini belum benar-benar merdeka.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
