
Raja Ampat yang Terjerat
Bisnis | 2025-06-10 17:08:51
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, memutuskan untuk menghentikan sementara operasional tambang nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat Daya yang dikelola oleh PT. GAG Nikel.
Keputusan tersebut muncul setelah isu penambangan dan hilirisasi nikel di Raja Ampat, Papua menjadi sorotan publik. Terutama setelah sejumlah aktivis Greenpeace Indonesia melakukan aksi damai dalam acara Indonesia Critical Minerals Conference & Expo di Hotel Pullman pada Selasa, 3 Juni 2025.
Hilirisasi di Raja Ampat memang patut mendapat atensi publik. Penambangan nikel di wilayah itu pasti menjadi ancaman bagi keberlangsungan keanekaragaman hayati dan ekosistem setempat.
Diketahui bahwa kawasan Raja Ampat memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Beberapa jenis ikan hanya bisa hidup di Raja Ampat. Salah satunya adalah pari manta yang dilindungi, khususnya pari manta karang dan pari manta oseanik yang terancam punah. Selat Dampier, Raja Ampat memiliki arus deras yang baik untuk habitat pari manta.
Keberadaan tambang nikel pasti akan mengganggu kehidupan di biota laut ini. Juga terumbu karang pun bisa rusak akibat lalu lalangnya kapal tongkang pengangkut nikel yang melintasi wilayah Raja Ampat. Penambangan nikel juga mengancam kehidupan satwa papua yang hidup di kawasan tersebut. Salah satunya adalah cendrawasih botak yang merupakan spesies endemik dan hanya ditemukan di wilayah Raja Ampat.
Greenpeace juga mencatat bahwa lebih dari 500 hektar hutan dan vegetasi alami di Pulau Gag, Pulau Kawe dan Pulau Manuran telah rusak akibat aktivitas tambang di pulau-pulau kecil tersebut. Meskipun sudah ada UU No. 1 Tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, aktivitas pertambangan di wilayah tersebut dilarang. Namun, pelarangan semua undang-undang itu tidak berarti bagi para kapital, dalam hal ini mereka adalah perusahaan tambang.
Undang-undang tersebut dibuat oleh negara yang menerapkan sistem kapitalisme.
Ekonomi kapitalisme mengenal kebebasan kepemilikan, siapapun yang memiliki modal, maka mereka bisa menguasai apapun untuk mendapatkan keuntungan sekalipun itu harus mengorbankan alam. Pelestarian lingkungan hanyalah omong kosong ketika sebuah negara masih menerapkan ekonomi kapitalisme.
Upaya pelestarian alam membutuhkan waktu yang lama dan detail. Kepemimpinan yang bisa mengatur itu adalah kepemimpinan yang berfungsi sebagai rain dan junnah. Kepemimpinan seperti ini hanya ada dalam sistem Islam yaitu Khilafah. Berbicara mengenai masalah ini, syariat Allah memberikan batasan yang jelas agar kekayaan alam di daerah itu tetap terjaga kelestariannya secara alamiah.
Ekosistem hutan memiliki fungsi hidrologis, produksi oksigen, agregator tanah dan pencegah erosi. Ekosistem laut secara alamiah memiliki fungsi sebagai habitat bagi jutaan kehidupan laut, pengatur iklim global, sumber makanan bagi manusia dan berperan sebagai siklus hidrologi. Oleh karena itu, harus ada mekanisme untuk konservasi alam.
Di dalam Islam, konservasi alam ini dikenal sebagai hima. Praktik hima dilakukan pada harta milik umat. Yaitu, umat berserikat dalam tiga hal, air, api, dan padang gembala. Kepemilikan umum ini tidak dibolehkan untuk dikelola swasta, apalagi musuh negara. Maka sejatinya, umat Islam hari ini sungguh benar-benar membutuhkan pengaturan dari Negara Islam yang mampu melaksanakan aturan syariat Islam dengan sempurna.
Retizen: Maulinda Rawitra Pradanti
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.