Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Odjie Samroji

Kisah Pilu Dunia Pendidikan, Hak yang Masih Mahal untuk Si Miskin

Guru Menulis | 2025-06-09 22:20:56
Ilustrasi Remaja | Foto : Pixabay.com

Di sebuah sudut Cirebon, seorang gadis muda bernama MM memutuskan sesuatu yang memilukan: mencoba mengakhiri hidupnya karena tidak mampu membayar biaya sekolah. Ia bukan anak yang malas atau tak peduli masa depan. Justru sebaliknya, MM dikenal sebagai gadis berprestasi, pekerja keras, dan punya mimpi besar. Namun sayangnya, mimpi itu harus kandas hanya karena satu hal yang terlalu sering menghalangi langkah anak-anak cerdas dari keluarga kurang mampu: kemiskinan.

MM sempat mencicipi bangku SMA Negeri, sebuah pencapaian yang patut dibanggakan. Tapi kebanggaan itu tak bertahan lama. Setelah hanya satu semester, ia terpaksa berhenti karena tak mampu membayar kebutuhan sekolah. Tak lama kemudian, ia diusir dari tempat kos karena menunggak bayaran. Dengan sisa semangat yang ia punya, MM tidak menyerah begitu saja. Ia memilih bekerja sebagai pelayan toko buah, menerima upah harian sebesar Rp 20 ribu, dan tinggal di tempat kerjanya. Semua itu ia lakukan demi satu tujuan: kembali bersekolah di tahun ajaran baru 2025/2026.

Namun realita begitu kejam. Uang hasil jerih payahnya selama 15 hari belum juga cukup untuk menutupi biaya sekolah yang terus mendekat. Tekanan ekonomi, keterbatasan pilihan, dan beban mental yang berat akhirnya membuat MM menyerah. Ia mencoba bunuh diri, berharap setidaknya bisa mengakhiri rasa sesak yang selama ini menghimpit dadanya. Beruntung, nyawanya masih bisa diselamatkan. Tapi bisakah kita bilang ia benar-benar selamat?

Kisah MM bukan sekadar kabar duka. Ia adalah tamparan keras bagi wajah dunia pendidikan kita yang selama ini digembar-gemborkan sebagai jalan keluar dari kemiskinan. Kenyataannya, bagi sebagian orang, pendidikan justru menjadi pintu tertutup yang hanya bisa dibuka dengan uang. Sistem pendidikan kita—meskipun diklaim gratis dan inklusif—ternyata masih menyisakan banyak celah bagi ketimpangan. Biaya seragam, buku, transportasi, hingga tempat tinggal seringkali menjadi batu sandungan yang tak kasatmata, tapi sangat menentukan.

Ironis rasanya hidup di negeri yang katanya beradab dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, tapi masih membiarkan anak-anak seperti MM terjerembap dalam putus asa. Apakah kita masih bisa menyebut pendidikan sebagai “hak semua warga negara” jika hanya bisa dinikmati oleh mereka yang punya cukup uang?

Pemerintah mungkin sudah menganggarkan berbagai bantuan pendidikan, tetapi pelaksanaannya sering tak menyentuh mereka yang benar-benar membutuhkan. MM tidak sendirian. Di banyak pelosok negeri, ada begitu banyak anak-anak sepertinya yang dipaksa dewasa sebelum waktunya, bekerja untuk hidup, dan mengorbankan pendidikan demi bertahan.

Ini bukan hanya soal kebijakan. Ini soal nurani. Ini tentang bagaimana kita sebagai masyarakat, sekolah, dan pemangku kebijakan memandang pendidikan: apakah sebagai barang publik yang harus dijamin untuk semua, atau sebagai komoditas yang hanya bisa diakses oleh mereka yang mampu membayar? Kita tidak boleh hanya diam, apalagi menormalisasi kisah tragis seperti ini. Setiap anak berhak bermimpi, dan tugas kita bersama adalah memastikan mimpi itu tidak padam hanya karena mereka miskin.

Sudah saatnya kita berhenti sekadar prihatin. Kita butuh aksi nyata. Kita bisa mulai dari hal kecil: membantu satu anak putus sekolah di lingkungan kita, menyumbang ke lembaga sosial pendidikan, atau mendorong sekolah-sekolah untuk memiliki kebijakan afirmatif bagi siswa miskin. Pemerintah juga harus lebih aktif menjemput bola—tidak hanya menunggu laporan, tetapi juga proaktif mendeteksi anak-anak yang rawan putus sekolah.

Karena satu MM yang gagal sekolah adalah terlalu banyak. Dan karena tak ada mimpi yang seharusnya dikubur hanya karena tak mampu membayar biaya pendaftaran. Dunia pendidikan kita sedang tidak baik-baik saja. Tapi kita masih punya harapan—selama kita mau peduli, dan tak tinggal diam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image