Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image M. Haekal Al-Haffafah

Daron Acemoglu dan Red Queen Effect: Membaca Ulang Demokrasi Kita

Politik | 2025-06-09 20:21:37

Oleh: Haekal M. Al-Haffafah

(Direktur Politik dan Studi Demokrasi Teras Indonesia)

Dalam The Narrow Corridor, ekonom politik Daron Acemoglu dan ilmuwan politik James Robinson menyodorkan sebuah kerangka analisis yang menggugah, kebebasan tidak lahir dari absennya negara, kebebasan adalah produk dari relasi yang tegang, cair, dan terus berubah antara negara dan masyarakat. Ketegangan ini bukan gejala disfungsionalitas, melainkan justru mekanisme sehat dalam berjalannya sistem politik kita.

Acemoglu dalam karyanya itu menggunakan metafora Red Queen Effect dari novel Through the Looking Glass karya Lewis Carroll, Ratu Merah dan Alice harus terus berlari agar tetap di tempat yang sama. Dalam konteks ini, negara dan masyarakat harus terus berlari bertransformasi, mengoreksi, menyesuaikan diri agar tidak terjebak dalam stagnasi atau dominasi sepihak. Bila negara berlari terlalu cepat dan meninggalkan masyarakat, yang terjadi adalah otoritarianisme. Bila masyarakat tertatih tanpa dukungan institusional negara, anarki atau delegitimasi institusi akan muncul, kerangka ini menantang dua kutub besar dalam teori politik bahwa negara kuat selalu otoriter, dan bahwa masyarakat bebas bisa hidup tanpa institusi negara.

Di tengah krisis demokrasi global, pendekatan Acemoglu dan Robinson memberikan peta navigasi ulang terhadap apa yang membuat kebebasan bertahan. Namun koridor kebebasan itu semakin menyempit, laporan Democracy Index 2024 dari Economist Intelligence Unit, misalnya, menunjukkan bahwa kualitas demokrasi global tengah mengalami stagnasi, bahkan regresi, di banyak negara.

Amerika Serikat turun menjadi flawed democracy dengan skor 7,13. Brasil mencatat kemerosotan dalam fungsi pemerintahan, partisipasi politik, dan Turki sementara India mengalami penyusutan kebebasan sipil yang signifikan. Semua kasus tersebut menggambarkan ketimpangan antara kecepatan negara berlari dengan kelelahan masyarakat sipil dalam menghasilkan apa yang disebut oleh Acemoglu-Robinson sebagai menyempitnya koridor kebebasan.

Indonesia tak terlepas dari kecenderungan ini, jika kita perhatikan Survei Indikator Politik Indonesia dalam dua tahun terakhir mencatat meningkatnya permisivitas publik terhadap model kepemimpinan otoriter. Sekitar 52% responden menyatakan bisa menerima pemimpin kuat yang tidak terlalu terikat prosedur demokrasi asal negara stabil. Ini menunjukkan ketegangan antara harapan stabilitas dan demokrasi, data lebih lanjut Corruption Perceptions Index 2023 dari Transparency International menempatkan Indonesia pada skor 34 (dari skala 100), terburuk sejak 2014, menandai penurunan kepercayaan terhadap integritas institusi negara.

Terlepas dari itu, karya Acemoglu juga mendapat kritik, terutama beberapa akademisi mengkritisi istilah koridor sempit dinilai terlalu normatif, sehingga gagal menjelaskan konteks dunia postkolonial. Argumentasinya, tidak semua negara punya lintasan sejarah dan kapasitas institusional yang sama, misal dalam banyak kasus, negara justru dibentuk oleh kepentingan kelas dominan, bukan sebagai hasil kontrak sosial yang berimbang. Ada, kritik lain menyebut bahwa Red Queen Effect gagal menangkap dimensi kultural dalam politik, di mana masyarakat yang kuat secara politik bisa juga menyokong kekuasaan otoriter bila terjerat dalam nasionalisme populis atau politik identitas.

Kendati kritik itu valid, karya ini tetap menyumbang wawasan penting, bahwa menjaga kebebasan bukanlah soal memilih negara atau masyarakat, melainkan merawat ketegangan sehat di antara keduanya. Ketegangan yang sehat, bukan konflik yang destruktif. sehingga nalar kita menangkap bahwa negara mesti terbuka terhadap koreksi. Lebih jauh, Indonesia hari ini berada di persimpangan, Oligarki politik-ekonomi memonopoli kanal representasi, Lembaga pengawasan seperti KPK melemah, Kampus, LSM, dan media perlahan kehilangan daya kritis.

Jika negara terus melaju tanpa suara masyarakat yang otonom, maka sebetulnya kita tidak sedang berlari bersama, kita sedang saling meninggalkan, kebebasan sebagaimana diingatkan Acemoglu dan Robinson bisa lenyap bukan karena dikudeta, tetapi karena rakyat dan negara tidak berlari atau tumbuh secara bersama.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image