Ketika Kebersamaan Keluarga Ditinggalkan oleh Nafsu dan Kepentingan
Parenting | 2025-06-07 11:53:01
"Semua juga punya kebutuhan." Kalimat ini terdengar wajar, bahkan terdengar masuk akal saat seseorang menolak sebuah permintaan bantuan, bahkan dalam lingkup keluarga. Tapi pernahkah kita benar-benar merenungkannya? Bukankah kalimat itu lebih sering digunakan sebagai perisai untuk membungkam kepedulian?
Lihatlah jalanan, lihatlah terminal. Di sana, para sopir angkot dari jurusan yang berbeda saling membantu ketika satu di antara mereka mengalami kesulitan. Mereka tahu, hari ini masalah mungkin bukan milik mereka, tetapi siapa yang bisa menjamin esok hari tetap sama? Mereka sadar, bahwa hidup bukan hanya tentang selamat sendiri, tapi tentang bagaimana kita tetap bisa saling menjaga di tengah putaran nasib yang tak bisa ditebak.
Sayangnya, dalam lingkungan yang seharusnya menjadi paling hangat—yakni keluarga—kesadaran semacam ini perlahan menghilang. Kita terjebak pada pemikiran yang terlihat bijak: "kita dulu, baru orang lain." Tapi, sampai kapan "kita dulu" itu? Bukankah dengan pola pikir seperti itu, kita sedang membangun tembok tinggi yang tidak hanya memisahkan empati, tapi juga meruntuhkan nilai luhur kebersamaan?
Hidup bukan hanya tentang diri sendiri. Bukan hanya tentang bagaimana kita bertahan, tapi bagaimana kita saling menopang. Ada saatnya kita menerima, tapi ada kalanya kita memberi. Dua sisi ini harus berjalan seimbang, jika tidak, maka hidup akan timpang, pincang, bahkan runtuh.
Lirik seorang raja dangdut menggambarkan ketimpangan ini: "yang kaya makin kaya, dan yang miskin makin miskin." Itulah cermin dari kehidupan ketika manusia hanya sibuk menumpuk dunia untuk dirinya sendiri. Mereka lupa bahwa ada wajah-wajah muram yang tertindas di bawah tumpukan kekayaan mereka.
Dalam lingkup keluarga, ketimpangan itu nyata. Ada anak yang hidup dalam kemapanan, ada pula yang hidup dalam kekurangan. Apakah ini murni faktor nasib? Mungkin. Tapi lebih dari itu, ini adalah akibat dari hilangnya rasa saling merasakan. Ketika satu tidak lagi mau mengulurkan tangan, dan yang lain tak lagi berharap untuk digandeng.
Kebersamaan tidak hilang begitu saja. Ia berubah perlahan, digerus waktu dan kondisi. Dahulu seseorang bisa saja lembut, peduli, dan penuh perhatian. Tapi ketika pernikahan hadir, satu per satu sikap itu memudar. Tahap pertama, pasangan mulai menjadi penentu. Tahap kedua, anak-anak hadir dan menyita semua ruang batin. Tahap ketiga, kebutuhan makin tinggi dan alasan menjadi makin banyak. "Maaf, aku tidak bisa, aku harus urus keluargaku."
Apakah karena pernikahan, seseorang harus kehilangan haknya untuk berbuat baik? Jika benar demikian, betapa jahatnya sebuah pernikahan. Padahal sejatinya, pernikahan bukanlah penjara. Ia adalah jembatan untuk menjangkau kebaikan yang lebih luas, bukan untuk menutupnya.
Seorang istri seringkali merasa harus patuh sepenuhnya, tunduk tanpa ruang untuk berpikir dan bertindak. Ia tidak lagi bebas untuk berbagi pada keluarganya sendiri. Padahal ia pernah menjadi bagian yang penting, bahkan utama, dari keluarga itu.
Hal serupa terjadi pada suami. Istri seolah menjadi pusat semesta, yang harus dilindungi dan dibela mati-matian. Tapi siapa istri itu sesungguhnya? Bukankah ia juga manusia biasa, yang punya nafsu, keinginan, dan kemungkinan untuk berubah arah?
Ya, hari ini ia mungkin masih dalam pelukanmu, dalam dekapan cinta. Tapi siapa yang bisa menjamin esok atau lusa? Cinta, sayangnya, bukanlah ikatan permanen. Ia hanya bungkus yang bisa berubah isi. Kita sering mendengar kalimat menyakitkan namun nyata: "Bukan aku tak cinta, tapi aku harus realistis. Hidup butuh uang, cinta tak membuat kenyang."
Begitu juga seorang suami. Ia bisa saja menjadi pahlawan keluarga, tapi saat nafsu bicara dan kebutuhan mendesak, cinta bisa berganti arah. Maka jangan pernah menjadikan pasangan sebagai alasan untuk mengabaikan keluarga yang dulu membesarkanmu. Karena sesungguhnya, keluarga itu bukan sekadar hubungan darah—ia adalah tempat pertama di mana kita belajar mencintai tanpa pamrih.
Coba lihat kembali besi baja atau batu. Sekeras apapun ia ditempa, dibakar, atau dilindas, karakter kerasnya tetap ada. Ia berubah bentuk, ya, tapi tidak kehilangan jati diri. Begitulah semestinya keluarga. Apapun fase hidupnya, siapapun yang datang atau pergi, jati dirinya tetap: saling menjaga, saling menguatkan.
Namun, realitas tak seindah harapan. Kita menyaksikan keluarga hancur hanya karena uang. Kita menyaksikan saudara saling menjauh karena pasangan. Kita menyaksikan kebersamaan luntur karena gengsi. Semua karena satu hal: nafsu. Nafsu untuk merasa aman sendiri, nyaman sendiri, cukup sendiri. Padahal, hidup tak pernah benar-benar cukup, jika yang lain masih merasa kurang.
Apakah kita harus menunggu sampai semua orang memiliki nasib yang sama untuk bisa peduli? Apakah kita harus menunggu hancur total, untuk kembali melihat bahwa keluarga adalah rumah pertama yang tak boleh ditinggalkan?
Mari kita kembalikan nilai luhur itu. Bahwa menikah bukan alasan untuk melupakan. Bahwa pasangan bukan tameng untuk membatasi kepedulian. Dan bahwa hidup bukan hanya tentang seberapa banyak yang kita punya, tapi seberapa banyak yang kita berikan.
Karena pada akhirnya, bukan tentang siapa yang paling kaya, siapa yang paling kuat, atau siapa yang paling bahagia. Tapi tentang siapa yang paling tulus menjaga tali kasih yang bernama keluarga.
Jangan sampai kita hanya tinggal nama di dalam grup keluarga, tanpa pernah benar-benar hadir. Jangan sampai kita menjadi asing di tengah darah daging sendiri.
Karena ketika semuanya runtuh, keluarga—yang dulu kau abaikan—mungkin menjadi satu-satunya tempat yang masih mau menerima kehadiranmu. -umarsorigin
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
