Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Odjie Samroji

Kenapa Guru Harus Jujur?

Guru Menulis | 2025-06-04 05:45:58
Guru Mengajar di Kelas | Foto : pexels.com

Guru bukan sekadar pengajar di depan kelas. Ia adalah lentera yang menerangi jalan gelap para pencari ilmu. Ia adalah penabur nilai, penanam karakter, dan penjaga akhlak. Di balik papan tulis dan pena merahnya, ada tanggung jawab moral yang jauh lebih besar daripada sekadar menyampaikan materi: membentuk manusia yang jujur, tangguh, dan beradab. Dan di antara semua nilai mulia yang harus ditanamkan, kejujuran adalah akar yang tidak boleh dicabut, bahkan sehelai pun. Maka dari itu, seorang guru harus jujur—bukan hanya dalam perkataan, tapi juga dalam tindakan, dalam keputusan, dan dalam sikap hidup sehari-hari.

Kejujuran seorang guru adalah nafas dari pendidikan yang bermakna. Ketika seorang guru bersikap jujur, ia sedang mengajari murid-muridnya tentang nilai yang tak bisa digantikan oleh rumus matematika atau hafalan teori. Ia sedang memperlihatkan kepada mereka bahwa menjadi manusia bukan hanya tentang menjadi cerdas, tetapi menjadi benar. Guru yang jujur tidak akan memanipulasi nilai demi menyenangkan hati orang tua murid atau demi menghindari teguran atasan. Ia akan menilai dengan adil, memberi pujian tanpa melebih-lebihkan, dan memberi kritik tanpa menjatuhkan. Ia jujur tentang kemampuan siswanya, tentang pencapaian yang dicapai dengan usaha nyata, bukan rekayasa angka.

Namun, kejujuran guru tak hanya diuji dalam ruang kelas. Ia diuji saat guru harus mengakui kesalahan, saat harus berkata “saya tidak tahu” ketika ditanya hal di luar pemahamannya. Guru yang jujur tidak merasa malu untuk belajar dari muridnya. Ia tahu bahwa kejujuran bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan yang menumbuhkan rasa hormat yang sesungguhnya. Murid yang melihat gurunya jujur akan tumbuh menjadi pribadi yang menghargai kebenaran. Ia tidak akan takut salah, karena ia tahu bahwa kesalahan adalah bagian dari proses belajar, selama disikapi dengan kejujuran.

Sebaliknya, saat guru mulai berkompromi dengan ketidakjujuran, pendidikan kehilangan rohnya. Ketika nilai dimanipulasi, ketika prestasi dikejar dengan cara-cara instan, ketika guru berkata satu hal namun melakukan hal lain, maka pelajaran yang sebenarnya disampaikan kepada murid adalah: “berpura-puralah, dan kamu akan selamat.” Dan dari sinilah awal kehancuran dimulai—bukan kehancuran ilmu, tapi kehancuran karakter.

Guru adalah cermin. Setiap tindakan kecilnya dipantau, ditiru, bahkan dijadikan panutan oleh anak-anak yang polos dan sedang mencari pegangan. Kejujuran guru, sekecil apa pun, memiliki daya menular yang luar biasa. Saat seorang guru jujur mengakui bahwa ia datang terlambat karena kesalahan sendiri, murid belajar bahwa tanggung jawab lebih penting daripada alasan. Saat seorang guru jujur menolak sogokan untuk meluluskan siswa yang malas, murid belajar bahwa integritas lebih mulia daripada pencapaian semu. Dalam kesederhanaan sikap seperti itu, pendidikan karakter tumbuh lebih subur daripada dalam ribuan slogan motivasi.

Menjadi guru memang bukan tugas yang ringan. Tuntutan administrasi yang menumpuk, tekanan dari orang tua, ekspektasi sekolah, hingga keterbatasan fasilitas bisa menggoda siapa pun untuk mencari jalan pintas. Tapi justru di tengah tekanan itulah, kejujuran menemukan maknanya. Karena kejujuran sejati lahir bukan dari keadaan yang nyaman, tetapi dari keberanian untuk tetap tegak meski dihadapkan pada risiko. Guru yang jujur adalah pejuang sunyi yang menjaga agar dunia tidak kehilangan arah.

Di tengah zaman yang kerap memuja hasil instan dan pencitraan semu, kehadiran guru yang jujur adalah oase yang menyegarkan. Ia tidak berteriak lantang, tetapi tindakannya menggema dalam jiwa para murid. Ia mungkin tidak viral di media sosial, tapi namanya akan selalu hidup dalam doa murid-muridnya. Karena murid tahu, guru yang jujur adalah guru yang sungguh peduli. Dan itu lebih berarti daripada seribu hadiah atau pujian.

Akhirnya, dunia pendidikan tidak butuh guru yang sempurna, tapi ia sangat membutuhkan guru yang jujur. Karena dari kejujuran itulah akan lahir keberanian, tanggung jawab, dan ketulusan. Dan dari guru yang jujur, akan tumbuh generasi yang tidak hanya pintar, tapi juga benar. Sebab pendidikan sejati adalah tentang menanam kejujuran dalam hati manusia—dan tak ada yang lebih indah dari benih kejujuran yang tumbuh di tangan seorang guru.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image