Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Upik Kamalia

Cerminan Mentalitas Orang Minang Dalam Perang Pajak 1908

Sejarah | Monday, 07 Mar 2022, 08:38 WIB

Pemerintah Kolonial Belanda pada tanggal 21 Februari 1908 mengeluarkan tiga peraturan yang memuat aturan-aturan tentang penerapan pajak langsung atau yang dikenal dengan istilah Belasting di Sumatera Barat. Penerapan pajak sudah harus dimulai pada tanggal 1 Maret 1908 demikian bunyi peraturan yang dikeluarkan Belanda. Pajak diberlakukan atas semua mata pencarian penduduk sebesar 2 %. Pajak juga berlaku atas pemasukan dari harta pusaka . Semua guru, pegawai pemerintah dan kuli kontrak adalah pihak yang dibebaskan dari pajak.

Penerapan Pajak tersebut sontak menimbulkan keresahan dikalangan masyarakat. Penolakan terhadap kebijakan pemerintah Belanda itu merebak diberbagai wilayah di Sumatera Barat. Belanda dianggap telah melanggar kesepakatan yang dibuat 65 tahun silam yang tertuang dalam Plakat Panjang. Perlawanan terhadap penerapan pajak mulai memakan korban dengan terjadinya serangkaian perang yang kemudian dikenal dengan istilah perang pajak. Diantara perlawanan tersebut yang paling ternama adalah Perang Kamang dan Perang Manggopoh.

Perang Kamang meletus pada tanggal 15 Desember 1908 dipimpin oleh ulama kharismatik Haji Abdul Manan. Perlawanan rakyat Kamang berakhir tragis dengan korban yang tidak berimbang. Hal yang sama terjadi pada perlawanan yang dipimpin Siti manggopoh dengan mudah dipatahkan Belanda. Selain 2 perlawanan tersebut perlawanan-perlawanan kecil juga terjadi ditempat lain yang sekali lagi dengan mudah dipatahkan Belanda.

Perang pajak atau perang Belasting sesungguhnya bukan sekedar perang biasa. Dari perang tersebut banyak hal yang dapat kita pelajari. Salah satunya adalah bagaimana mentalitas orang Minang pada masa itu tercermin dari perlawanan mereka terhadap kebijakan pemerintah kolonial yang dianggap menindas tersebut. Mengapa orang Minang begitu keras menolak penerapan pajak didaerah mereka padahal didaerah lain sebelumnya pemeintah kolonial Belanda telah lama menerapkan pajak dengan tanpa perlawanan berarti dari rakyat setempat.

Orang minang adalah orang yang memegang teguh kesepakatan. Semua yang telah disepakati akan dijaga dengan baik meski banyak yang tidak setuju pada awalnya. Perang Pajak adalah wujud dari kesepakatan yang dilanggar. Belanda dan rakyat Minangkabau telah membuat kesepakatan sebelumnya dalam Plakat Panjang yang salah satu isinya adalah Belanda tidak akan memberlakukan pajak langsung di Minangkabau. Perang Pajak sekaligus memberi sinyal bahwa jangan sesekali bermain-main dengan kesepakatan yang telah dibuat bersama.

Segala sesuatu harus disepakati terlebih dahulu dalam sebuah konsensus demikian prinsip orang Minang dalam menanggapi sesuatu aturan. Jelas dalam penerapan pajak pemerintah kolonial telah memutuskan secara sepihak. Masyarakat tidak pernah diajak untuk membicarakan pajak tersebut sebelumnya. Perlawanan terhadap kebijakan pemerintah tersebut dirasakan wajar dan sudah sepantasnya dilakukan dalam pandangan masyarakat Minang karena semua diluar sepengetahuan mereka.

Perang Pajak menampakkan tabiat Orang Minang yang berpikir logis terkait dalam penerimaan mereka terhadap alasan yang disampaikan pemerintah Belanda dalam penerapan Belasting di Minangkabau. Dikatakan bahwa pajak yang dibayarkan adalah utuk membiayai pegawai, guru-guru dan prajurit di seluruh Hindia Belanda yang amat luas. Menanggapi hal tersebut orang Minang menolak membayar pajak karena merasa bahwa mereka tidak kenal dengan orang Selebes, Timor dan Papua. Tidak ada yang menjamin bahwa jika kelak mereka akan balik menolong jika kesusahan juga dirasakan orang Minang. Bukankah tiap-tiap kampung harus menolong dirinya sendiri?demikian argumentasi yang disampaikan.

Perang pajak merupakan simbol dari sikap orang Minang yang menolak untuk ditindas, untuk dianggap sebagai bawahan yang harus menurut kepada tuannya. Walau perlawanan Padri telah usai namun bukan berarti bahwa kolonial Belanda diakui sebagai tuan yang akan memerintah dengan seenaknya di Minangkabau. Orang Minang merasa bahwa sebuah perjanjian berarti kesepakatan antara dua orang yang setara kedudukannya. Kesepakatan itu adalah Plakat Panjang. Oleh sebab itu mereka menolak diperintah Belanda apalagi untuk membayar pajak.

Kritis, tidak menerima sesuatu begitu saja adalah hal lain yang terlihat dari Perang Pajak. Orang Minang tidak percaya bahwa pajak yang mereka bayarkan akan kembali kepada mereka dalam bentuk bangunan sekolah, jalan dan kantor-kantor pemerintah. Alasannya nyata bahwa selama ini yang mengambil keuntungan dari sana hanyalah pemerintah kolonial Belanda. Sekolah dibangun namun terbatas yang bisa bersekolah disana. Jalan dibuat tapi nyata bahwa yang membangun jalan adalah masyarakat juga bukan Belanda. Perang Pajak adalah gambaran kesangsian akan sebuah janji yang sampaikan pemerintah. Perang pajak juga memperlihatkan sifat komunal yang dimiliki Orang Minang bahwa segala sesuatu yang dibuat untuk bersama harus dirasakan secara bersama juga manfaatnya. Hal ini mennjukkan juga bahwa orang Minang baru akan percaya pada sesuatu jika telah terbukti kebenarannya, dapat dirasakan manfaatnya secara langsung.

Perang pajak telah berlalu lebih seabad silam. Namun demikian kita tetap dapat belajar banyak dari Perang tersebut walau sebagian mengatakan bahwa perang pajak adalah perang untuk kalah. Barangkali banyak kebijakan pemerintah yang diberlakukan tanpa sosialisasi dan kesepakatan sesudah Pajak langsung tersebut. Pertanyaannya adalah masihkah orang Minang kritis dalam menanggapi persoalan serupa?masihkah sama mentalitas yang diperlihatkan ketika menyikapi pemberlakuan pajak? Barangkali hal itu akan Nampak menjelang pemilu berlangsung. Bagaimana orang Minang menyikapi kebijakan BPJS umpamanya. Menarik untuk ditulis , namun untuk saat ini cukup ini saja yang kita bahas. Dilain waktu barangkali ada kesempatan yang tepat membicaraknnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image