Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dianty Rosirda

Metaverse, Jangan Sampai Menggoyahkan Pondasi Keimanan

Gaya Hidup | 2022-02-22 19:33:21
Sumber foto: Republika.co.id

Saat pemerintah Saudi mengeluarkan gagasan untuk menghadirkan Ka’bah di Masjidilharam secara metaverse, saya menyambutnya dengan gembira. Betapa tidak, saya sudah membayangkan dapat mengajak anak-anak berwisata secara virtual ke salah satu masjid yang sangat disarankan untuk dikunjungi umat Islam.

Dalam bayangan saya, saat berwisata virtual ke sana, kami dapat mengenalkan tempat-tempat di sekitar Ka’bah sekaligus menceritakan proses ibadah yang dilakukan. Miriplah dengan manasik haji yang pernah mereka lakukan di sekolah, hanya saja lebih canggih karena memanfaatkan teknologi. Melalui metaverse, anak-anak dapat melihat dan merasakan secara langsung kondisi sebenarnya di tanah suci. Bagi saya, hal itu sangat membantu. Anak-anak dapat mengoptimalkan kemampuan belajarnya melalui pengalaman secara visual.

Namun, saya sangat terkejut saat kemudian mengetahui bahwa gagasan metaverse tersebut kemudian akan digunakan untuk menjalankan ibadah secara virtual. Ibadah haji dilaksanakan secara metaverse. Lo, kok bisa? Yang saya pahami, ibadah itu harus dilakukan sesuai dengan sunnah. Sesuai contoh dari Rasulullah Saw..

Proyek metaverse yang digagas pemerintah Saudi tersebut diluncurkan akhir Desember 2021 dan diberi nama Virtual Black Stone Initiative. Kabarnya, Imam Besar Masjidilharam Sheikh Abdul Rahman al-Sudais adalah orang pertama yang mengunjungi Ka’bah metaverse itu. Proyek yang dikerjakan melalui kerja sama dengan Universitas Ummul Quro itu bertujuan untuk memberi kesempatan pada umat Islam agar dapat menyentuh Hajar Aswad, meskipun dilakukan secara virtual.

Mengapa Hajar Aswad? Bagi umat Islam yang pernah mengunjungi Ka’bah tentu dapat membayangkan betapa sulitnya mendekati Hajar Aswad, apalagi menyentuh dan menciumnya. Bila berhasil mencium pun, belum tentu dapat melihat dan mengamati dengan jelas bentuk Hajar Aswad karena letaknya yang menjorok ke dalam dan terlindungi. Itulah mengapa saya sangat senang saat proyek metaverse diluncurkan.

Rasa senang saya sebenarnya senada dengan tujuan pemerintah Saudi. Berdasarkan apa yang saya tangkap, metaverse bertujuan memperkenalkan warisan, sejarah, dan peninggalan Islam agar lebih banyak umat yang bisa belajar. Teknologi digital berpotensi mencapai tujuan tersebut.

Bagi saya, tak ada yang salah dengan proyek metaverse selama tujuannya adalah untuk belajar atau berwisata. Metaverse adalah konsep dunia virtual yang menggabungkan teknologi virtual reality dan augmented reality. Tentu saja, metaverse dapat digunakan untuk kegiatan belajar apapun dengan cara yang lebih seru dan menyenangkan. Melalui konsep metaverse, orang-orang dapat bertemu dan bermain secara virtual.

Bagi saya, melaksanakan ibadah haji mutlak harus berangkat langsung ke tanah suci. Bila kemudian Departemen Urusan Agama Turki (Diyanet) dan MUI memutuskan bahwa mengunjungi Ka’bah di metaverse tidak bisa dianggap sebagai ibadah haji, bagi saya itu hanya penguatan saja.

Namun, hal ini menjadi bahan renungan bagi saya. Hal yang bagi saya mustahil akan dikatakan sebagai ibadah, bahkan terpikirkan pun tidak, ternyata berbeda dengan pemikiran orang lain. Saya pun jadi berpikir ulang mengenai metaverse ini. Bukan. Bukan teknologinya yang salah. Perkembangan teknologi tentu bermaksud untuk mempermudah semua kegiatan kita ‘kan? Namun, saya harus berpikir ulang mengenai waktu, cara, dan tujuan yang tepat untuk memperkenalkan metaverse pada anak-anak. Saya pun harus siap mendampingi dan menjawab semua pertanyaan mereka nanti.

Sesuatu yang tampaknya biasa dan akan mempermudah, ternyata tidak semudah itu efeknya. Saya tak bisa membayangkan bila anak sayalah yang berpikir bahwa mengunjungi Masjidilharam secara metaverse setara dengan beribadah. Bagaimana saya nanti harus meluruskan lagi pemahamannya tentang ibadah. Saya bersyukur mendengar berita “aneh” tersebut saat ini. Saat saya masih memiliki waktu untuk memperkuat pemahaman agama dan menuntun mereka agar memiliki akidah yang lurus.

Tentu saya pun tak bisa menjauhkan mereka dari teknologi. Mereka lahir saat teknologi ada dalam genggaman. Berusaha menjauhkan mereka dari teknologi sama dengan menjauhkan mereka dari saya. Lebih baik mengenalkan dan terus mendampingi. Otomatis, saya pun tidak boleh gaptek dengan kemajuan teknologi.

Sebenarnya, tak hanya metaverse yang membuat akidah seseorang tergadaikan. Bahkan hal sederhana semacam air yang berubah warna pun dapat menjadi pengaruh. Hanya saja, karena selalu terjadi sepanjang sejarah manusia, tidak berlarut menjadi polemik. Metaverse dianggap berbeda karena merupakan hal baru dan berhubungan dengan teknologi.

Intinya, saya harus memperkuat pondasi anak-anak. Metaverse hanya salah satu teknologi yang dapat membuat pondasi itu goyah. Besok entah apalagi yang akan mereka hadapi. Saya harus bisa membantu mereka menjalankan hidup yang berjalan dengan cepat tanpa meninggalkan agama sebagai akidah dan pondasinya. Bagi saya, agamalah yang akan membimbing mereka dalam kehidupan, di mana pun berada dan dalam kondisi apapun juga. Tak mungkin dipisahkan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image