Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Bang Doel

Melepas Belenggu 'Toxic Gamer', Ini yang Harus Dilakukan Pecandu Game!

Eduaksi | 2022-02-22 16:55:16
Marah saat hasil game-nya kalah jangan jadi kebiasaan. (Foto: Canva.com)

“Anjrit!” anakku berteriak sambil bersama gawainya di suatu sore. Kulihat dia sedang main game. Dari raut mukanya, tampak dia sedang kesal.

Sebagai orang tua, saya cukup kaget mendapati anak mengumpat hal yang tak pernah kami sebutkan. Dan di sore itu, gawainya kuambil dan kuajaknya ngobrol.

Saya bertanya, darimanakah umpatan itu didapatnya? Ia hanya menjawab dari gamer lain yang bermain didalamnya.

Gawai itu saya nyalakan lagi. Game yang tadi dimainkannya saya intip kembali. Dan ya, dia berkata jujur.

Di kolom chat game itu, umpatan-umpatan yang kasar, vulgar, dan sangat tidak pantas disebutkan ternyata eksis. Bahkan umpatan yang tadi saya dengar ternyata masih belum ada apa-apanya.

Ayah, bunda, dan para orangtua lainnya, apakah pernah juga mendapati anaknya yang bermain game mengalami masalah yang sama?

Kondisi ini kemudian memicu situasi dilematis. Di satu sisi anak memang mesti berkenalan dengan dunia digital, dimana didalamnya adalah game. Namun disisi lain, ruang anonim membuat orang-orang didalamnya berpotensi bersikap toxic. Ya, toxic gamer.

Toxic Gamer

Toxic berarti racun. Kata ini kerap dipakai untuk merujuk berbagai hal yang bersifat racun dan membahayakan semua hal. Istilah ini juga sering dipakai untuk menunjukkan sebuah kondisi personal maupun antar personal.

Anda tentu mendengar ada istilah hubungan yang toxic. Istilah itu merujuk pada sebuah hubungan antar manusia, baik pertemanan, persahabatan, maupun pacaran, dimana salah satu pihak memiliki sikap yang tidak baik.

Istilah ini kemudian diadopsi kedalam dunia game. Maka para gamer yang tidak memiliki sikap yang baik, kemudian dicap sebagai toxic gamer.

Contoh tindakan yang bisa dimasukkan kedalam toxic gamer adalah egois, sering mengumpat, berisik dan mengganggu, cheating, sampai doping.

Toxic gamer ini bisa mempengaruhi orang lain. Sebab selain dia sendiri sudah teracuni, sifatnya itu juga meracuni pihak lain.

Itulah sebabnya anak saya, yang di rumah tak pernah dengar umpatan apapun, kemudian punya kosakata yang buruk.

Jadi Atlet E-Sport

Kondisi dilematis dimana anak memang seyogyanya paham dunia digital lewat game, namun disisi lain ada kekhawatiran ia juga terpapar toxic gamer tadi, membuat saya mesti memutar otak.

Setidaknya saya mesti menemukan cara agar anak tetap mendapat haknya mengenal dunia game, berlatih tanpa batas game yang dia suka, namun tetap menjadi sosok yang baik dan tidak toxic.

Untunglah saya mendengar konsep e-sport, yang salah satunya didapat dari pemberitaan soal pembinaan atlet di olahraga elektronik ini.

e-Sport sendiri merupakan sebuah olahraga elektronik yang kini mulai dipertandingkan di berbagai level kompetisi. Mulai dari tingkat RT yang hadiahnya piagam dan uang pembinaan ratusan ribu rupiah, sampai turnamen internasional yang berhadiah jutaan dollar.

Dari berbagai pemberitaan, salah satu yang sering saya dengar adalah pembinaan atlet e-sport dari LEAD by IndiHome. Penyedia internet cepat ini memiliki akademi eSport yang sebagaimana dikutip dari Republika, Februari tahun ini sudah resmi memiliki atlet hasil penjaringan sejak bulan September 2021 lalu.

Lewat salah satu coach-nya, Henov, mereka punya konsep athlete enablement. Mereka menyikapi e-sport sebagai olahraga biasa yang menuntut atlet agar memiliki jiwa sportsmanship alias sportivitas.

Atlet e-sport yang digembleng oleh penyedia internet andal ini mesti memiliki badan yang sehat, disiplin dalam berlatih, dan tentu saja jauh dari toxic karena punya jiwa sportif yang terus dilatih.

Penutup

Jika kemudian anak saya atau anak bapak dan ibu sekalian berharap agar mereka tetap bisa menikmati dunia digital tanpa harus terpapar toxic gamer, maka menjadi atlet e-sport adalah salah satu solusinya.

Sejenak mari lupakan kalau mereka bisa mendukang jutaan dollar seperti Johan Sundstein, Jesse Vainikka, Anatha Pham, maupun dari kancah lokal ada Kenny Deo, Muhammad Ikhsan, dan lainnya yang memiliki penghasilan miliaran rupiah.

Katakanlah itu hanyalah bonus saja jika kelak anak-anak kita berprestasi. Yang paling penting adalah mereka menjadi pribadi yang tumbuh dengan sehat dan jadi orang yang bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image