Kartini, Peradaban Bangsa dan Kecintaannya Terhadap Al-Qur’an
Agama | 2022-02-20 18:59:16Kartini merupakan perempuan bergelar Pahlawan Nasional dan pelopor emansipasi wanita di tanah air. Perjuangan emansipasi di Indonesia tidak seradikal di negara-negara Barat yang menganut faham sekuler. Karena Indonesia merupakan negara religius dengan ajaran agama yang menjadi inspirasi pemuliaan martabat perempuan.
Salah seorang cendekiawan muslim asal pakistan, Sayid Muhammad Shadieq Hasan Khan mengatakan bahwa “pegangan paling kuat bagi emansipasi wanita atau perempuan ialah agama islam dan pokok-pokok ajarannya yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadits nabi. Perempuan yang berpendidikan dan berkemajuan dapat menentukan kualitas keluarga dan masyarakat. Ia juga mengatakan bahwa “Perempuan itu jadi soko guru peradaban. Dari perempuanlah pertama-tama manusia itu menerima didikan.
Di haribaannyalah anak itu belajar merasa dan berpikir, berkata-kata, dan makin lama makin tahulah saya bahwa didikan yang mula-mula itu besar pengaruhnya bagi kehidupan manusia di kemudian hari. Dan betapakah ibu bumi putera akan sanggup mendidik anaknya bila mereka sendiri tiada berpendidikan?”.
Raden Ajeng Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 dan wafat pada tanggal 17 September 1904 di Rembang pada usianya yang ke 25 tahun. Ia lahir dari keluarga ningrat, ayahnya bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, yang merupakan seorang Bupati Jepara dan merupakan putra dari pangeran Ario Tjondronegoro IV, seorang Bupati Demak. Sedangkan ibunya, Mas Ajeng Ngasirah yang berasal dari kalangan biasa. Peraturan kolonial kala itu mengharuskan seorang Bupati beristrikan seorang bangsawan, oleh karena itu ayah Kartini menikah lagi dengan R.A Woerjam (Moeryam), keturunan langsung Raja Madura untuk kemudian resmi diangkat menjadi Bupati Jepara (Manijo, 2013).
Ayah Kartini berpandangan begitu progresif, Semua anak-anaknya baik putra maupun putrinya ia sekolahkan, meski terdapat perbedaan dalam tingkatan pendidikan. Kartini dan saudara-saudaranya di sekolahkan di Earopese Lagere School. Kartini memiliki potensi unggul untuk dapat dikembangkan menjadi pribadi yang berkualitas.
Ia juga menginginkan kebebasan yang tidak terikat dengan adat istiadat dan melakukan perlawanan terhadap Feodalisme (kebangsawanan) dan adat. Ia ingin masyarakat bumi putera, khususnya kaum perempuan terbebas dari kebodohan dan berjuang untuk masyarakat luas demi kebahagiaan bersama. Kartini mengemban semboyan kebebasan dan kegembiraan. Di dalam suratnya ia mengatakan bahwa “kedepan masih terbentang masa depan untuk kami. Mari kita lihat, apa yang masih bisa kita perbuat selama ini. saya sayang kepada perempuan, dan menaruh perhatian besar kepada nasibnya. Dan terbilang perempuan yang ditindas. Suatu perlakuan yang masih ada diberbagai negeri hingga kini. Saya bela dia dengan senang dan setia” (Kartini, 2017).
Kartini juga mengedepankan pendidikan agar pandangan masyarakat menjadi maju serta terbuka. Dalam suratnya yang ditujukan kepada Nyonya N. Van. Kol. Menyampaikan bahwa pendidikan erat kaitannya dengan tata susila dan aklak, ia mengatakan bahwa “Saya harap dengan pendidikan dapat membantu pembentukan watak, dan yang paling utama adalah cita-cita. Cita-cita ini wajib dikembangkan oleh pendidikan dengan terus-menerus, tak henti-hentinya”. Ia juga mengatakan bahwa pendidikan bukanlah mengambil peradaban dan budaya lain ke dalam budaya Indonesia ataupun Jawa, melainkan inti dari pendidikan adalah pendidikan karakter yang berakar pada budaya tersebut.
Selain itu, Kartini adalah seorang religius, ia berpendapat bahwa “agama harus menjaga kita dari dosa, tetapi betapa banyaknya dosa diperbuat atas nama agama?”. Ajaran islam yang terdapat di lingkungan Kartini sangat terbatas dan dibatasi gerak-geriknya oleh Belanda, karena hal ini bisa membahayakan kekuasaanya. Al-Qur’an yang beredar pada saat itu belum diterjemahkan. Akibatnya tidak semua orang paham makna ayat-ayat dalam Al-Qur’an tersebut. Hal ini juga memicu kegelisahan Kartini tentang isi ayat-ayat Al-Qur’an, ia memang dikenal kritis dan memiliki rasa ingin tahu yang besar.
Terkait agamanya, Kartini pernah menuliskan curahan hatinya kepada sahabat penanya Stella Zeehandelaar. Salah satunya tercatat dalam surat bertanggal 6 November 1899 yang dikutip dari buku Habis Gelap Terbitlah Terang.
“mengenai agamaku, islam. Aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagipula, aku beragama islam karena nenek moyangku islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?”
“Al-Qur’an terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apapun agar bisa dipahami setiap muslim. Disini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Disini orang belajar Al-Qur’an tapi tidak memahami apa yang dibaca”.
“Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghapal bahasa Inggris tapi tidak memberi artinya. Aku pikir, tidak jadi orang salehpun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?”
Kegelisahan Kartini atas keputusan ulama melarang penerjemahan Al-Qur’an berlanjut hingga beberapa tahun kemudian. Dia lalu mengirimkan surat lagi kepada istri Direktur Pendidikan Agama dan Industri Hindia Belanda Nyinya Abendanon. Dalam suratnya tertanggal 15 Agustus 1902, ia menuliskan tidak mau lagi mempelajari Al-Qur’an.
“Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan ada manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Qur’an, belajar menghapal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang aku tidak mengerti artinya”
“Jangan-jangan guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlan kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab ini terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya”. Tulis Kartini
Kegelisahan Kartini terjawab saat ia mendapat ilmu keagamaan islam dari sesosok ulama besar K.H Muhammad Shaleh bin Umar Assamarani atau Kiai Sholeh Darat (Semarang). Ulama yang menjadi guru dua kiai besar Indonesia: K.H Muhammad Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul Ulama) dan K.H Ahmad Dahlan (Pendiri Persyarekatan Muhammadiyah). Keduanya bertemu dalam acara pengajian di rumh Bupati Demak Pangeran Ario Hadinigrat, paman Kartini. Saati itu kiai Sholeh sedang memberikan pengajaran tentang tafsir surat Al-Fatihah, surat pembuka dalam Al-Qur’an. Satu hal yang sangat baru ditemui dan didengan Kartini.
Pertemuan Kartini dan sang ulama dituturkan cucu Kiai Sholeh, Fadhila Sholeh. Fadhila memaparkan hal ini lewat tulisan dalam bentuk selebaran yang terdapat di makam Kiai Sholeh di Semarang
“Kartini memang tak pernah tahu apa arti dan makna dari surat Al-Fatihah meski ia sering membacanya. Kartini benar-benar terpukau dan tersedot perhatiannya” tutur Fadhila dalam tulisannya.
Begitu pengajian usai. Kartini segera menemui pamannya. Ia menyampaikan keinginan bertemu Kiai Sholeh untuk berguru. Ia bahkan sampai mendesak pamannya untuk menemani dirinya menemui sang ulama.
“Kiai perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?”
Kiai Sholeh balik bertanya, “Mengapa Raden Ajeng mempertanyakan hal ini? kenapa bertanya demikian?”
Kartini menjawab, “Kiai, selama hidupku baru kali ini saya berkesempatan memahami makna surat Al-Fatihah, surat pertama dan induk Al-Qur’an. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku”.
Kartini lalu menyampaikan rasa syukurnya kepada Allah diberi kesempatan memahami Al-Fatihah. Kyai Sholeh tertegun, Kiai kharismatik itu tak kuasa menyela.
“Namun saya heran, mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Qur’an adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?” ucap Kartini.
Dialog berhenti sampai disitu. Fadhila menuliskan, kai Sholeh tidak bisa berkata apa-apa kecuali bertasbih, “Subhanallah”. Kartini telah mengunggah kesadaran kiai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar, menerjemahkan Al-Qur’an kedalam bahasa Jawa.
Setelah pertemuan itu, kiai Sholeh menerjemahkan ayat demi ayat, juz demi juz. Sebanyak 13 Juz. Terjemahan diberikan sebagai hadiah perkawinan Kartini. Kartini menyebutnya sebagai kado pernikahan yang tidak bisa dinilai manusia. Surat yang diterjemahkan kiai Sholeh adalah Al-Fatihah sampai surat Ibrahim. Kartini mempelajarinya secara serius, hampir si setiap waktu luangnya. Sayangnya Kartini tidak pernah mendapat terjemahan ayat-ayat berikutnya karena kiai Sholeh meninggal dunia sebelum bisa menyelesaikan terjemahan surat-surat lainnya.
Cerita Fadhila tentang pertemuan Kartini dan sang ulama dibenarkan oleh cicit kiai Sholeh, Lukman Hakim Saktiawan. Pria yang karib disapa Gus Lukman itu menyebutnya. Kartini merupakan santri kiai Sholeh. Gus lukman menuturkan, tafsir sang kiai ditulis menjadi kitab berjudul, Faid Ar Rahman. Inilah kitab tafsir Al-Qur’an perdana di tanah air yang ditulis dalam bahasa Jawa dengan Aksara Arab.
Sejak membaca kitab tafsir karya K.H Saleh Darat tersebut, pandangan Kartini mulai islami. Dan ia mulai meninggalkan kecenderunan liberal, yang tidak lain arahan para mentornya dari Belanda.
Surat-surat Kartini diterbitkan di Negeri Belanda tahun 1911 oleh Mr. J.H.Abendanon berjudul Door Duisternis tot Licht. Kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia tahun 1922 oleh Armyn Pane, sastrawan pujangga baru berjudul: Habis Gelap Terbitlah Terang. Besar kemungkinan, Kartini menemukan susunan kata legendaris tersebut dalam pengajian Faid Ar-Rahman bersama kiai Sholeh. Sebab kata-kata itu jelas diambil dari Al-Qur’an “mina dzulummati illan nuur” (dari kegelapan menuju cahaya) (QS Ibrahim (14): 1).
Kyai Sholeh membawa Kartini kepada perjalanan transformasi spiritual. Pandangan Kartini tentang barat berubah. Tertulis pada surat Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny Abendanon.
“Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik tiada tara. Maafkan kami. Apakah kami menganggap ibu masyarakat Eropa itu sempurna?, dapatkan ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban”.
“Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa atau orang Jawa kebarat-baratan”.
Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis, “Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra islam yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang islam sebagai agama. Lalu dalam surat Ny Abendanon bertanggal 1 Agustus 1903, kartini menulis” ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah SWT.
Kartini, R. (2017). Habis Gelap Terbitlah Terang, Cet II. Yogyakarta: Narasi.
Manijo. (2013). Menggali Pendidikan Karakter AnakPerspektif R.A. Kartini. Thufala 1, No. 1, 42-43.
Ima, Deviana. (2021). Nilai-Nilai Pendidikan Karakter R.A Kartini Dalam Buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Jurnal mahasiswa FIAI-UII, at-Thullab, vol 2, no. 1, 343-354
https://kemenag.go.id/read/pesan-kartini-perempuan-soko-guru-peradaban-do9v2-do9v2
https://www.ngopibareng.id/read/surat-surat-kartini-dan-inspirasi-al-quran-ini-faktanya-2250285
https://www.liputan6.com/regional/read/2927608/kisah-kartini-terpukau-makna-alquran
https://harakah.id/ra-kartini-tafsir-al-quran-dan-kh-saleh-darat-sebuah-pembelajaran/
https://republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/19/02/28/pnmw3e458-ra-kartini-dan-ayat-alquran-habis-gelap-terbit-terang
https://notif.id/2021/24372/news/more/histori/titik-terang-r-a-kartini-dalam-menemukan-keislamannya/
https://www.republika.co.id/berita/m1s02v/ra-kartini-dan-islam
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.