Makna Simbolik Ibadah Kurban
Agama | 2025-05-31 21:42:09Oleh: Muhammad Syafi’ie el-Bantanie
(Founder Edu Sufistik)
Setiap tahun pada bulan Dzulhijjah umat Islam menjalankan ibadah kurban. Sejatinya, kurban tidak sebatas ritual ibadah, namun mengandung makna simbolik yang mendalam. Dalam hal ini, kita meminjam pendekatan konotatif dalam kajian semiotika. Pendekatan konotatif berusaha menggali makna tersirat dibalik teks tersurat.
Kurban, secara bahasa, berasal dari fi’il (kata kerja) qaruba yang berarti dekat. Qurban merupakan bentuk isim masdar (kata kerja yang dibendakan) dari qaruba yang berarti kedekatan. Dengan demikian, kurban bermakna ibadah untuk membangun kedekatan dengan Tuhan. Artinya, seseorang yang berkurban harus sadar secara spiritual bahwa ia sedang membangun kedekatan dengan Tuhannya.
Ketika seorang hamba mendekat kepada Allah, maka Allah pun mendekat kepadanya. Pertanyaannya, mungkinkah seorang hamba mendekat kepada Allah, namun dalam hati dan pikirannya masih melekat kuat hal-hal selain Allah? Jika demikian, akankah seorang hamba sampai kepada Allah?
Demi harta, seseorang sampai menghalalkan segala cara, semisal korupsi mengeruk uang negara. Demi tahta, seseorang rela menzalimi sesama. Jika demikian adanya, benarkah kita mendekat kepada Allah melalui ibadah kurban? Mungkinkah Allah mendekat kepada kita? Bukankah Dia Maha Mengetahui segala isi hati? Jika demikian, tidakkah ibadah kurban hanya menjadi simbol status sosial kita di tengah masyarakat?
Ibadah kurban seharusnya berdampak pada perubahan dan peningkatan kualitas pribadi kita menjadi lebih baik dari masa ke masa. Seseorang yang ikhlas berkurban akan memperoleh kedekatan dengan Allah. Karena kedekatan itu, dia akan memperoleh pancaran cahaya hidayah dari Allah yang tercermin pada pribadinya yang semakin baik.
Oleh karena itu, kita harus memaknai ibadah kurban secara hakiki. Makna simbolik pertama dari ibadah kurban adalah melepas kemelekatan. Ibadah kurban sejatinya mengajarkan kita untuk melepas kemelekatan diri kita dari selain Allah. Dalam hati dan pikiran kita hanya ada Allah. Semua identitas dan entitas keduniaan yang menghalangi kita untuk sampai kepada Allah, harus ditanggalkan.
Dalam konteks ini, kita harus belajar kepada Nabi Ibrahim. Kita bisa membayangkan bagaimana suasana psikologis Nabi Ibrahim. Sekian lama menanti hadirnya keturunan hingga usianya telah senja. Ketika doanya dikabulkan dan dianugerahi Ismail, turunlah perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih Ismail.
Kita bisa membayangkan demikian beratnya perintah itu. Pertarungan batin antara cinta kepada anak dihadapkan pada penunaian perintah Allah. Kita bertanya mengapa Allah memerintahkan Nabi Ibrahim menyembelih Ismail? Bukan perintah lainnya, semisal menyedekahkan harta sekian banyaknya?
Karena, pada konteks manusiawi, tidak ada yang lebih melekat pada hati Nabi Ibrahim selain Ismail. Anak kesayangan yang dinantinya sekian masa lamanya. Dalam konteks inilah, Allah menguji Nabi Ibrahim. Dan, Nabi Ibrahim lulus ujian. Ia melepas kemelekatan terhadap Ismail sekalipun. Dalam hatinya, hanya ada Allah. Cintanya kepada Ismail merupakan refleksi dari kecintaan Nabi Ibrahim kepada Allah.
Oleh karena itu, melalui simbolisasi ibadah kurban, lepaskanlah kemelekatan diri kita dari segala sesuatu selain Allah. Selama masih ada kemelekatan dalam hati terhadap identitas dan entitas keduniaan, maka kita tidak akan sampai kepada Allah (QS. 22: 37).
Makna simbolik kedua dari ibadah kurban adalah menyembelih hawa nafsu. Hawa nafsu selalu mengajak kita kepada keburukan. Ia memprovokasi kita untuk melampiaskan amarah ketika mendapatkan hal-hal yang tidak disukai. Ia mendorong kita untuk bertikai memperebutkan harta duniawi.
Hawa nafsu pula yang akan menghalangi perjalanan spiritual kita untuk mendekat kepada Allah melalui ibadah kurban. Maka itu, selain melepas kemelekatan, kita juga mesti menyembelih hawa nafsu agar hati menjadi tenang. Hati yang tenanglah (nafs muthmainnah) yang bisa mendekat kepada Allah. Hati menjadi fokus melangit menuju Allah, untuk kemudian menebar rahmat dalam kehidupan.
Dalam konteks ini, kita bisa belajar kepada Nabi Yusuf. Ketika Nabi Yusuf sudah menjadi raja di Mesir, saudara-saudaranya yang dulu mencelakakannya dengan menceburkan dirinya ke dalam sumur, datang kepadanya meminta bantuan makanan karena negeri mereka didera kemarau dan paceklik.
Secara manusiawi, wajar jika Nabi Yusuf memberikan hukuman atas perbuatan saudara-saudaranya dulu terhadap dirinya. Terlebih posisi Nabi Yusuf sebagai raja saat itu sangat memungkinkan untuk menjatuhkan hukuman. Dalam perspektif kemanusiaan, hawa nafsu yang ditunggangi setan pasti memprovokasi Yusuf untuk membalas, atau dalam bahasa halusnya sebagai pelajaran, atas kejahatan saudara-saudaranya.
Akan tetapi, dalam situasi dan posisi mampu melampiaskan amarah dan membalas, Yusuf memilih memaafkan saudara-saudaranya. Bahkan, mendoakan mereka agar diampuni Allah (QS. 12: 92). Yusuf berhasil menyembelih hawa nafsunya, sehingga tunduk dan patuh mengikuti tuannya. Inilah makna simbolik kedua dari perintah ibadah kurban.
Pribadi yang berhasil mendekat kepada Allah dengan melepas kemelekatan dan menyembelih hawa nafsu akan memperoleh pancaran cahaya Allah. Dalam kajian Tasawuf, disebut isyraq (pancaran). Pada tahap ini, Allah menjadi “pendengarannya” yang dengannya dia mendengar. Menjadi “penglihatannya” yang dengannya dia melihat. Menjadi “tangannya” yang dengannya dia bekerja. Menjadi “kakinya” yang dengannya dia berjalan.
Dengan kata lain, menggambarkan hilangnya cita rasa insaniyah (kemanusiaan) berganti dengan cita rasa ilahiyah (ketuhanan). Bayangkan, jika sudah demikian, mungkinkan pribadi seperti itu akan berbuat kerusakan di bumi? Jelas tidak mungkin. Karena, keseluruhan unsur dirinya telah terpancari cahaya hidayah dan makrifah Allah.
Pelaksanaan ibadah kurban hanya empat hari, namun makna simbolik ibadah kurban harus terus terpatri. Dengan demikian, ibadah kurban berdampak pada perubahan dan peningkatan kualitas diri yang menjadi cerminan keagungan dan kebesaran Allah.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
