Hamidah Tak Menunggu Diselamatkan: Ia Menyelamatkan Dirinya Sendiri
Sastra | 2025-05-31 17:58:35
“Adat inilah yang lebih dahulu mesti diperangi.” — Hamidah, 1935
Di masa ketika suara perempuan dianggap aib, Fatimah Hasan Delais menulis sebuah novel yang terlalu jujur untuk zamannya. Judulnya Kehilangan Mestika. Tokoh utamanya, Hamidah, bukan tokoh perempuan manis yang pasrah pada nasib. Ia perempuan yang bertanya, perempuan yang menolak diam, perempuan yang berdiri—meski sendiri.
Novel ini lahir tahun 1935. Sebelum Indonesia merdeka. Sebelum perempuan bisa bebas sekolah. Sebelum istilah "emansipasi" menjadi poster di dinding sekolah dan iklan sabun cuci.
Dan inilah kenapa Hamidah begitu berani.
Bukan Sekadar Novel Cinta
Banyak yang menyangka Kehilangan Mestika adalah kisah kehilangan cinta. Tapi lebih dari itu, ini adalah kisah tentang kehilangan hak, kehilangan suara, kehilangan ruang untuk menjadi diri sendiri.
Hamidah memperjuangkan tiga hal yang saat itu dianggap “melawan adat”: hak perempuan untuk belajar, bekerja, dan berbicara.
Ia mendirikan kelompok baca bagi perempuan. Ia merantau dan menjadi guru perempuan pertama dari desanya. Ia melawan stigma bahwa perempuan harus dipingit dan tak boleh terlihat.
Setiap langkahnya bukan hanya ditentang oleh masyarakat, tapi juga oleh perempuan lain yang belum siap lepas dari rantai adat.
Emansipasi yang Sunyi Tapi Tajam
Perjuangan Hamidah bukan sekadar simbol. Ia adalah bentuk nyata dari gerakan perempuan yang menuntut pengakuan dalam:
- Pendidikan: Hamidah mengajar perempuan menulis, membaca, berpikir.
- Pekerjaan: Ia merantau, bekerja, dan membuktikan bahwa perempuan bisa mandiri.
- Status Sosial: Ia menolak dijadikan hiasan rumah. Ia ingin jadi pelita masyarakat.
Tapi semua perjuangan itu dibayar mahal. Ia dicaci, dituduh sesat, keluarganya dijauhi. Namun Hamidah terus melangkah. Karena ia tahu, jika bukan dirinya, siapa lagi?
Relevan? Terlalu!
Hamidah hidup hampir satu abad lalu. Tapi hari ini, masih ada anak perempuan yang dipaksa berhenti sekolah demi dinikahkan. Masih ada perempuan yang dicemooh karena memilih karier. Masih ada perempuan yang disuruh diam karena "kamu perempuan, tahu tempatmu".
Hamidah tidak menuntut jadi laki-laki. Ia hanya ingin haknya sebagai manusia diakui.
Dan mungkin, kita semua adalah Hamidah—yang masih terus belajar untuk tidak minta maaf karena berani bermimpi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
