Kebohongan yang Terselubung
Guru Menulis | 2025-05-31 16:32:21
Oleh: Dr. Heru Siswanto, M.Pd.I*
Dalam konteksnya seni sastra, saat ini tergolong sebagai zaman abu-abu. Atau dalam seni pagelaran pewayangan disebut dengan istilah jaman besi. Sebab terkait dengan hal ini, terkadang adakalanya suatu kebohongan terbungkus rapi dengan suatu kebaikan. Atau bahkan, malah suatu kebaikan itu sendiri terlihat buruk karena salahnya penempatan sudut pandang.
Dalam hal ini Friedrich Nietzsche pernah mengatakan "Bahaya terbesar bukanlah kebohongan, tetapi kebohongan yang dibungkus kebenaran."
Kecanggihan zaman saat ini menjadi modal utama dalam menyamarkan kebohongan bagi para pendusta. Sehingga upaya penyampaian kebohongan ini tentunya tidak secara terang-terangan, akan tetapi dengan narasi yang cukup mencengangkan agar tampak benar, dan terlihat masuk akal, atau bahkan terkesan bijak selintas ketika kita perhatikan.
Sedangkan kebohongan paling berbahaya bukanlah yang kita tahu salah, akan tetapi kebohongan yang kita yakini benar. Ini yang akan merusak atau menggerus tatanan masyarakat. Baik dari sisi sosial, politik, budaya, pertahanan dan keamanannya.
Sebagai referensi tambahannya, dalam pandangan Stoik, seperti yang diajarkan oleh Marcus Aurelius dan Seneca, kebenaran harus diuji oleh akal yang jernih, bukan oleh perasaan yang mudah digiring dengan mudahnya.
Untuk itu dalam konteksnya ini, ada suatu pesan moral bagi kita. Untuk selalu mempertanyakan motif di balik setiap pesan yang terkesan manis, seakan-akan tulus tanpa adanya celah keburukan dan kecurangan sama sekali. Apakah itu memang datang dari niat yang benar-benar tulus, ataukah hanya sekadar manipulasi belaka dalam balutan kebaikan untuk menarik perhatian? he. he. he karena adanya suatu kejahatan terselubung.
Dalam satu kutipannya Nietzsche, bahwa manusia itu cenderung mencari kenyamanan daripada kebenaran. Oleh karena itu, kebohongan yang menyamar sebagai kebenaran menjadi candu sosial.
Sehingga keberadaannya ini, diterima tanpa debat, diulang tanpa adanya analisa lagi, dipercaya tanpa dasar dan syarat. Inilah yang kemudian disebut racun halus yang membuat masyarakat kehilangan daya kritisnya dan berakhir tergiring ke lembah kenistaan tanpa ia sadari.
Dalam ilmu Filsafat, kita diajarkan harus bisa menjadi penjaga bagi pikiran kita sendiri. Mengingat dunia saat ini dipenuhi berbagai informasi dan propaganda yang tidak jelas, menjadi waspada adalah bagian dari kebijaksanaan dalam hidup bermasyarakat.
Catatan teramat penting bagi kita, jangan terburu-buru percayan pada sesuatu hanya karena terdengarnya indah sekali. Ingat, kebijaksanaan sejati lahir dari keberanian untuk meragukan yang populer, dan mencari yang benar meskipun dalam hal ini tak ada yang menyukai.
Simpulnya, seperti apa yang pernah disampaikan Stoik "kebaikan tidak berisik, dan kebenaran tidak butuh topeng. Ia cukup menjadi dirinya sendiri tegas, jujur, dan kadang menyakitkan. Tapi dari situlah kebebasan berpikir dilahirkan."
Ini seharusnya menjadi prinsip kita, dalam menghadapi zaman abu-abu saat ini. Dan, menjadi prinsip dasar kita untuk mendapatkan kebahagiaan yang sejati nantinya. Aamiin
Semoga Bermanfaat....
*Ketua Program Studi dan Dosen PAI-BSI (Pendidikan Agama Islam-Berbasis Studi Interdisipliner) Pascasarjana IAI Al-Khoziny Sidoarjo; Dosen PAI-Terapan Poltek Pelayaran Surabaya; Pengurus Lembaga Takmir Masjid PCNU Sidoarjo; Ketua Lembaga Dakwah MWCNU Krembung.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
