Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Balqis Meira Salwa

Kisah Hamidah: Cermin Perjuangan Perempuan dari Masa ke Masa

Sastra | 2025-05-18 21:43:02
Stop Gender Violence Illustrasion. Sumber gambar: freepik.com.

Kehilangan Mestika adalah novel karya Fatimah Hasan Delais, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1935. Novel ini merupakan salah satu karya sastra penting dari masa awal kebangkitan perempuan penulis di Indonesia. Dalam novel ini, Fatimah menyuarakan kritik sosial terhadap kedudukan perempuan dalam masyarakat tradisional yang sangat dipengaruhi oleh adat, serta keterbatasan yang mereka alami dalam mengakses pendidikan dan menentukan jalan hidupnya sendiri.

Tokoh utama dalam novel ini adalah Hamidah, seorang gadis cerdas dan berpemikiran maju yang hidup di tengah masyarakat yang masih memegang teguh adat patriarkal. Sejak kecil, Hamidah memiliki semangat belajar yang tinggi dan ingin melanjutkan pendidikan. Namun, keinginannya ditentang oleh keluarganya, terutama ibunya, yang percaya bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi karena tugas utama perempuan hanyalah menjadi istri dan ibu rumah tangga.

Hamidah tidak tinggal diam. Ia memberontak terhadap aturan-aturan yang mengurung perempuan dalam rumah dan mengekang kebebasan mereka. Ia berusaha menunjukkan bahwa perempuan juga memiliki hak yang sama untuk belajar, bermimpi, dan menentukan nasib sendiri. Perjuangannya mencerminkan benturan antara nilai-nilai adat yang mengekang dengan pemikiran modern yang memperjuangkan emansipasi perempuan.

Kehilangan Mestika bukan hanya kisah tentang pendidikan dan cinta, tetapi juga merupakan cerminan dari keresahan sosial atas ketimpangan gender dan keberanian perempuan untuk melawan batasan yang dianggap mutlak. Melalui tokoh Hamidah, Fatimah Hasan Delais menggambarkan semangat perempuan Indonesia awal abad ke-20 yang mulai sadar akan hak dan kebebasannya.

Kebebasan dan Kesetaraan Perjuangan Perempuan

Perjuangan Hamidah dalam Kehilangan Mestika benar-benar menggambarkan tekad seorang perempuan untuk meraih kebebasan, baik dalam pendidikan maupun dalam memilih jalan hidupnya sendiri. Dalam masyarakat yang kental dengan norma-norma patriarkal dan adat yang membatasi perempuan, Hamidah adalah simbol perlawanan yang penuh semangat terhadap ketidaksetaraan tersebut.

1. Perjuangan Hamidah untuk Pendidikan

Di lingkungan yang konservatif, pendidikan perempuan sering kali dianggap sebagai sesuatu yang kurang penting. Dianggap cukup dengan pengetahuan domestik (pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat di suatu daerah atau komunitas tertentu) untuk menjalani peran tradisional sebagai istri dan ibu. Namun, Hamidah memiliki visi yang berbeda tentang hidupnya. Ia ingin belajar, mengembangkan diri, dan tidak terkurung dalam batasan-batasan yang ditempatkan oleh tradisi. Cita-citanya bukan hanya untuk mendapatkan gelar, tetapi juga untuk membuktikan bahwa perempuan memiliki hak yang sama untuk mengejar ilmu setinggi-tingginya.

Meski ada banyak rintangan, baik dari keluarga maupun masyarakat, Hamidah tetap gigih berjuang. Ia berusaha meyakinkan keluarganya bahwa pendidikan bukan hanya untuk laki-laki, dan bahwa perempuan juga berhak memiliki kesempatan yang sama untuk belajar. Perjuangannya ini tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga sebagai pesan bahwa setiap individu, terlepas dari jenis kelaminnya, memiliki hak untuk mengembangkan potensi dirinya.

2. Melawan Pembatasan Adat

Di samping pendidikan, Hamidah juga dihadapkan dengan pembatasan adat yang mengekang kebebasan perempuan. Dalam budaya di mana peran perempuan sangat dibatasi, banyak orang yang menilai bahwa perempuan hanya seharusnya berfokus pada peran domestic (pengiburumahtanggaan yang mana suatu paham menempatkan perempuan sebagai makhluk yang hanya berperan dalam urusan kerumahtanggaan saja): menikah, mengurus rumah tangga, dan merawat anak-anak. Hamidah, yang memiliki mimpi dan tujuan lebih besar dari itu, harus berjuang untuk melawan pandangan ini.

Dengan tekad yang kuat, Hamidah berusaha untuk mengikuti kata hatinya meskipun harus melawan ekspektasi orang-orang di sekitarnya. Ia menolak untuk terjebak dalam peran tradisional yang menurutnya sempit dan membatasi potensinya. Dalam melawan adat, Hamidah menunjukkan kepada dunia bahwa perempuan berhak memilih jalannya sendiri, bahwa kebebasan untuk menentukan hidup adalah hak dasar yang tidak bisa diabaikan hanya karena norma sosial yang sudah berlangsung lama.

3. Perjuangan untuk Kebebasan Memilih Jalan Hidup

Salah satu aspek penting dari perjuangan Hamidah adalah kebebasan dalam memilih pasangan hidup. Dalam budaya yang menganggap pernikahan sebagai puncak dari hidup seorang perempuan, Hamidah berjuang untuk memastikan bahwa dia bisa memilih pasangan hidupnya berdasarkan perasaan dan kecocokan, bukan karena tekanan sosial atau keinginan keluarga. Bagi Hamidah, pernikahan bukanlah tujuan hidup, melainkan bagian dari perjalanan yang harus didasarkan pada pilihan pribadi, bukan sebuah kewajiban yang diberikan oleh adat atau masyarakat.

Melalui perjuangannya ini, Hamidah ingin menunjukkan bahwa perempuan berhak memiliki kontrol atas hidup mereka, dan tidak harus mengikuti ekspektasi yang sudah ditetapkan oleh tradisi. Ia ingin membuktikan bahwa setiap perempuan memiliki hak untuk memilih siapa yang mereka cintai dan bagaimana mereka ingin menjalani kehidupan mereka.

4. Menyatukan Semua Perjuangan

Secara keseluruhan, Hamidah dalam Kehilangan Mestika adalah contoh perjuangan seorang perempuan untuk melawan pembatasan-pembatasan yang dikenakan oleh masyarakat dan adat. Melalui pendidikan, kebebasan memilih pasangan hidup, dan hak untuk menentukan jalan hidup, Hamidah mengajarkan kita bahwa kebebasan dan kesetaraan adalah hak semua orang, tanpa memandang jenis kelamin. Dengan semangatnya yang tak kenal lelah, Hamidah menjadi inspirasi bagi banyak perempuan untuk berani melawan pembatasan yang ada dan mengejar impian mereka dengan tekad yang bulat.

Perjuangannya adalah bukti bahwa dalam dunia yang penuh dengan tekanan dan ekspektasi sosial, keberanian untuk memilih jalan hidup sendiri adalah kemenangan besar bagi setiap individu, terutama perempuan yang sering kali terpinggirkan oleh tradisi dan norma yang sempit.

Representasi Kartini pada Masa Itu, Memperjuangkan Pendidikan dan Hak-Hak Perempuan di Tengah Tekanan Adat dan Keluarga

Hamidah dalam Kehilangan Mestika dapat dianggap sebagai figur perempuan modern yang meneruskan perjuangan Raden Ajeng Kartini, meskipun berada dalam konteks sosial yang berbeda. Seperti Kartini yang memperjuangkan hak perempuan untuk mengakses pendidikan dan memilih jalan hidup mereka di tengah masyarakat yang sangat patriarkal, Hamidah juga berjuang melawan pembatasan-pembatasan yang ditempatkan pada perempuan oleh adat dan tradisi.

1. Perjuangan untuk Pendidikan

Kartini dikenal sebagai pejuang hak pendidikan bagi perempuan pada masa kolonial. Pada zamannya, pendidikan untuk perempuan hanya dianggap sebatas urusan domestik, dan pendidikan tinggi dianggap tidak penting bagi perempuan. Lewat surat-suratnya, Kartini berupaya membuka pikiran masyarakat bahwa perempuan pun berhak untuk belajar dan mengembangkan diri mereka secara penuh.

Hamidah, meskipun hidup di era yang lebih modern, menghadapi tantangan serupa terkait hak perempuan atas pendidikan. Dalam masyarakat yang masih mempercayai bahwa perempuan hanya perlu terampil dalam mengurus rumah tangga, Hamidah berjuang keras untuk mendapatkan akses pendidikan yang lebih tinggi. Di sinilah Hamidah menunjukkan keteguhan hatinya, seperti halnya Kartini yang berani berbicara dan bertindak untuk pendidikan perempuan. Meskipun ada tekanan dari keluarga dan masyarakat yang mengekang, Hamidah tetap berusaha untuk meyakinkan mereka bahwa pendidikan adalah hak perempuan dan penting untuk mengembangkan potensi diri.

Keduanya menunjukkan bahwa perjuangan untuk pendidikan perempuan bukanlah sekadar tentang memperoleh pengetahuan, tetapi tentang menghargai martabat dan hak perempuan untuk berkembang. Bagi Hamidah, seperti halnya Kartini, pendidikan adalah alat untuk meraih kebebasan dan kemajuan pribadi.

2. Menantang Pembatasan Adat

Kartini memprotes keras tradisi yang membatasi perempuan dalam peran domestik dan sosial yang sempit. Meskipun terlahir dalam keluarga bangsawan yang mematuhi adat, ia berani menyuarakan pendapatnya bahwa perempuan seharusnya diberikan kebebasan untuk memilih hidup mereka, termasuk dalam hal pendidikan, pekerjaan, dan pernikahan.

Hamidah juga berhadapan dengan norma adat yang menempatkan perempuan dalam posisi terbatas. Dalam masyarakat yang kental dengan tradisi, perempuan diharapkan menikah muda dan mengurus keluarga, tanpa kesempatan untuk mengejar cita-cita atau impian pribadi. Hamidah menantang pandangan ini dengan memperjuangkan haknya untuk memiliki kebebasan memilih jalan hidup, meskipun ia tahu perjuangannya akan penuh rintangan.

Seperti Kartini yang memperjuangkan hak perempuan untuk memilih jalan hidup mereka sendiri, Hamidah berjuang untuk memperoleh kebebasan dalam membuat keputusan tentang masa depannya. Melalui kisah Hamidah, kita melihat bahwa perlawanan terhadap adat yang membatasi perempuan tetap relevan, meskipun konteks sosialnya sudah berubah. Keduanya menegaskan bahwa perempuan seharusnya memiliki kontrol atas hidup mereka tanpa harus terbelenggu oleh ekspektasi dan tekanan sosial.

3. Memilih Jalan Hidup Sendiri

Kartini sangat menekankan pentingnya hak perempuan untuk memilih jalan hidup mereka sendiri. Ia tidak menerima kenyataan bahwa pernikahan adalah tujuan hidup utama perempuan. Bagi Kartini, pernikahan harus didasarkan pada cinta dan pilihan bebas, bukan hanya pada kewajiban adat.

Hamidah pun mengusung gagasan yang sama. Dalam novel Kehilangan Mestika, Hamidah berjuang agar ia bisa memilih pasangan hidup berdasarkan perasaan dan kecocokan, bukan karena tekanan keluarga atau adat. Ia tidak ingin menikah hanya karena itu adalah peran yang ditentukan untuk perempuan. Seperti Kartini yang memperjuangkan kebebasan dalam memilih pasangan, Hamidah juga ingin memastikan bahwa hidupnya, termasuk pernikahan, adalah hasil dari pilihannya sendiri.

Melalui perjuangan Hamidah, kita belajar bahwa perempuan memiliki hak untuk memilih masa depan mereka, termasuk dalam urusan cinta dan pernikahan. Tidak ada yang bisa memaksakan pilihan hidup pada perempuan, dan itu adalah salah satu aspek yang terus diperjuangkan baik oleh Kartini pada masanya maupun oleh Hamidah di zamannya.

4. Mewakili Perubahan dan Harapan Baru

Hamidah, meskipun hidup dalam konteks yang lebih modern, tetap mewakili perjuangan yang sangat relevan dengan perjuangan Kartini. Meskipun zaman telah berubah, tantangan perempuan untuk mendapatkan hak yang setara, untuk memilih jalan hidup mereka, dan untuk melawan pembatasan adat dan tradisi tetap ada. Hamidah adalah simbol perempuan masa kini yang melanjutkan semangat Kartini untuk membebaskan perempuan dari belenggu tradisi yang menghambat kemajuan mereka.

Dengan menghadapi berbagai rintangan dalam masyarakat yang masih patriarkal, Hamidah mengingatkan kita bahwa perjuangan Kartini belum selesai. Meskipun kini perempuan memiliki lebih banyak peluang, perjuangan untuk kesetaraan dan kebebasan memilih tetap penting. Hamidah mewakili generasi perempuan yang melanjutkan perjuangan Kartini dalam konteks yang lebih modern, tetapi dengan cita-cita yang sama: agar perempuan dapat memiliki kebebasan untuk menentukan hidup mereka, tidak hanya untuk diri mereka sendiri tetapi juga untuk generasi perempuan yang akan datang.

5. Benturan antara Pingitan dan Kebebasan

Adat yang berlaku di masyarakat Hamidah memang menekankan bahwa perempuan harus tinggal di rumah, menjaga kehormatan keluarga, dan tidak bebas keluar tanpa izin atau pendampingan. Pingitan, yang sering diartikan sebagai bentuk pembatasan gerak, membuat perempuan terkurung dalam peran domestik dan dibatasi kebebasannya, baik dalam hal bergerak maupun dalam mengembangkan potensi diri.

Namun, Hamidah sebagai tokoh yang mewakili pemikiran modern, menentang ketidakadilan yang ditimbulkan oleh adat tersebut. Dia percaya bahwa perempuan seharusnya memiliki hak untuk bebas menentukan hidupnya, termasuk dalam hal pendidikan dan karir. Hamidah ingin meruntuhkan pandangan yang menganggap bahwa tempat perempuan hanya di rumah, dan mereka tidak berhak untuk mengejar impian atau berkiprah di luar rumah tangga.

Pemikiran Hamidah yang lebih modern mencerminkan perubahan zaman, di mana perempuan mulai diberi kesempatan untuk berpendidikan tinggi, berkarir, dan memilih jalan hidup mereka sendiri tanpa terikat pada tradisi yang mengekang. Untuk Hamidah, kebebasan untuk keluar rumah dan mengakses pendidikan adalah hak dasar yang harus diperjuangkan, karena ini adalah langkah pertama untuk mengubah nasib perempuan dan memberi mereka kesempatan untuk mengembangkan diri secara utuh.

Adat yang membatasi perempuan dan memandang mereka hanya tidak sejalan dengan nilai-nilai yang dibawa oleh Hamidah. Dalam perjuangannya, Hamidah ingin membuktikan bahwa perempuan tidak hanya bisa menjadi istri atau ibu yang terkungkung oleh tradisi, tetapi mereka juga bisa menjadi individu yang mandiri, berpendidikan, dan memiliki karir yang sukses. Bagi Hamidah, kebebasan untuk berbuat sesuatu lebih dari sekadar rutinitas rumah tangga adalah hak yang seharusnya dimiliki setiap perempuan.

Pada akhirnya, perjuangan Hamidah untuk melawan adat pingitan dan mendapatkan kebebasan dalam hal pendidikan dan mobilitas mencerminkan semangat perjuangan perempuan di berbagai zaman, yang selalu berusaha untuk melampaui batasan-batasan yang ditetapkan oleh masyarakat demi mencapai potensi diri yang sesungguhnya.

Hamidah, dalam Kehilangan Mestika, adalah penerus perjuangan Kartini dalam memperjuangkan pendidikan dan kebebasan perempuan. Seperti Kartini, Hamidah berjuang untuk membebaskan perempuan dari tradisi dan norma yang mengekang. Dalam hal ini, Hamidah bukan hanya berjuang untuk dirinya sendiri, tetapi juga bagi perempuan-perempuan lain yang ingin memiliki hak untuk menentukan hidup mereka. Kartini membuka jalan bagi Hamidah, dan Hamidah melanjutkan perjuangan itu di zaman yang berbeda, namun dengan semangat yang sama: untuk memberi suara kepada perempuan dan membuka ruang bagi mereka untuk memilih masa depan mereka tanpa terbatas oleh adat, tradisi, atau ekspektasi masyarakat.

Antara Adat dan Agama Hamidah Menantang Pemahaman yang Membelenggu

Dalam Kehilangan Mestika, adat sering kali disalahartikan sebagai bagian dari agama, sebuah masalah yang dialami oleh tokoh utama, Hamidah. Dalam konteks masyarakat yang sangat kental dengan budaya patriarkal, adat sering kali dipandang sebagai aturan yang tidak bisa dipertanyakan, bahkan dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari agama. Namun, Hamidah, yang memiliki pemikiran lebih modern dan kritis, berusaha untuk menunjukkan bahwa tidak semua yang dikatakan adat itu merupakan ajaran agama yang sahih (benar) menurut pandangan Islam adalah Islam sendiri.

1. Adat Sebagai Bagian dari Agama: Salah Pengertian yang Umum

Dalam masyarakat tradisional yang dianut oleh Hamidah, banyak nilai dan aturan yang berlaku di sekitar kehidupan perempuan dianggap sebagai bagian dari kewajiban agama. Misalnya, ada keyakinan bahwa perempuan harus menunggu di rumah, tidak diperbolehkan keluar tanpa izin, dan peran mereka hanya terbatas pada urusan rumah tangga dan pengasuhan anak. Semua pembatasan ini sering kali disalahartikan sebagai perintah agama, padahal sebenarnya itu lebih merupakan hasil konstruksi sosial yang terbentuk dari kebiasaan dan adat istiadat.

Di dalam konteks ini, adat yang membatasi kebebasan perempuan sering kali tidak bisa dibedakan dari agama oleh masyarakat. Kebanyakan orang menganggap bahwa ajaran agama mengharuskan perempuan berada di rumah, terikat dalam peran domestik, dan tidak memiliki hak untuk mengembangkan diri atau mencari pendidikan. Adat yang menempatkan perempuan dalam posisi terpinggirkan ini, lalu dianggap sebagai sesuatu yang tidak bisa dipertanyakan karena dipandang seolah-olah itu adalah bagian dari agama yang tidak bisa dilawan.

2. Perjuangan Hamidah untuk Mengubah Persepsi Ini

Hamidah, dengan pemikirannya yang lebih terbuka dan modern, mulai menyadari bahwa banyak dari aturan adat tersebut sebenarnya tidak ada kaitannya dengan ajaran agama. Salah satu hal yang ia perjuangkan adalah membedakan mana yang benar-benar merupakan perintah agama dan mana yang hanya hasil dari konstruksi sosial atau adat yang telah berlangsung lama.

Sebagai contoh, Hamidah merasa bahwa tidak ada kewajiban agama yang mengharuskan perempuan untuk dipingit atau dibatasi geraknya. Ia berpendapat bahwa agama, terutama Islam yang ia anut, tidak pernah memerintahkan perempuan untuk mengurung diri mereka di rumah atau untuk tidak mengenyam pendidikan. Sebaliknya, ia meyakini bahwa agama mengajarkan kesetaraan dan menghargai hak individu, termasuk hak perempuan untuk mengakses ilmu pengetahuan.

Hamidah berusaha mengedukasi keluarganya, terutama ibunya, bahwa banyak dari nilai-nilai adat yang mereka ikuti tidak memiliki dasar yang kuat dalam agama. Ia berjuang untuk menunjukkan bahwa perempuan dapat menjalani kehidupan yang lebih bebas dan mandiri, tanpa harus terikat pada tradisi yang mengekang mereka. Hamidah mengajak orang-orang di sekitarnya untuk lebih terbuka terhadap pemahaman yang lebih modern dan rasional mengenai posisi perempuan dalam masyarakat, yang tidak hanya terikat oleh adat, tetapi juga sejalan dengan ajaran agama yang lebih mendalam tentang penghargaan terhadap perempuan.

3. Upaya Hamidah dalam Melawan Pembatasan Adat

Hamidah juga berusaha untuk menantang pandangan masyarakat yang menganggap bahwa perempuan tidak seharusnya berpendidikan tinggi atau keluar rumah untuk bekerja. Ia menginginkan agar perempuan diberikan kesempatan yang setara dengan laki-laki dalam hal pendidikan dan kebebasan untuk memilih jalan hidup mereka sendiri. Dalam hal ini, Hamidah memperjuangkan agar pendidikan perempuan tidak dianggap bertentangan dengan ajaran agama, dan agar perempuan diberi kebebasan untuk mengembangkan potensi mereka.

Perjuangan Hamidah untuk mengubah persepsi ini tidak mudah. Ia harus menghadapi perlawanan dari keluarga dan masyarakat yang sudah terlanjur menganggap adat dan agama sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Namun, dengan keyakinan yang kuat, Hamidah terus berusaha membuktikan bahwa banyak dari pembatasan tersebut berasal dari tradisi yang tidak memiliki dasar yang sah dalam ajaran agama.

Dalam novel Kehilangan Mestika, Hamidah menunjukkan perjuangan yang tidak hanya berkaitan dengan kebebasan pribadi, tetapi juga dengan upaya untuk mengklarifikasi dan memisahkan antara adat dan agama. Adat yang sering disalahartikan sebagai bagian dari ajaran agama, terutama dalam hal pembatasan perempuan, menjadi fokus utama perjuangannya. Melalui karakter Hamidah, kita melihat pentingnya untuk mempertanyakan dan menganalisis kembali nilai-nilai tradisional yang tidak memiliki dasar agama yang kuat, serta memperjuangkan hak perempuan untuk memiliki kebebasan dan kesempatan yang setara dalam pendidikan, karir, dan kehidupan pribadi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image