Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image M. Haekal Al-Haffafah

Lebih Dalam dari Clientelistic Politics, Pola Shadow State dalam Desentralisasi

Politik | 2025-05-16 21:11:10

Oleh: Ahmad Haekal Haffafah

Kita mulai melihat wajah ganda dalam desentralisasi, polanya sederhana, membuka partisipasi disatu sisi, tapi dilain sisi juga memperluas akses dan terbukanya ruang dominasi kekuasaan lokal berjalan secara non akuntabel. Konteks inilah kemudian memunculkan dua gejala kuat yakni klanisasi politik dan shadow state dalam tata kelola pemerintahan lokal.

Dua istilah itu juga memperlihatkan, bagaimana wajah desentralisasi berjalan melalui pintu demokratisasi kemudian masuk ke arena konsolidasi melalui jalur kekuasaan informal. Ada warisan problematis yang memunculkan persoalan, yakni lahir bentuk klan-klan politik baru di daerah, dalam realitasnya tak sedikit Kepala daerah memfungsingkan jabatan bukan memperkuat institusi, melainkan memperkokoh klan-klan keluarga dalam posisi strategis kekuasaan politik. Kasus suksesi kekuasaan terjadi dalam lingkaran sempit, istri menggantikan suami, anak menggantikan ayah, atau saudara menggantikan saudara.

Secara teoritis fenomena ini dipahami sebagai klanisasi, dampaknya bukan hanya mempersempit ruang regenerasi dan meritokrasi. Dibeberapa daerah, pemilu berubah menjadi rutinitas formalistik sebab yang dihadirkan berasal dari jaringan dan irisan keluarga yang sama. Kalau kita mencermati studi Edward Aspinall yang menyebut fenomena ini dalam istilah clientelistic politics, secara ringkas dipahami sebagai manajemen tehnis bagaimana membajak demokrasi lokal secara terstruktur dan santun. Bukan hanya mempertahankan kekuasaan melalui jalur elektoral, tapi lewat relasi patron klien berbasis keluarga dan loyalitas pribadi. Di level inilah publik gagal menyadari, bahwa otonomi daerah telah kehilangan maknanya sebagai alat emansipasi.

Shadow State Politik Lokal

Lebih dalam dari klanisasi, beberapa kasus tentang fenomena shadow state hadir sebagai kekuasaan informal berjalan mengontrol pemerintahan dari luar institusi resmi. Keberadaan Shadow state boleh jadi merupakan tokoh parpol, pengusaha lokal, ormas yang dekat dengan kekuasaan, bohir-bohir proyek, atau bahkan aparat yang bermain dalam ranah politik. Mereka tidak memegang jabatan formal, tapi punya kendali signifikan atas keputusan-keputusan strategis.

Sebagai basis komparasi, William Reno dalam studinya tentang negara-negara Afrika, keberadaan shadow state sebagai bentuk kekuasaan paralel, secara praktis menggunakan sumber daya negara untuk kepentingan pribadi tanpa pertanggungjawaban publik. Shadow state menciptakan situasi bahwa keberadaan pemerintahan formal hanyalah wajah administratif dari kekuasaan yang sejatinya berada di tempat lain. Demokrasi berjalan secara prosedural, tetapi substansi kontrol publik atas kebijakan menghilang.

Vedi R. Hadiz memberi potret demokratisasi di Indonesia yang tidak menghapus kekuatan lama, tetapi justru mengakomodasi mereka dalam struktur baru yang lebih fleksibel. Tantangan utama kita saat ini bukan bagaimana memperbaiki sistem, tapi juga membangun kapasitas masyarakat sipil lokal, memperkuat media independen, dan mereformasi partai politik agar rekrutmen kader tidak didasarkan pada garis keturunan atau kekuatan logistik semata.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image