Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image

Ketimpangan dan Nasionalisme yang Retak: Kemiskinan sebagai Ancaman Kebangsaan

Politik | 2025-05-16 08:54:53

Dibalik pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus konsisten dalam beberapa tahun terakhir, terdapat kenyataan pahit. Ketimpangan sosial dan ekonomi yang terus meningkat. Sementara pembangunan fisik didorong dan angka-angka ekonomi makro dipuji, banyak daerah terpencil di negara ini memperlihatkan gambaran yang berbeda. Ketimpangan yang bersifat struktural bukan hanya memperdalam kemiskinan, tetapi juga meretakkan fondasi kebangsaan yang kita banggakan yaitu nasionalisme itu sendiri.

Ketimpangan yang terus-menerus, tanpa disadari akan melahirkan perasaan cinta tanah air yang melemah karena tidak didukung oleh rasa memiliki terhadap negara. Ketika sebagian besar masyarakat merasakan ketertinggal dan merasa diabaikan oleh negara, rasa kebangsaan secara bertahap mulai berkurang dengan sendirinya. Ketimpangan tidak lagi sekedar isu ekonomi, melainkan telah berubah menjadi bom waktu sosial-politik yang berbahaya mengancam persatuan bangsa. Ketimpangan struktural terjadi ketika adanya perbedaan yang tidak merata dalam akses dan kesempatan yang telah dibentuk oleh sistem ataupun kebijakan yang tidak terhitung selama puluhan tahun.

Misalnya terdapat ketimpangan dalam akses terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan ataupun infrastruktur. Sementara sebagian besar pembangunan berada di Pulau Jawa dan kota-kota besar, masyarakat di daerah tertinggal harus berjuang keras untuk sekedar mendapatkan layanan dasar. Rasio Gini Indonesia dari tahun 2022-2024 menunjukkan sedikit penurunan, menandakan ketimpangan pendapatan nasional membaik meskipun perlahan. Namun penurunan ini tidak cukup signifikan untuk menyelesaikan masalah ketimpangan struktural.

Seperti Papua, NTT, dan sebagian Kalimantan, angka kemiskinan masih dua kali lipat dari rata-rata nasional. Berarti, pertumbuhan ekonomi belum menjangkau seluruh lapisan dan wilayah. Nasionalisme muncul melaui rasa keadilan dan kebersamaan. Bila masyarakat merasa menjadi bagian dari suatu negara, maka rasa kesetiaan itu akan muncul dengan sendirinya. Namun ketika masyarakat merasa adanya ketidakadilan dan terpinggirkan, maka rasa nasionalisme hanya simbol. Rasa memiliki negara berubah menjadi apatisme dan bahkan dapat menjadi perlawanan. Dalam hal ini, ketimpangan merupakan sumber ketegangan sosial. Hal ini menimbulkan frustasi sosial yang berujung pada separatisme, radikalisme, dan konflik sosial. Serta dapat menumbuhkan ketidakpercayaan terhadap institusi negara.

Contohnya kelompok-kelompok yang merasa terpinggirkan secara ekonomi dan politik menjadi lebih mudah terpengaruhi oleh ideologi ekstrem. Untuk menghindari krisis nasionalisme di masa mendatang, keadilan sosial di negara harus ditingkatkan. Akses yang adil terhadap pendidikan berkualitas, perawatan kesehatan, pekerjaan, dan infrastruktur di daerah tertinggal harus menjadi fokusnya. Pemerintah pusat dan daerah perlu lebih aktif mendorong pembangunan berdasarkam kebutuhan lokal, bukan sekedar mengikuti logika pasar. Redistribusi fiskal juga perlu diperkuat, terutama untuk daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan ekstrem.

Kebijakan affirmative action terhadap wilayah tertinggal harus dijalankan secara konsisten. Selain itu, pengembangan ekonomi lokal melalui UMKM, koperasi, dan industri kecil harus diperkuat, agar rakyat bisa membangun masa depan dari tanahnya sendiri. Keadilan sosial bukan hanya amanat konstitusi, tapi juga fondasi utama kebangsaan. Tanpa itu, kita hanya akan menciptakan nasionalisme yang rapuh dan mudah goyah oleh tekanan sosial maupun politik. Indonesia bukan hanya Jakarta.

Kebangsaan tidak dapat dibangun di atas ketimpangan yang terus berlanjut. Jika mayoritas rakyat merasa dikecualikan dari pembangunan, maka nasionalisme tidak lebih dari sekedar omongan manis yang sering diucapkan oleh pejabat atau dalam pidato nasional .Tetapi tidak dirasakan maknanya oleh rakyat, terutama yang tertinggal secara ekonomi dan sosial. Jika nasionalisme ingin tetap menjadi kekuatan pemersatu bangsa, maka keadilan harus diwujudkan, bukan sekadar dijanjikan. Karena pada akhirnya, rasa memiliki terhadap negara tumbuh dari rasa dimiliki oleh negaranya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image