Video Pendek, Merusak Generasi Bangsa, Ini Penjelasannya!
Parenting | 2025-05-15 12:38:11
Bayangkan sejenak. Ketika seseorang terus-menerus menonton video singkat di platform seperti YouTube Shorts, TikTok, atau Instagram Reels, kemampuan mereka untuk membaca, berkonsentrasi, dan berpikir meluangkan waktu untuk mendalami topik dapat menurun. Ini sudah terlihat saat ini, mahasiswa sarjana sering mengeluh tidak mampu membaca teks lebih dari lima halaman tanpa merasa terganggu. Tanpa kita sadari, otak mulai mengalami gejala kerusakan karena terlalu sering terpapar konten yang cepat dan kurang substansial.
Sekarang pikirkan dampak bagi anak-anak berusia 2 hingga 5 tahun yang sudah terbiasa menonton video singkat. Otak mereka yang sedang berkembang terpapar pada visual yang bergerak cepat, audio yang sangat aktif, dan perubahan gambar yang tidak memberi waktu bagi mereka untuk memahami informasi. Ini lebih dari sekadar kebiasaan menonton; ini tentang bagaimana saraf otak mereka dibentuk oleh faktor yang sangat jauh dari inti belajar yang nyata.
Generasi Alpha dan Orang Tua yang Tidak Tahu
Generasi Alpha, anak-anak yang lahir setelah tahun 2010, adalah generasi pertama yang sepenuhnya tumbuh dalam era teknologi digital yang canggih. Mereka tidak tahu kehidupan tanpa akses internet, dan sejak dini sudah terbiasa dengan perangkat layar sentuh. Namun, di balik itu terdapat masalah besar yang samar: orang tua mereka, terutama dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, tidak memiliki pemahaman yang cukup mengenai kemajuan teknologi dan efeknya.
Sering kali, orang tua generasi Alpha melihat ponsel hanya sebagai alat untuk menenangkan anak. Ketika anak mulai rewel, solusi tercepat adalah memberikan akses ke YouTube. Saat orang tua merasa lelah, anak yang duduk diam selama satu jam di depan ponsel dianggap sebagai penyelesaian yang memadai. Hal ini bukan hanya kesalahan pribadi, tetapi juga masalah sistemik yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan digital dalam masyarakat kita.
Akibatnya, ada pembiaran yang luas. Konten video singkat yang dangkal dan konsumtif mengalir ke dalam kehidupan anak tanpa ada saringan. Di sisi lain, orang tua yang tidak paham tidak menyadari bahwa setiap tayangan yang disaksikan anak dapat memengaruhi struktur otak mereka. Ketidakpedulian ini semakin menguat karena kurangnya pendidikan yang memadai dari pihak pemerintah dan sekolah. Generasi Alpha bukan sekadar masa depan bagi keluarga mereka, tetapi juga untuk bangsa.
Tantangan yang Lebih Besar dari Sekadar "Malas Membaca"
Dampak dari kecanduan video pendek tidak berhenti pada menurunnya minat terhadap bacaan atau lemahnya kemampuan menulis. Lebih dari itu, fenomena ini dapat menciptakan generasi yang kurang memiliki ketahanan mental untuk menghadapi masalah, cepat kehilangan kesabaran dalam proses, dan hanya mengejar kepuasan yang instan. Ini bukan hal sepele.
Banyak dari Generasi Z, yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, mengalami kesulitan untuk memasuki dunia pekerjaan. Mereka sering kesulitan beradaptasi, menangani tekanan, atau menyelesaikan tugas jangka panjang. Padahal, mereka masih memiliki kenangan masa kecil yang bebas dari layar. Bagaimana dengan generasi Alpha yang sejak usia dua tahun sudah dikelilingi oleh TikTok dan YouTube?
Lebih mengkhawatirkan lagi, generasi Alpha di masa mendatang tidak hanya akan bersaing dengan manusia lain. Mereka juga akan bersaing dengan kecerdasan buatan, robot, dan sistem otomatisasi. Di tahun 2045, dua dekade dari sekarang, dunia kerja akan berubah. Pemenangnya bukanlah yang tercepat, tetapi mereka yang memiliki keterampilan manusiawi yang sejati: kreativitas, empati, kemampuan berpikir kritis, dan komunikasi yang mendalam.
Jika anak-anak kita saat ini hanya berkembang sebagai penggemar hiburan, konsumen konten viral, dan tidak memiliki daya pikir jangka panjang, maka kita sedang mempersiapkan mereka untuk menjadi penonton atas kesuksesan orang lain. Bahkan, bisa saja mereka akan tergantikan oleh teknologi, karena manusia yang tidak dapat berpikir lebih mendalam dibandingkan mesin, akan menjadi usang di zaman otomatisasi.
Dampak Bersama bagi Bangsa
Pertanyaannya adalah: Apa yang akan terjadi jika tren ini terus dibiarkan berlangsung?
Kita akan menciptakan sebuah generasi besar yang lemah, pasif, dan kurang produktif. Menurut sebuah penelitian oleh UNESCO, peningkatan kualitas pendidikan tidak hanya bergantung pada kurikulum dan fasilitas, tetapi juga bagaimana ekosistem belajar di rumah dibangun dengan baik dan sesuai kesadaran. Tanpa upaya tersebut, meski jumlah partisipasi sekolah meningkat, kualitas pemikiran akan menurun.
Lebih jauh, Indonesia beserta banyak negara Asia saat ini sedang mengalami ledakan populasi generasi Alpha. Dalam waktu 10 hingga 20 tahun ke depan, mereka yang akan menggantikan posisi pemimpin, pelaku industri, serta inovator. Jika generasi ini tumbuh dengan kebiasaan instan dan serba cepat tanpa pemahaman yang mendalam, maka kita berisiko menghadapi krisis intelektual nasional, kurangnya pemikir, perumus kebijakan, ilmuwan, bahkan pemimpin yang memiliki visi.
Saatnya Bertindak: Tugas Keluarga dan Negara
Kita perlu menghentikan ucapan yang menyalahkan teknologi. Teknologi bukanlah masalah, yang kurang siap adalah kita. Orang tua perlu mendapat pendidikan, bukannya dicemooh. Negara harus berperan aktif, bukan hanya mengatur kuota kuota data. Sekolah perlu mengubah fokus bukan hanya pada nilai ujian, tetapi juga pada pengembangan kesadaran literasi digital. Kampus dan pemuda intelektual harus bersuara, membangun gerakan literasi dan pengasuhan digital yang lebih baik.
Kita masih memiliki waktu, meski tidak banyak. Jika kita dapat menyelamatkan satu keluarga dari kebodohan ini, kita telah menyelamatkan satu generasi dari menjadi korban zaman. Mari kita mulai dengan langkah-langkah kecil: kurangi waktu layar, biasakan membaca, dan ajari anak untuk memahami, bukan sekadar melihat. Sebab, masa depan tidak akan dimiliki oleh mereka yang cepat menonton, tetapi oleh mereka yang paham secara mendalam.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
