
Kemiskinan di Balik Angka: Standar Nasional Vs Realitas Global
Agama | 2025-05-10 05:22:42
Perbedaan signifikan dalam standar kemiskinan antara tingkat nasional dan global, yang disebabkan oleh cara pengukuran yang berbeda, dapat menimbulkan situasi di mana individu yang secara nasional tidak termasuk kategori miskin, justru terjerumus dalam kemiskinan ekstrem menurut standar dunia; ini menggarisbawahi urgensi pengumpulan data yang tepat untuk mencerminkan realitas kemiskinan di masyarakat.
Hal ini dibuktikan dalam laporan April 2025, menetapkan standar kemiskinan di negara berpendapatan menengah atas seperti Indonesia sebagai pengeluaran di bawah USD 6,85 per hari (sekitar Rp113.777), yang mengklasifikasikan sekitar 60% penduduk Indonesia (171,9 juta jiwa) sebagai miskin, meskipun angka ini sedikit menurun dari tahun 2023. Klasifikasi baru ini secara statistik meningkatkan proporsi penduduk miskin dibandingkan standar sebelumnya (USD 3,65 per hari yang menghasilkan angka 15,6% atau 44,3 juta jiwa, dan USD 2,15 per hari untuk kemiskinan ekstrem hanya 1,3%). Berbeda dengan ini, BPS mencatat angka kemiskinan Indonesia per September 2024 sebesar 8,57% (24,06 juta orang), jauh lebih rendah karena menggunakan standar kebutuhan dasar dengan garis kemiskinan Rp 595.242 per kapita per bulan (komposisi makanan 74,50% dan non-makanan 25,50%), yang menunjukkan penurunan dibandingkan Maret 2024 dan Maret 2023, termasuk penurunan di Jawa Barat akibat kondisi ekonomi makro yang membaik dan program bantuan pemerintah.
( https://tirto.id/penyebab-data-kemiskinan-bps-dan-bank-dunia-berbeda-hbfu 6 Mei 2025)
Sedangkan menurut Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, menjelaskan perbedaan signifikan antara angka kemiskinan Indonesia versi BPS (8,57% atau 24,06 juta jiwa per September 2024) dan Bank Dunia (60,3% atau 171,8 juta jiwa berdasarkan Macro Poverty Outlook April 2025), yang disebabkan oleh perbedaan standar garis kemiskinan dan tujuan pengukuran. Bank Dunia menggunakan tiga standar global berdasarkan pendapatan per kapita per hari dalam dolar AS PPP, di mana Indonesia, sebagai negara berpendapatan menengah ke atas, diukur dengan standar 6,85 dolar AS PPP (setara Rp5.993,03 per dolar AS PPP tahun 2024), menghasilkan angka kemiskinan yang lebih tinggi karena standar ini dirancang untuk perbandingan global. Sementara itu, BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (Cost of Basic Needs/CBN) berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan makanan (2.100 kilokalori per orang per hari dari komoditas umum) dan non-makanan (tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pakaian, transportasi), yang dihitung berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang melibatkan ratusan ribu rumah tangga dan dianggap lebih mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia.
(https://www.liputan6.com 30 April 2025)
Akar perbedaan standar kemiskinan terletak pada pengaruh sistem kapitalisme dalam pengelolaan ekonomi dan sosial; negara sengaja menetapkan ambang batas rendah demi klaim palsu "pengurangan kemiskinan," yang tak lain adalah trik angka untuk memburu investasi, membuktikan bahwa kapitalisme gagal menyejahterakan masyarakat.
Sistem ekonomi Islam menawarkan solusi untuk mengatasi kemiskinan dengan prinsip mendasar bahwa negara memiliki kewajiban untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu, sebuah tanggung jawab yang dalam pandangan Islam tidak dapat diserahkan kepada mekanisme pasar bebas atau kepentingan korporasi. Hal ini ditegaskan dalam sabda Rasulullah ﷺ bahwa seorang pemimpin (khalifah) adalah penjaga dan bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya (HR. Bukhari dan Muslim).
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.