Baret di Balik Istana, Remiliterisasi, dan Moral Kepemimpinan Sipil
Politik | 2025-05-07 21:30:13Oleh: Haekal Haffafah
Tesis utama dalam reformasi politik pasca 1998 adalah restorasi supremasi sipil sebagai fondasi demokrasi konstitusional. Namun dua dekade setelahnya, Indonesia menyaksikan fragmentasi dari prinsip itu. Militer yang seharusnya dikembalikan ke barak, kini secara legal, simbolik, dan operasional, mulai mengisi kembali ruang-ruang kekuasaan sipil. Namun koreksi kritis tidak cukup berhenti di militer. Kembalinya militer ke panggung politik nasional juga harus dibaca sebagai kegagalan struktural dari kepemimpinan sipil itu sendiri, lemahnya kapasitas institusional, kompromi oligarkis, dan hilangnya etika publik dalam praktik kekuasaan.
Kecenderungan militeristik dalam pemerintahan Prabowo bukan dimaknai sebagai deviasi tunggal, melainkan sebagai respons terhadap kevakuman sipil. Ketika aktor-aktor sipil kehilangan kredibilitas, korup, fragmentaris, dan terkooptasi dalam sistem kekuasaan oligarkis, militer hadir bukan karena kekuatannya sendiri, tetapi karena lemahnya sipil untuk mempertahankan supremasinya. Di sinilah letak persoalan utama demokrasi Indonesia hari ini, kegagalan kelas politik sipil untuk menegakkan tata kelola yang berbasis integritas, rule of law, dan pelayanan publik yang berkeadaban.
Partai politik yang seharusnya menjadi pilar sipil demokrasi justru mengalami degenerasi fungsional. Alih-alih menjadi medium artikulasi kepentingan rakyat, partai telah menjelma menjadi kendaraan elektoral yang tunduk pada kekuatan finansial dan logika transaksional. Rekrutmen politik bersifat oligarkis, tanpa meritokrasi, dan lebih condong pada afiliasi patron klien. Dalam iklim seperti itu, figur militer yang menawarkan simbol ketertiban, efisiensi, dan kekuasaan tunggal menjadi “alternatif” yang diterima bahkan dirayakan. Bukan karena superioritasnya, tetapi karena kehancuran kredibilitas sipil sendiri. Ini adalah tragedi demokrasi yang dibungkus dalam justifikasi teknokratis dan populisme stabilitas.
Revisi terhadap Undang-Undang TNI, yang memungkinkan perwira aktif mengisi jabatan sipil strategis, harus dibaca dalam kerangka ini, kompromi elite sipil terhadap militer bukan karena ancaman, tetapi karena kebutuhan akan dukungan simbolik dan struktural untuk menopang kekuasaan yang kehilangan legitimasi. Yang dikhianati di sini bukan sekadar teks hukum, melainkan prinsip relasi sipil-militer modern sebagaimana diletakkan dalam teori-teori klasik dari Huntington hingga Luckham bahwa kontrol sipil atas militer bukan perkara moral, tetapi keniscayaan institusional dalam demokrasi yang bekerja.
Hal ini sejalan dengan kritik Zoltan Barany (2012) bahwa dalam banyak negara pasca-otoriter, kemunduran demokrasi justru dipicu oleh kooptasi elit sipil terhadap militer demi kepentingan elektoral jangka pendek. Fenomena ini tampak terang di Indonesia, di mana militer bukan lagi kekuatan oposisi, tetapi bagian dari koalisi kekuasaan yang disambut dan dipromosikan. Implikasi jangka panjangnya adalah militer menjadi de facto aktor pembuat kebijakan, tanpa mandat publik, tanpa akuntabilitas demokratis, namun tetap mengendalikan arah negara.
Krisis Demokrasi Menyeluruh
Dalam studi komparatif, kegagalan sipil mempertahankan supremasinya sering kali menjadi pintu masuk bagi militerisme lunak. Di Brasil era Bolsonaro, kita menyaksikan bagaimana ribuan pensiunan dan perwira aktif mengisi jabatan birokrasi sipil, bukan melalui intervensi, melainkan undangan politik.
Di Mesir, pergeseran dari sipil ke militer adalah hasil dari disintegrasi kekuatan sipil yang tercerai-berai dan mudah dimanipulasi. Di Turki, institusi sipil yang dibangun era reformasi akhirnya dilumpuhkan dari dalam oleh kekuatan eksekutif yang menjadikan militer sebagai cadangan otoritas. Indonesia, saat ini, berada dalam spektrum yang menggabungkan semua pola tersebut, kelemahan sipil, kooptasi birokratik, dan legalisasi penetrasi militer dalam sistem demokrasi elektoral.
Penting dicatat bahwa demokrasi tidak mungkin bertahan hanya dengan prosedur pemilu yang reguler. Ia membutuhkan kepemimpinan sipil yang kuat secara etika, kapabel secara administratif, dan visioner secara politik. Ketika kepemimpinan sipil absen, maka ruang tersebut akan diisi oleh kekuatan lain, militer, oligarki, atau teknokrasi non-demokratis. Dalam konteks Indonesia, ketiganya kini bersinergi dalam skema kekuasaan yang terstruktur. Kita tidak hanya sedang menghadapi kembalinya militer ke dalam politik, tetapi juga pembusukan sipil dari dalam.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
