Perang Dagang AS dan Tiongkok 2025: Babak Baru di Era Kompetisi Teknologi
Politik | 2025-04-28 14:55:34
Ketika dunia mulai pulih dari ketidakpastian pasca-pandemi, dua kekuatan ekonomi terbesar, Amerika Serikat dan Tiongkok, kembali berhadapan dalam babak baru perang dagang. Tahun 2025 menanandai eskalasi ketegangan, bukan hanya dalam volume perdagangan, tetapi juga dalam sektor-sektor strategis masa depan, seperti teknologi tinggi, energi hijau, dan kecerdasan buatan.
Jika perang dagang 2018-2019 berfokus pada tarif barang konsumsi seperti baja dan produk pertanian, maka perang dagang 2025 membawa dimensi baru yang jauh lebih kompleks. Dunia kini menyaksikan pertarungan yang tidak sekedar soal angka ekspor-impor, tetapi juga perebutan dominasi global di bidang teknologi dan inovasi.
Awal 2025 ditandai oleh kebijakan Amerika Serikat yang memperketat ekspor semikonduktor canggih dan alat-alat manifaktur chip ke Tiongkok. Produk-produk terkait kecerdasan buatan, komputasi kuantum, dan energi baru terbarukan menjadi target utama pembatasan.
Sebagai balasan, Tiongkok membatasi ekspor logam tanah jarang bahan penting untuk kendaraan listrik, turbin angin, dan pertahanan yang banyak dibutuhkan negara-negara Barat. Amerika Serikat kemudian menerapkan tarif tambahan sebesar 35% terhadap kendaraan listrik buatan Tiongkok, semetara Tiongkok memperketat impor produk agrikultur serta layanan keuangan Amerika Serikat.
Tidak seperti perang dagang sebelumnya, pertarungan ini lebih menyentuh fondasi industri masa depan. Siapa yang menguasai teknologi tinggi, energi bersih, dan kecerdasan buatan akan memilliki posisi dominan di aba ke-21.
Perubahan kepimpinan politik di kedua negara semakin memperkeruh situasi. Di Amerika Serikat, pemerintah baru hasil Pemilu 2024 mengusung agenda proteksionisme ekonomi dengan retorika “Mengembalikan pabrik Amerika”, mendorong pendekatan keras terhadap Tiongkok.
Sementara itu, di Tiongkok, pemerinta Xi Jinping yang memperpanjang masa jabatannya mengumumkan program besar “Kemandirian Teknologi Total”, dengan investasi triliunan yuan untuk memperkuat sektor semikonduktor domestik, energi hijau, dan digitalisasi nasional. Dengan tekanan politik dalam negeri yang begitu kuat, kompromi menjadi semakin sulit. Setiap langkah mundur akan dianggap sebagai kelenagan politik baik di Washington maupun di Beijing.
Sebagaimana yang terjadi pada perang dagang terdahulu, para korban terbesar justru adalah konsumen dan dunia usaha. Di Amerika Serikat, harga kendaraaan listrik meningkat lebih dari 20%, memperlambat transisi menujuenergi bersih. Di Tiongkok, inflasi harga pangan dan produk konsumen impor mulai terasa, menekan daya beli masyarakat. Perusahaan multinasional kembali mempercepat strategi diversifikasi rantai pasok, memindahkan produksi dari Tiongkok ke negara-negara seperti Vietnam, India dan Meksiko. Akibatnya, negar-negara berkembang di Asia dan Amerika Latin kini menikmati lonjatan investasi asing langsung, mengambil peluang dari ketegangan dua raksasa ini.
Perang dagang terbaru ini memperjelas tren baru dunia perlahan terbagi ke dalam dua blok ekonomi besar. Amerika Serikat mempererat kerja sama dengan Eropa, Jepang, Korea Selatan, dan Australia melalui fakta perdagangan baru yang berbasis standar teknologi dan hak buruh tinggi. Sementara itu, Tiongkok mengintensifkan kerja sama ekonomi melalui Belt an Road Initiative 2.0, memperluas penggunaan yuan di pasar internasional, serta membangun sistem pembayaran global alternatif dari SWIFT. Alih-alih memperkuat globalisasi, perang dagang AS dan Tiongkok 2025 mempercepat proses “regionalisasi ekonomi”, di mana perdagangan dan investasi semakin ditentukan oleh faktor politik dari pada prinsip pasar bebas.
Salah satu pelajaran penting dalam dinamika ini adalah hubungan ekonomi yang erat tidak menjamin terhindarnya konflik geopolitik. Dua dekade lalu, para ekonom percaya bahwa perdagangan bebas akan membawa perdamaian dan saling ketergantungan. Namun kenyataannya, ketika kekuatan besar bersaing untuk dominasi teknologi dan pengaruh global, hubungan dagang justru menjadi medan pertarungan. Untuk menghindari kehancuran bersama, dunia membutuhkan tatanan ekonomi global baru yang dapat menyeimbangkan persaingan dengan kerja sama, dan memperbarui institusi-institusi multilateral seperti WHO agar relavan menghadapi tantangan zaman.
Hingga kini, belum ada tanda-tanda bahwa ketegangan akan segera mereda. Bahkan bila terjadi genjatan senjata parsial, ketidakpercayaan yang dalam dan ambisi strategismasing-masing negara akan tetap membayangi hubungan bilateral ini. Namun sejarah menunjukkan bahwa dua kekuatan besar pada akhirnya harus menemukan jalan hidup untuk berdampingan. Alternatifnya adalah dekade ketidakpastian, fragmentasi ekonomi, dan pertumbuhan global yang terhambat.
Di tengah ketegangan ini, tantangan terbesar dunia bukan sekedar siapa yang menang atau kalah dalam perang tarif. Tantangan sejati adalah bagaimana membangun kerangka kerja baru untuk persaingan yang sehat persaingan yang mendorong inovasi, memperkaya semua pihak, dan menjaga stabilitas global. Karena pada akhirnya, di era keterkaitan global ini, kehancuran satu pihak akan cepat atau lambat menggetarkan semua pihak.
Penulis: Bagus Alwi Azhar, Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
