Target Penerimaan Pajak 2025: Antara Optimisme atau Tantangan Berat
Kebijakan | 2025-04-27 23:55:22
Pemerintah Indonesia Kembali menetapkan targer ambisius dalam penerimaan pajak sebagai pilar utama pembiayaan negara. Ditengah gejolak ekonomi global,tekatan inflasi domestic,dan melemahnya daya beli Masyarakat,direktorat jendral pajak menetapkan targer peneriaman yang tidak hanya tinggi secara angka tetapi juga syarat ekspetasi akan pemulihan dan pertumbuhan. Namun, yang menjadi pertanyaan mendasar adalah : apakah target ini mencerminkan optimisme fiskal yang sehat atau menjadi justru beban structural ditengah realitas lapangan yang komplek?
Dalam 5 tahun terakhir, realisasi penerimaan pajak cenderung tertinggal dari target.bahkan, berdasarkan historis, deviasi antara target dan realisasi bisa mencapai 6-8 persen pertahun. Diketahui, Pemerintah Indonesia menetapkan target penerimaan pajak tahun 2025 sebesar Rp2.189,3 triliun, yang berarti harus tumbuh 13,29% dari realisasi tahun 2024 sebesar Rp1.932,4 triliun 24. Angka ini menimbulkan perdebatan: apakah target ini realistis di tengah tantangan ekonomi global dan domestik, atau justru optimisme berlebihan? Tantangan berat dibalik target 13,29% Kinerja pajak 2024 yang tidak optimal menyebabkan penerimaan pajak hanya mencapai 97,2% dari target, dengan shortfall terbesar pada pph (93,2%). Artinya ini menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi yang melambat (hanya 5%, dibawah target 5,2%) dan melemahnya daya beli masyarakat yang menurun menjadi faktor utama yang menghambat kinerja pajak.
Hal ini juga menimbulkan kekhawatiran terhadap kemampuan pemerintah dalam mengejar rasio pajak yang ditargetkan, yang menjadi indikator penting untuk sustainability fiskal dan pembiayaan pembangunan. Menurut ekonom universitas gajah mada (UGM) Rijadh Djatu Winardi, S.E., M.Sc., Ph.D., CFE. Pemerintah telah menyiapkan berbagai strategi guna mencapai target penerimaan pajak, antara lain dengan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak, serta perbaikan administrasi perpajakan. “Penting bagi kita semua untuk mendukung pemerintah dalam meningkatkan penerimaan pajak. Dengan penerimaan yang kuat, pemerintah dapat menjalankan program pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya baru-baru ini. Namun, ia menyoroti beberapa faktor yang dapat menghambat penerimaan pajak di awal tahun 2025. Salah satunya adalah implementasi Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) atau Core Tax Administration System (Coretax).
Meskipun Coretax bertujuan memperbaiki tax gap dan manajemen basis data perpajakan, sistem ini masih menghadapi berbagai kendala sejak diluncurkan. Rijadh menilai, kapasitas dan arsitektur sistem Coretax belum siap untuk menangani skalabilitas tinggi, sehingga rentan mengalami gangguan saat volume data melonjak. “Infrastruktur server yang digunakan nampaknya belum dioptimalkan untuk menangani pemrosesan data dalam jumlah besar serta kompleksitas transaksi perpajakan,” jelasnya.
Sebagai perbandingan, ia menyebut MyTax Portal Inland Revenue Authority of Singapore (MyTax IRAS) yang telah digunakan sejak 2007 tanpa kendala berarti. “Skala pengguna antara Indonesia dan Singapura memang berbeda, sehingga perlu perbaikan agar Coretax bisa lebih stabil dan informatif seperti MyTax IRAS,” tambahnya. Selain itu, Rijadh juga mengkhawatirkan dampak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap inflasi dan daya beli masyarakat menengah ke bawah. Namun, ia melihat bahwa penerapan Tarif Efektif Rata-Rata (TER) untuk penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) 21 dapat memberikan kemudahan dalam perhitungan pajak karyawan serta meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Meskipun saat ini terlalu dini untuk menilai dampak penurunan penerimaan pajak terhadap perekonomian nasional, Rijadh memperingatkan bahwa kegagalan mencapai target pajak bisa berdampak serius. “Konsekuensinya bisa berupa penurunan belanja pemerintah, defisit anggaran yang melebar, meningkatnya rasio utang, perlambatan pertumbuhan ekonomi, menurunnya daya beli masyarakat, hingga ketidakstabilan ekonomi negara,” tuturnya.
Digitalisasi pajak: langkah menuju kemudahan, namun belum merata. Salah satu strategi yang diandalkan pemerintah adalah digitalisasi sistem perpajakan.lewat e-filing dan berbagai platform digital lainnya, pemerintah berharap wajib pajak wajib pajak bisa lebih mudah melaporkan dan membayar pajak. Dipermukaan, ini terdengar seperti solusi yang sangat modern dan efisien apalagi dengan berkembangnya teknologi yang semakin memudahkan segala urusan administratif. Namun, kenyataannya belum semua orang siap dengan sistem ini. Dibeberapa daerah terpencil atau sektor informal, masih banyak yang belum sepenuhnya sadar atau bahkan tidak memiliki akses yang memadai ke teknologi. Bukan rahasia lagi bahwa masih ada kesenjangan digital antara daerah maju dan daerah yang tertinggal. Jadi, meskipun teknologi bisa jadi jawaban, kita harus sadar bahwa penerapannya harus hati-hati agar tidak menambah kesenjangan.
Reformasi pajak: inklusif, tapi harus seimbang. Reformasi pajak juga diupayakan oleh pemerintah,seperti penurunan tarif pajak pada sektor-sektor tertentu, juga menjadi salah satu harapan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Disisi lain, untuk sektor UMKM, penyederhanaan proses pajak adalah langkah yang sangat dibutuhkan. Banyak pelaku UMKM yang merasa kewalahan dengan prosedur pajak yang rumit, sehingga mereka memilih untuk tidak terdaftar sebagai wajib pajak. Namun, dengan adanya reformasi ini ada resiko ketidakseimbangan. Pajak harus adil dan merata,tanpa memberatkan kelompok tertentu.terlebih, kita harus berhati hati agar tidak mengorbankan sektor yabg lebih kecil demi menarik pajak dari sektor-sektor besar yang lebih dipungut. Kita butuh kebijakan yang lebih pro-rakyat dan bisa menjaga keseimbangan antara kemudahan administrasi dan penerimaan yang optimal. Kesimpulan: target realistis tapi membutukan strategi ekstra. Target penerimaan pajak 2025 yang ditetapkan pemerintah memang menunjukkan optimisme fiskal yang sehat, namun tetap menyimpan tantangan besar dalam realisasinya. Dengan mempertimbangkan proyeksi pertumbuhan ekonomi, digitalisasi sistem perpajakan, dan reformasi kebijakan fiskal yang tengah berjalan, target tersebut secara teoritis realistis. Namun, dalam praktiknya, pencapaian angka tersebut sangat bergantung pada strategi ekstra yang konkret dan konsisten. Strategi itu meliputi: 1.Peningkatan kualitas basis data wajib pajak dan pemanfaatan teknologi untuk profiling risiko. 2.Ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan yang tidak memberatkan sektor produktif. 3.Penguatan edukasi pajak dan transparansi, agar kepatuhan sukarela meningkat. 4.Koordinasi lintas sektor untuk mencegah penghindaran pajak dan memperluas cakupan sektor informal. Tanpa langkah-langkah strategis ini, target 2025 berisiko menjadi sekadar angka normatif di atas kertas. Dengan strategi yang tepat dan implementasi disiplin, target tersebut dapat menjadi momentum untuk memperkuat kemandirian fiskal Indonesia di masa depan. Catatan akhir. Pajak adalah napas pembangunan,tetapi memaksa pertumbuhan pajak diluar kapasitas ekonomi justru berisiko memicu kontraksi. Indonesia butuh kebijakan yang tegas namun bijak bukan sekedar mengejar angka,melainkan membangun sistem perpajakan yang adil dan berkelanjutan
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
