Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image

Revitalisasi Asesmen Pembelajaran PAI di Sekolah

Agama | 2025-04-26 23:24:34

Di tengah arus globalisasi dan kemajuan teknologi informasi yang begitu pesat, dunia pendidikan menghadapi tantangan yang semakin kompleks dan dinamis. Perkembangan zaman yang diiringi derasnya arus informasi membuat nilai-nilai moral dan religius di kalangan generasi muda kian tergerus. Pendidikan pun kini tidak hanya bertugas mencetak insan yang cerdas secara intelektual, tetapi juga harus berperan aktif dalam membentuk karakter yang kuat, berkepribadian luhur, dan berakhlak mulia.

Dalam konteks ini, Pendidikan Agama Islam (PAI) sebagai salah satu mata pelajaran wajib di sekolah memegang peranan yang sangat strategis. PAI tidak hanya mengajarkan teori-teori agama, melainkan menjadi instrumen penting dalam menanamkan nilai-nilai keimanan, ketakwaan, serta akhlak mulia kepada peserta didik sejak usia dini. Untuk itu, keberhasilan pendidikan agama tidak hanya dapat diukur dari nilai ujian semata, tetapi juga harus tercermin dalam perilaku dan karakter peserta didik di kehidupan sehari-hari.

Asesmen PAI di Sekolah: Masalah yang Masih Berulang

Sayangnya, realitas yang terjadi selama bertahun-tahun menunjukkan bahwa asesmen atau penilaian dalam pembelajaran PAI di sekolah-sekolah Indonesia masih cenderung bersifat kognitif. Fokusnya lebih kepada penguasaan materi pelajaran agama, seperti hafalan ayat-ayat Al-Qur’an, pengertian rukun iman dan rukun Islam, serta sejarah nabi-nabi. Bentuk asesmen yang digunakan pun umumnya berupa soal pilihan ganda, isian singkat, dan uraian.

Sementara itu, ranah afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan beragama) yang justru menjadi inti dari tujuan pendidikan agama masih kurang mendapat porsi yang memadai dalam sistem asesmen di sekolah. Penilaian terhadap kejujuran, sopan santun, kepedulian sosial, tanggung jawab, hingga kebiasaan ibadah siswa sering kali bersifat subjektif, kurang terdokumentasi secara sistematis, dan hanya mengandalkan observasi sepintas tanpa instrumen yang jelas.

Tak hanya itu, sebagian guru PAI di sekolah juga masih mengalami kesulitan dalam merancang instrumen asesmen yang mampu menjangkau ketiga ranah tersebut secara utuh. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain keterbatasan kompetensi dalam merancang instrumen asesmen non-kognitif, beban administrasi yang tinggi, hingga kurangnya dukungan pelatihan yang berkelanjutan.

Tantangan Asesmen PAI di Era Digital

Tantangan asesmen pembelajaran PAI semakin berat seiring dengan berkembangnya era digital. Pada tahun 2025, hampir seluruh peserta didik di Indonesia telah akrab dengan berbagai platform media sosial, game online, dan aplikasi hiburan berbasis internet. Meskipun membawa dampak positif dalam kemudahan akses informasi, namun di sisi lain hal ini juga menjadi ancaman bagi moralitas dan religiusitas anak-anak usia sekolah.

Konten-konten negatif seperti ujaran kebencian, pornografi, kekerasan, hingga paham-paham ekstrem dengan mudah diakses tanpa batasan. Akibatnya, nilai-nilai keagamaan yang diajarkan di sekolah kerap kali berbenturan dengan nilai-nilai pragmatis dan hedonis yang disebarluaskan di ruang digital.

Dalam situasi seperti ini, asesmen PAI di sekolah tidak boleh lagi menggunakan pola lama. Guru harus mampu merancang instrumen asesmen yang tidak hanya menilai seberapa jauh siswa memahami materi, tetapi juga sejauh mana mereka mampu menerapkan nilai-nilai agama dalam menghadapi tantangan era digital. Misalnya, bagaimana sikap siswa saat berinteraksi di media sosial, bagaimana cara mereka menyikapi berita hoaks, dan sejauh mana mereka menjaga etika komunikasi digital yang sesuai dengan ajaran Islam.

Urgensi Inovasi dalam Asesmen PAI

Untuk menjawab berbagai tantangan tersebut, revitalisasi asesmen PAI menjadi sebuah keniscayaan. Tidak cukup hanya memperbaiki soal ujian, tetapi juga perlu menghadirkan inovasi dalam metode, instrumen, serta pendekatan asesmen. Beberapa strategi yang dapat diterapkan antara lain:

1. Pemanfaatan Teknologi Digital

Guru dapat memanfaatkan berbagai aplikasi asesmen daring seperti Google Forms, Quizizz, atau Kahoot untuk membuat kuis interaktif, evaluasi berbasis video, hingga portofolio digital yang berisi aktivitas keagamaan peserta didik. Selain memudahkan proses asesmen, pendekatan ini juga lebih menarik minat siswa yang hidup di era digital. Misalnya, siswa bisa diminta membuat video singkat tentang tata cara wudhu yang benar, vlog dakwah bertema toleransi antarumat beragama, atau laporan kegiatan sedekah online yang mereka lakukan.

2. Asesmen Berbasis Proyek dan Praktik Keagamaan

Asesmen tidak hanya dilakukan di dalam kelas, tetapi bisa berupa proyek-proyek kreatif, seperti membuat poster kampanye antiperundungan, simulasi musyawarah Islami, atau kegiatan sosial berbasis nilai keislaman di lingkungan sekitar. Praktik ibadah seperti shalat berjamaah, tadarus, atau kunjungan ke panti asuhan juga dapat menjadi instrumen asesmen psikomotorik.

3. Penilaian Sikap Berbasis Observasi Terstruktur

Guru PAI sebaiknya melakukan observasi harian terhadap perilaku keagamaan peserta didik. Untuk itu, dibutuhkan instrumen observasi terstruktur yang memuat indikator-indikator jelas, seperti kejujuran, kerapian berpakaian, kepedulian sosial, dan sikap disiplin beribadah. Penilaian ini dapat didokumentasikan secara rutin untuk memastikan objektivitasnya.

4. Kolaborasi dengan Orang Tua dan Lingkungan Sosial

Karakter religius anak tidak hanya dibentuk di sekolah, tetapi juga di rumah dan masyarakat. Karena itu, proses asesmen sebaiknya melibatkan orang tua melalui jurnal kegiatan keagamaan siswa di rumah, laporan kebiasaan ibadah harian, atau catatan perilaku sosial di lingkungan sekitar.

Asesmen PAI Berbasis Karakter: Sebuah Keharusan

Lebih dari sekadar alat ukur hasil belajar, asesmen PAI harus menjadi sarana pembentukan karakter peserta didik. Nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, peduli, adil, dan disiplin harus menjadi fokus utama yang diukur dan ditumbuhkan melalui berbagai aktivitas pembelajaran dan asesmen yang bermakna. Di era digital, asesmen karakter juga perlu diarahkan untuk mengukur etika digital peserta didik. Bagaimana mereka menyikapi konten viral, bagaimana cara mereka menyampaikan komentar di media sosial, serta sikap terhadap berita-berita bohong harus menjadi perhatian serius dalam asesmen PAI. Dengan demikian, asesmen tidak lagi bersifat sepotong-sepotong, tetapi mampu menyentuh seluruh aspek kehidupan siswa di era digital yang penuh tantangan.

Rekomendasi Pengembangan Asesmen PAI ke Depan

Agar asesmen PAI dapat menjawab tantangan zaman secara efektif, beberapa langkah strategis perlu dilakukan:

  1. Peningkatan Kompetensi Guru PAI melalui pelatihan berkelanjutan tentang asesmen berbasis karakter, teknologi digital, dan metode asesmen alternatif.
  2. Pengembangan Instrumen Asesmen yang Variatif, kontekstual, dan sesuai perkembangan teknologi digital.
  3. Penguatan Kolaborasi antara Sekolah, Orang Tua, dan Masyarakat untuk memastikan pembentukan karakter religius peserta didik berjalan sinergis di berbagai lingkungan.
  4. Pemanfaatan Media Digital Secara Kreatif sebagai sarana asesmen sekaligus media dakwah yang menyenangkan bagi siswa.
  5. Penyusunan Panduan Nasional tentang Asesmen Karakter dalam PAI agar seluruh sekolah memiliki standar penilaian yang jelas dan sistematis.

Penutup

Asesmen dalam pembelajaran PAI di sekolah bukan sekadar alat evaluasi, tetapi merupakan instrumen penting dalam membangun karakter religius, humanis, dan adaptif bagi peserta didik di era digital. Di tahun 2025 dan masa depan yang semakin dinamis, revitalisasi asesmen PAI menjadi kebutuhan mendesak. Inovasi dalam metode, instrumen, dan pendekatan asesmen menjadi kunci untuk memastikan tujuan utama pendidikan agama dapat tercapai, yakni melahirkan generasi muda yang beriman, berakhlak mulia, cerdas, serta mampu menghadapi tantangan global tanpa kehilangan jati diri keislamannya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image