Asesmen Pembelajaran PAI Pasca Ujian Nasional: Meningkatkan Mutu atau Melemahkan Semangat?
Edukasi | 2025-04-26 21:51:24
Artikel ini membahas potensi dan permasalahan yang muncul pasca penghentian Ujian Nasional, khususnya terkait dengan penilaian mata kuliah pendidikan agama islam. Seperti apa penilaian PAI di sekolah saat ini setelah UN tidak lagi menjadi standar nasional? Apakah ini melemahkan komitmen siswa untuk mempelajari nilai-nilai agama, atau justru menjadi peluang untuk meningkatkan penilaian berbasis karakter yang sesungguhnya? Banyak diskusi mengenai kemanjuran dan arah baru evaluasi pendidikan di Indonesia muncul setelah pemerintah secara resmi membatalkan Ujian Nasional dan menggantinya dengan Penilaian Nasional. Perubahan ini memengaruhi disiplin ilmu seperti pendidikan agama Islam, yang selama ini dianggap memiliki dimensi spiritual dan karakter yang signifikan, di samping aspek teknis. Lalu, apa yang akan terjadi pada penilaian pembelajaran PAI dalam sistem yang tidak lagi bergantung pada standar nasional berbasis ujian?
Sistem penilaian Pendidikan Agama Islam di Indonesia telah berubah untuk mencerminkan perkembangan di seluruh dunia dalam bidang pendidikan agama. Di sejumlah negara, termasuk Arab Saudi, Malaysia, dan Turki, evaluasi pendidikan agama telah mulai bergeser dari menghafal teks dan mengarah pada penilaian kemampuan berpikir kritis yang didasarkan pada prinsip-prinsip spiritual. Untuk menciptakan siswa yang mampu mengamalkan ajaran agama mereka dalam lingkungan multikultural kontemporer, model-model seperti nilai nilai integratif antara kompetensi akademik dan moral telah digunakan.
Dengan budayanya yang beragam, Indonesia menawarkan kesempatan untuk menciptakan model penilaian Pendidikan Agama Islam yang lebih maju yang mengevaluasi pemahaman agama dalam situasi dunia nyata (literasi agama di kehidupan nyata), daripada sekadar penguasaan materi pengajaran secara teoritis. Selama bertahun-tahun, ujian nasional telah menjadi standar pencapaian pembelajaran siswa dan simbol penilaian akhir. Meskipun demikian, UN selalu dikritik karena dianggap hanya menilai kemampuan kognitif dan mendorong metode pembelajaran langsung. Di sisi lain, AN yang digunakan saat ini memberikan lebih banyak ruang untuk penilaian formatif dan asli di tingkat unit pendidikan dan menekankan pengukuran kompetensi literasi, numerasi, dan karakter. Ini adalah kesempatan bagi Pendidikan Agama Islam untuk beralih dari penilaian berbasis hafalan dan menuju penilaian yang lebih relevan dengan perilaku spiritual, emosional, dan dunia nyata siswa. Namun, ada juga kendala signifikan yang menyertai kemungkinan ini.
Kementerian Agama (Kemenag) telah merencanakan Penilaian Nasional Literasi Agama Dasar bagi siswa sebagai respons yang matang terhadap perubahan ini. Tujuan dari program ini adalah untuk menilai seberapa baik orang memahami dan menerapkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Literasi agama dasar memiliki peran penting dalam membentuk jati diri dan karakter siswa, menurut M. Munir, Direktur Pendidikan Agama Islam. Selain itu, melalui Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 242 Tahun 2024, Kemenag telah mengamanatkan Petunjuk Teknis Penilaian Sumatif bagi Guru Pendidikan Agama Islam. Juknis ini menyoroti pentingnya evaluasi yang mengukur sikap dan praktik keagamaan siswa dalam kehidupan sehari-hari di samping pemahaman mereka terhadap ajaran agama. Sejalan dengan Direktorat Pendidikan Agama Islam juga yang telah menyusun Panduan Pembelajaran dan Penilaian Pendidikan Agama Islam berbasis Moderasi Beragama sesuai dengan Kurikulum Merdeka yang telah ditetapkan sebagai Kurikulum Nasional. Panduan ini dimaksudkan untuk membantu para pengajar Pendidikan Agama Islam dalam melaksanakan proses pembelajaran dan penilaian sesuai dengan capaian pembelajaran terkini.
Beban administratif guru dan siswa berkurang karena tidak adanya Ujian Nasional. Namun, muncul kekhawatiran tentang potensi marginalisasi mata pelajaran seperti Pendidikan Agama Islam yang tidak secara khusus dicakup dalam Ujian Nasional. Banyak siswa sekarang merasa bahwa mereka hanya "lulus" karena Pendidikan Agama Islam tidak lagi menjadi persyaratan kelulusan, padahal sebelumnya mereka menganggapnya serius karena akan diuji secara nasional. Sebagai akibat dari keadaan ini, siswa mungkin menjadi kurang termotivasi untuk memahami nilai-nilai agama secara umum, terutama jika pendidik tidak dapat menawarkan metode penilaian yang menarik dan signifikan. Pertanyaannya kemudian adalah: apakah kita akan membiarkan motivasi di balik evaluasi Pendidikan Agama Islam memudar?
Guru PAI diperbolehkan membuat penilaian yang lebih kontekstual dan autentik tanpa adanya Ujian Nasional. Misalnya, melalui portofolio ibadah harian, proyek keagamaan, refleksi pribadi, dan pengamatan dunia nyata terhadap sikap dan tindakan siswa. Penilaian ini mendukung proses internalisasi cita-cita spiritual yang lebih mendalam di samping mengevaluasi pengetahuan. Hal ini menjadi potensi yang lebih luas dalam kerangka Kurikulum Mandiri. Guru kini bebas bereksperimen dengan penilaian formatif, diagnosis dini, dan pengembangan karakter yang berkelanjutan alih-alih dibatasi oleh tuntutan ujian standar. Kini saatnya mengubah cara penilaian Pendidikan Agama Islam di sekolah. Komponen kognitif, emosional, dan psikomotorik harus seimbang. Hal ini memerlukan kebijakan yang mendukung pendidikan karakter, pelatihan guru, dan perangkat evaluasi yang lebih baik.
Penghapusan Ujian Nasional tidak boleh dilihat sebagai tanda bahwa pendidikan menjadi kurang kuat, melainkan sebagai panggilan untuk mempertimbangkan kembali hakikat belajar, khususnya dalam pendidikan agama. Pendidikan agama Islam bertujuan untuk menciptakan manusia yang taat, taat beragama, dan bermoral, bukan hanya sekadar menghafal fakta dan lulus ujian.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Prof. Abdul Mu'ti mengusulkan strategi baru untuk memberlakukan kembali Ujian Nasional (UN) mulai tahun ajaran 2025–2026. Ia menegaskan, meski konsep UN baru sudah disiapkan, pelaksanaannya belum akan dilaksanakan pada tahun 2025. Nantinya, rencana dan rincian pelaksanaannya akan diumumkan ke publik. Menurut Prof. Mu'ti, hasil UN diperlukan sebagai alat pemetaan mutu pendidikan dan sebagai informasi untuk memilih calon mahasiswa. Ia menegaskan perlunya alat evaluasi individual karena Asesmen Nasional (AS) yang merupakan alat ukur tidak cukup untuk mengukur kemampuan setiap siswa.
Hanya lembaga pendidikan yang terakreditasi yang dapat menyelenggarakan Ujian Nasional dengan format baru. sekolah yang tidak terakreditasi tidak akan diizinkan untuk menyelenggarakan ujian tersebut. Pendekatan ini dimaksudkan untuk menawarkan penilaian keterampilan siswa yang lebih komprehensif, yang mencakup ranah kognitif, emosional, dan psikomotorik.
Prof. Mu'ti menyatakan bahwa kata "ujian" tidak akan lagi digunakan dalam Ujian Nasional. sebagai gantinya, frasa baru akan segera diperkenalkan. Melalui peraturan yang akan segera dirilis, ia meminta masyarakat untuk menunggu kebijakan barunya. Kebijakan ini, beserta kajian terkait Ujian Nasional dan Penilaian Nasional, merupakan satu dari delapan kajian yang akan dilaksanakan tahun depan. Kajian ini telah disusun dan akan dipraktikkan dalam tahun-tahun mendatang. Prof. Mu'ti menunjukkan pendekatan yang metodis dan hati-hati dalam mengembalikan Ujian Nasional dengan strategi ini, mengingat perlunya penilaian yang lebih menyeluruh yang sesuai dengan tuntutan pendidikan kontemporer.
Ada dua aspek yang melatarbelakangi tidak adanya Ujian Nasional.
Di satu sisi, hal itu menciptakan peluang bagi kreativitas dalam penilaian berbasis karakter, keaslian, dan keselarasan antara unsur kognitif, emosional, dan psikomotorik siswa. Namun, ada kekhawatiran bahwa dengan tidak adanya standardisasi nasional yang kuat, tekanan administratif atau keterbatasan anggaran dapat menyebabkan sekolah tertentu mengurangi kualitas penilaian PAI. Oleh karena itu, masih ada kebutuhan untuk menetapkan standar nasional minimal untuk penilaian PAI, tidak hanya dalam bentuk ujian yang seragam tetapi juga dalam bentuk tolok ukur keberhasilan karakter yang fleksibel tetapi terarah, indikator praktik spiritual, dan rubrik kompetensi keagamaan.
Teknik penilaian pendidikan agama islam harus bergeser ke arah pendekatan yang lebih kreatif, kontekstual, dan berfokus pada pembentukan karakter yang komprehensif sebagai respons terhadap dinamika pendidikan nasional yang tidak lagi bertumpu pada Ujian Nasional. Penilaian kini dipandang sebagai sarana aktualisasi keyakinan agama dalam perilaku nyata, bukan sekadar sarana pengujian hafalan teologi. Oleh karena itu, sejumlah taktik kreatif dapat diciptakan dan dipraktikkan secara metodis.
Siswa didorong untuk menerapkan cita-cita Islam pada aktivitas praktis yang berdampak sosial melalui evaluasi berbasis proyek. Siswa dapat diberi tugas untuk mengembangkan kampanye toleransi antar agama, menyusun proyek sosial yang berlandaskan nilai-nilai Islam tentang kasih sayang dan keadilan, atau menciptakan karya seni yang berpusat pada etika Islam, seperti artikel argumentatif, poster informatif, atau film kontemplatif. Karena siswa menemukan cita-cita ini dalam konteks penerapan dan bukan hanya pada tingkat kognitif, paradigma ini mendorong kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan internalisasi nilai yang mendalam.
Dengan menggunakan portofolio spiritual, siswa dapat mendokumentasikan pengalaman beribadah mereka, bagaimana mereka menjalankan cita-cita mereka, dan pemikiran mereka sendiri tentang dilema moral yang mereka hadapi. Misalnya, siswa mencatat doa rutin mereka, contoh-contoh bersikap baik kepada orang lain, sikap terhadap integritas, dan pemikiran tentang apa arti kesabaran dan rasa syukur dalam situasi sehari-hari. Sebagai komponen penting dari profil lulusan yang berkarakter, evaluasi semacam ini tidak hanya mengukur prestasi akademis tetapi juga menumbuhkan komponen emosional dan psikomotorik.
Program Pendidikan Agama Islam harus menggunakan evaluasi berbasis dialog sebagai bagian dari upaya mereka untuk mempromosikan rasa saling menghormati dan toleransi di antara komunitas agama. Siswa dapat diminta untuk memimpin simulasi penyelesaian konflik berdasarkan konsep keadilan dan kemanusiaan, membuat forum mini tentang pentingnya moderasi agama, atau memperdebatkan nilai-nilai universal yang ditemukan dalam agama-agama besar di dunia. Sebagaimana diharuskan oleh kebijakan nasional tentang moderasi agama, kegiatan-kegiatan ini menumbuhkan empati, keterbukaan pikiran, dan pengembangan perspektif agama yang moderat.
Metode penilaian yang sangat berguna untuk mengukur kemampuan penerapan siswa dalam menangani dilema moral dan situasi dunia nyata adalah penggunaan studi kasus. Siswa diharuskan menerapkan konsep-konsep Islam untuk menilai situasi dunia nyata, seperti contoh ketidakadilan sosial, intoleransi, atau konflik nilai di dunia digital. Metode ini mendorong penerapan nilai-nilai dalam situasi dunia nyata, pertumbuhan kemampuan berpikir reflektif, dan pengambilan keputusan yang didasarkan pada etika Islam.
Mengingat kebutuhan akan asesmen yang lebih bermakna, Pendidikan Agama Islam ke depan harus diarahkan pada tiga prinsip fundamental:
1. Pendidikan Berbasis Karakter Aktif.
Pendidikan agama tidak lagi hanya bertujuan mengisi kepala dengan pengetahuan, tetapi menggerakkan hati dan tangan siswa untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai ilahiah. Setiap strategi asesmen harus menilai keterlibatan emosional, tindakan nyata, dan komitmen moral peserta didik.
2. Asesmen Kontekstual.
Ajaran Islam harus dihubungkan dengan realitas hidup siswa masa kini, baik dalam konteks lokal, nasional, maupun global. Asesmen kontekstual memastikan bahwa nilai kejujuran, keadilan, tolong-menolong, dan kesantunan dapat diaplikasikan dalam dunia nyata, bukan berhenti di ruang kelas.
3. Pelibatan Komunitas.
Keberhasilan pendidikan agama tidak bisa hanya dinilai oleh guru di dalam kelas. Pelibatan orang tua, komunitas masjid, organisasi sosial, dan lingkungan sekitar menjadi esensial. Kolaborasi ini memastikan bahwa nilai agama yang diajarkan di sekolah mendapatkan penguatan dalam kehidupan sosial siswa.
Setelah Ujian Nasional dihapuskan, sistem evaluasi pendidikan Indonesia mengalami pergeseran yang membawa peluang dan masalah baru, khususnya untuk pendidikan agama islam. Kurangnya standar nasional berbasis ujian telah memberikan penilaian PAI keleluasaan yang lebih besar untuk membuat model evaluasi yang lebih kontekstual, realistis, dan berfokus pada pengembangan karakter. Namun agar peluang ini relevan, teknik evaluasi inovatif yang menyerukan imajinasi, pemikiran kritis, dan keberanian untuk menyimpang dari pola menghafal konvensional harus diterapkan. Pada periode modern, pendidikan agama Islam harus menjadi lebih dari sekadar sarana untuk menumbuhkan penguasaan intelektual; ia harus menjadi alat untuk perubahan moral yang sejati. Melalui penggunaan studi kasus berbasis nilai, portofolio spiritual, diskusi moderasi keagamaan, dan ujian berbasis proyek sosial-keagamaan, PAI dapat mengembangkan siswa yang mampu mengamalkan ajaran agamanya secara praktis selain memiliki pemahaman teoritis tentang ajaran tersebut.
Partisipasi aktif dari keluarga, masyarakat, dan lingkungan sosial siswa sama pentingnya dengan guru di kelas untuk keberhasilan ujian PAI di masa mendatang. Peradaban yang berkarakter mulia dibangun melalui pendidikan agama, yang sungguh-sungguh menyatukan prinsip-prinsip ketuhanan dengan kesulitan-kesulitan dunia kontemporer. Oleh karena itu, penghapusan Ujian Nasional seharusnya tidak dipandang sebagai kemunduran, melainkan sebagai langkah strategis untuk membangun kembali paradigma penilaian PAI. Saat ini, pendidikan agama sulit untuk benar-benar berfungsi sebagai sarana pembinaan karakter dan penghayatan prinsip-prinsip untuk melahirkan generasi muslim yang mampu berakhlak mulia, berpikir kritis, dan mengamalkan ajaran Islam dalam masyarakat multikultural yang dinamis.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
