Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Mohamad Fadhilah Zein

Cerpen: Ijazah Palsu

Sastra | 2025-04-23 11:20:46
Ilustrasi Ijazah Palsu

“Abang kok goblok banget ya, udah tahu ijazah Adel itu bermasalah. Kenapa abang lampirkan?”

Istriku meradang begitu mengetahui lamaran kerja anakku, Adel, dilengkapi dengan ijazah SMA palsu. Putri semata wayangku tidak lulus SMA karena bermasalah secara akademik. Sejak kecil dia memang kesulitan dengan pelajaran. Baginya, sekolah adalah beban berat. SMA-nya berakhir tanpa ijazah selembarpun. Akhirnya, aku minta kawanku yang mahir desain grafis dan bekerja di warung fotokopi untuk membuatkan “ijazah”. Hasilnya memuaskan.

Siska Adelia Fitriyana, nama putri cantikku yang tertera di lembar ijazah palsu. Ukuran hurufnya lebih besar dibandingkan dengan kalimat lainnya. Ada kop surat dan stempel berwarna biru tua. Tidak lupa, ada foto Adel yang tersenyum dengan hijab berwarna biru. Latar foto berwarna merah, membuat ijazah itu nyaris tidak beda dengan yang asli.

Aku sebagai ayahnya merasa terpanggil untuk mengurusi semua kebutuhannya. Termasuk urusan melamar pekerjaan, aku yang lebih banyak cawe-cawe, mulai dari mengumpulkan berkas sampai fotokopi. Itu aku lakukan karena rasa sayang kepada putriku semata wayang.

“Mau bagaimana lagi. Syarat kerja memang membutuhkan lampiran ijazah,” kataku tidak kalah sengit.

“Ya, itu namanya abang nggak punya otak,” ujar Sumarni, wanita yang sudah 25 tahun menemaniku. Kecantikan wajahnya tidak selaras dengan mulutnya yang tajam. Kalau sudah marah, tidak segan menggoblok-goblokkan suaminya. Tapi, itu tidak lama, sikap aslinya yang manis dan baik akan berubah sesuai dengan suasana hatinya yang lebih sejuk.

“Ini kesempatan buat Adel untuk mendapatkan pekerjaan. Kasihan sudah dua tahun sejak nggak sekolah, dia cuma di rumah saja,” jelasku dengan pelan. Aku berusaha tidak terpancing emosi.

“Pokoknya kalau ada masalah, abang harus tanggung jawab.”

“Iya, nggak usah khawatir.”

Tensi mereda setelah obrolan pagi itu berakhir. Sumarni melengos meninggalkanku yang masih duduk di teras rumah. Baru tiga hari yang lalu lamaran Adel aku kirim via pos ke salah satu pabrik yang jaraknya 10 km dari rumah. Pabrik tekstil yang memproduksi seragam dan pakaian, satu-satunya yang menjadi tumpuan banyak orang untuk mengais rezeki. Banyak pemuda yang tidak bekerja di desaku. Sulitnya lapangan pekerjaan menjadi alasan. Pabrik juga tidak bisa menerima banyak karyawan karena keterbatasan. Solusi lainnya adalah bermigrasi ke kota lain atau luar negeri. Hanya sekedar menjemput rezeki untuk kehidupan yang lebih baik.

Istriku mengetahui semua berkas lamaran setelah ngobrol dengan putriku. Adel menuturkan kepadanya salah satu berkas adalah ijazah palsunya.

“Del, ini lamaran semoga bisa diterima pabrik ya,” kataku kepada Adel.

“Tapi kan ijazahnya palsu. Ayah gimana?”

“Ya, ngga apa-apa. Semoga saja pabrik ngga ngecek detail.”

Obrolan kami itu rupanya sampai ke istriku. Istriku sebenarnya tidak setuju dengan ulahku yang membuat ijazah di tukang fotokopi. Tapi, mau bagaimana lagi? Anakku berhak untuk mendapat pekerjaan seperti anak-anak lainnya.

********

Aku menunggu di parkir motor pabrik tekstil demi Adel yang tengah diwawancara. Dia mendapat panggilan kerja tidak lama setelah lamaran dikirim. Akun pun sumringah dan berdebar-debar semoga putriku diterima kerja. Sejak panggilan kerja, doa selalu aku panjatkan. Aku sholat hajat setiap malam, demi Adel yang kusayang.

Banyak pelamar seusianya yang juga menunggu di halaman depan pabrik. Ini menjadi potret di desaku, bekerja di pabrik menjadi impian banyak orang. Persaingan begitu ketat, antrean pelamar mengular sementara yang diterima hanya segelintir.

Sudah tiga jam aku menunggu dan tidak sendiri. Orangtua lainnya mengantar anak-anak mereka dengan harapan yang sama. Beberapa di antara mereka duduk di bawah pohon rindang sambil membuka bekal makanan yang dibawa dari rumah. Selembar alas koran di bawah mereka untuk sekedar melindungi dari rumput yang kusam atau serangga yang ada di dalamnya.

Aku sendiri belum makan. Makan berat, tepatnya. Aku sengaja karena ingin makan bersama Adel. Tadi pagi sudah seruput kopi hitam dengan sepotong singkong goreng yang mampir ke dalam perut. Itu sudah cukup.

Adel berlari kecil dari bangunan pabrik. Dari kejauhan aku bisa melihatnya tersenyum bahagia. Aku pun ikut tersenyum karena itu pasti pertanda baik. Semilir angin menerbangkan sebagian pakaian dan jilbabnya. Ah, Adel, ayah mana yang tidak bahagia jika putri kesayangannya juga bahagia.

“Ayah, aku diterima kerja,” teriak Adel begitu dia menghampiriku.

“Alhamdulillah. Ya, Allah. Alhamdulillah,” pekikku sambil memeluk Adel.

Kami pun berpelukan cukup lama. Berkali-kali aku mencium pipinya. Aku merasakan kehangatan, persis sewaktu aku mencium Adel ketika dia masih bayi. Aku bahagia sekali dan merasakan ini sebuah mukjizat sekaligus anugerah. Anakku yang memiliki keterbatasan, ternyata mendapat kemudahan dalam bekerja.

Kami pun berboncengan menuju rumah. Motor yang kami tumpangi berjalan pelan. Aku sengaja tidak kencang, karena ingin bersama Adel lebih lama di perjalanan.

“Wah, ternyata ijazah buatan ayah manjur ya,” kata Adel sambil tertawa.

“Hush, jangan kencang-kencang ngomongnya,” kataku.

“Ijazah itu bukan pertanda orang pintar, Del. Ijazah itu hanya lembaran yang membuktikan seseorang pernah sekolah. Adel kan sekolah di SMA tiga tahun. Jadi, ngga ada yang salah. Palsu atau asli bukan masalah,” kataku lagi.

“Iya, yah.”

“Ini rezeki buat Adel. Semoga betah ya bekerja di pabrik.”

“Iya, yah.”

Motor yang kami tumpangi semakin jauh meninggalkan pabrik. Hari baik masih berpihak kepada keluargaku. Istriku juga masih senang sekali ketika mengetahui putrinya diterima bekerja dan akan melanjutkan fase hidupnya ke yang lebih tinggi. Adel bisa bersaing untuk mendapatkan pekerjaan. (*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image