
Dimanakah Ekonomi Islam Saat Dunia Sedang Menjerit?
Ekonomi Syariah | 2025-04-15 16:38:14
Oleh: Dana
Ketika dunia terjebak dalam pusaran perang dagang global, yang terlihat bukan hanya ketegangan antara negara-negara besar, tetapi juga efek domino yang menghantam negara berkembang seperti Indonesia. Lonjakan harga barang, ketidakpastian pasokan, tekanan terhadap sektor UMKM, dan lemahnya nilai tukar adalah sebagian kecil dari dampak perang dagang tersebut. Semua itu menjadi bukti bahwa sistem perdagangan dunia yang selama ini dianggap mapan ternyata rapuh dan menyimpan berbagai kelemahan. Di tengah gejolak ini, muncul satu pertanyaan reflektif, di manakah posisi ekonomi Islam dalam percaturan global saat ini?
Sebagai seorang Muslim yang meyakini bahwa ekonomi Islam adalah sistem terbaik, pertanyaan itu menyentuh titik paling dalam. Mengapa ekonomi Islam seolah diam ketika dunia sedang menjerit? Mengapa sistem yang digadang-gadang sebagai solusi peradaban ini belum menunjukkan pengaruh nyata dalam mengatasi krisis global? Apakah benar ekonomi Islam hanyalah teori ideal yang hanya dibicarakan dalam ruang kuliah dan tidak relevan dengan praktik global masa kini?
Jawabannya tentu ekonomi Islam bukanlah sistem yang lemah atau tidak relevan. Ekonomi Islam hanyalah belum diberi kesempatan untuk benar-benar hadir sebagai alternatif. Dunia masih dikendalikan oleh logika kapitalistik yang menekankan pada akumulasi, kompetisi, dan dominasi pasar. Sistem ini menempatkan negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Tiongkok menjadi poros utama dalam menentukan arah ekonomi dunia, sementara negara-negara kecil dan berkembang hanya menjadi pelengkap rantai pasok perekonomian. Ketika dua kekuatan besar saling berkonflik dalam bentuk perang dagang, pihak yang paling menderita adalah negara-negara yang tidak punya kekuatan tawar-menawar yang kuat termasuk Indonesia.
Dalam situasi seperti inilah nilai-nilai ekonomi Islam menemukan momentumnya. Islam tidak memandang perdagangan sebagai ajang saling menaklukkan, tetapi sebagai sarana kerja sama untuk menciptakan manfaat bersama. Prinsip keadilan, tolong-menolong, dan larangan eksploitasi adalah fondasi yang menuntun arah perdagangan yang sehat. Seandainya prinsip-prinsip ini diterapkan secara konsisten, perang dagang seperti yang kita saksikan hari ini barangkali tidak akan pernah terjadi.
Namun nilai saja tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk menerjemahkannya ke dalam sistem nyata yang bisa menjawab problem zaman. Maka langkah pertama adalah mengedukasi umat, bukan sekadar mengenalkan istilah-istilah ekonomi Islam, tapi menanamkan kesadaran bahwa sistem ribawi, manipulasi harga, dan monopoli adalah bentuk kezaliman ekonomi. Ironisnya, masih banyak umat Islam sendiri yang mencibir ketika ekonomi Islam dibahas. Sebagian malah tanpa sadar masih menjadi pelaku dan pendukung sistem ribawi dalam aktivitas ekonomi sehari-hari, menganggapnya wajar, karena telah menjadi kebiasaan global. Ketidaksadaran ini membuat sebagian umat Islam ikut serta melanggengkan sistem yang menindas dan jauh dari keberkahan.
Dalam konteks global, ekonomi Islam bisa menjadi suara moral yang menantang hegemoni. Negara-negara Muslim yang tergabung dalam OKI, misalnya, memiliki potensi membangun poros perdagangan sendiri yang berbasis nilai syariah. Blok ini bukan dimaksudkan untuk menutup diri, tetapi justru menawarkan alternatif sistem perdagangan yang adil dan manusiawi, yang tidak semata ditentukan oleh kekuatan militer atau kekuasaan politik. Untuk mewujudkannya, dibutuhkan integrasi strategi, dari harmonisasi regulasi halal lintas negara, peningkatan perdagangan intra-OKI, hingga pendirian institusi keuangan Islam lintas batas yang bebas dari bunga dan spekulasi.
Sementara itu, di tingkat domestik, Indonesia bisa mengambil peran penting sebagai pelopor. Indonesia punya modal, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, sistem hukum yang membuka ruang bagi ekonomi syariah, dan geliat UMKM yang luar biasa. Tetapi semuanya akan sia-sia jika ekonomi Islam terus diletakkan hanya dalam ranah simbolik dan ritualistik. Ekonomi Islam harus menjadi gerakan sosial. Pemerintah bisa memperluas insentif bagi koperasi syariah, mengintegrasikan kurikulum ekonomi Islam sejak pendidikan menengah, dan menciptakan ekosistem digital halal yang menghubungkan petani, produsen, dan konsumen secara langsung tanpa perantara yang menindas.
Masyarakat Muslim perlu membangun kesadaran baru bahwa riba bukan sekadar masalah individu, tetapi akar dari ketimpangan ekonomi yang lebih luas. Menganggapnya sebagai sesuatu yang “tidak bisa dihindari” justru memperpanjang ketergantungan pada sistem yang tidak adil. Sudah saatnya umat Islam menumbuhkan budaya ekonomi yang sehat, mulai dari pembiayaan tanpa bunga, koperasi berbasis syariah, hingga semangat saling membantu di lingkungan sekitar. Umat Islam harus tampil sebagai teladan bahwa kejujuran, keadilan, bukan hanya nilai moral, tetapi fondasi ekonomi yang lebih memberdayakan.
Kebangkitan ekonomi Islam tidak memerlukan revolusi besar-besaran. Ia tumbuh dari kesadaran individu, dari pelaku pasar yang memilih kejujuran, dari konsumen yang mendukung produk halal dan beretika, dari generasi muda yang berani membangun usaha tanpa bergantung pada utang berbunga. Ketika nilai-nilai ini diterapkan secara konsisten dan kolektif, kita tidak hanya mengkritisi sistem lama, tetapi sedang membangun tatanan ekonomi baru yang lebih beradab.
Maka, bukan saatnya kita bertanya mengapa ekonomi Islam belum berdampak. Tetapi saatnya kita bertanya pada diri sendiri, sudah sejauh manakah kita memperjuangkannya? Ekonomi Islam bukan hanya milik sarjana ekonomi Islam, ulama, pakar, atau lembaga keuangan. Ia adalah sistem yang hidup ketika pedagang kecil menolak menipu, ketika produsen tidak mengambil keuntungan berlebihan, ketika pemerintah melindungi yang lemah, dan ketika para pebisnis Muslim menjadikan keberkahan lebih penting dari sekedar mencari keuntungan dan ketika masyarakat menjadikan riba sebagai musuh bersama.
Perang dagang mungkin tidak bisa kita hentikan sekarang. Tapi kita bisa memilih untuk tidak terjebak dalam logika yang sama. Kita bisa membangun sistem yang lebih manusiawi, lebih adil, dan lebih bermartabat jika kita memberi ruang bagi ekonomi Islam untuk hadir, bukan hanya sebagai wacana, tapi sebagai tindakan nyata. Sebab peradaban baru tidak dibangun dari retorika, tapi dari keberanian untuk hidup dengan nilai-nilai yang diyakini benar.
Wallahu a’lam bish-shawab
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.