Misi Kemanusiaan atau Tekanan Politik? Evakuasi Gaza dan Agenda Terselubung
Agama | 2025-04-15 04:41:53
Diberitakan, menjelang kunjungannya ke Timur Tengah pada 9 April 2024, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan inisiatif untuk mengevakuasi warga Palestina yang menjadi korban perang. Agar rencana tersebut dapat direalisasikan, terdapat dua syarat utama: pertama, harus ada dukungan penuh dari negara-negara tetangga di kawasan Timur Tengah. Kedua, para pengungsi yang dievakuasi wajib dipulangkan setelah situasi di Gaza dinyatakan aman dan mereka telah menjalani perawatan medis yang memadai.( analisis.republika.co.id 12/4/25). Apakah 2 syarat terebut dapat dipenuhi dan realistis untuk dilakukan?
Diketahui sebelumnya, Raja Yordania Abdullah II dan Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi telah mendorong Liga Arab untuk mengambil sikap tegas. Merespons hal itu, pada 1 Februari 2025, Liga Arab menyatakan penolakannya terhadap segala bentuk kompromi atas hak-hak mendasar rakyat Palestina—hak yang tidak dapat dicabut dalam bentuk apa pun, termasuk melalui pembangunan permukiman, penggusuran, maupun pengosongan wilayah, terlepas dari alasan keadaan atau justifikasi lain yang diberikan (The Begin-Sadat Center for Strategic Studies, 13 Februari 2025). Maka sesungguhnya rencana Prabowo mengevakuasi warga Palestina, justru ditentang Liga Arab sendiri.
Sementara itu, syarat kedua juga tidak mudah direalisasikan. Negara-negara seperti Mesir dan Yordania sejatinya telah lebih dulu melakukan evakuasi medis dalam kapasitas mereka sebagai negara tetangga. Bahkan, menurut laporan Kementerian Kesehatan Gaza pada awal 2025, puluhan korban luka telah dibawa ke Mesir untuk dirawat setelah Jalur Rafah dibuka (Aljazeera, 1 Februari 2025). Kalaupun tujuan relokasi rakyat Gaza untuk misi kemanusiaan berupa pengobatan, maka pengiriman dan pendirian faskes kesehatan di lokasi perang justru lebih memungkinkan dan sangat dibutuhkan, dibanding membawa korban perang ke Indonesia dalam kondisi terluka.
Pernyataan Prabowo bahwa Indonesia siap menerima 1000 warga Gaza, sesungguhnya justru akan memuluskan agenda pengusiran warga Gaza seperti yang diinginkan oleh penjajah dan kontra produktif dengan seruan jihad yang disuarakan oleh banyak pihak hari ini. Telah banyak yang menyadari bahwa tidak ada solusi hakiki selain jihad melihat berbagai upaya yang dilakukan nyatanya tidak menghentikan penjajahan dan genosida. Evakuasi rakyat Gaza jelas makin menjauhkan dari solusi hakiki, karena sejatinya Zionis lah yang melakukan pendudukan bahkan perampasan wilayah. Sudah seharusnya Zionis yang diusir dari tanah Plaestina dan bukannya warga Gaza yang dievakuasi.
Misi Kemanusiaan atau Tekanan Politik?
Langkah evakuasi yang dirancang oleh Presiden Prabowo sangat mungkin zebagai respons terhadap tekanan politik dari Donald Trump dan Amerika Serikat, yang mengatasnamakan krisis kemanusiaan sekaligus menjalankan amanat konstitusi UUD 1945 dalam menghapus penjajahan di muka bumi.
Mengingat tekanan yang datang dari Donald Trump sangat mungkin berkaitan dengan posisi strategis Indonesia di wilayah selatan, yang kini dikepung oleh kekuatan aliansi AUKUS (Australia, Inggris, dan Amerika Serikat). Apabila Indonesia tidak merespons keinginan Trump terkait pengosongan wilayah Palestina, bukan tidak mungkin kedaulatan nasional—terutama di sektor ekonomi—akan menjadi taruhannya.
Jika rencana relokasi benar=benar dilakukan oleh Prabowo, maka Indonesia sebagai negara dengan jumlah muslim terbesar telah kalah 2 kali pada tekanan politik AS. Dimana sebelumnya kebijakan baru AS menaikkan tarif impor (Tarif Trump) merupakan tekanan poltik AS di bidang ekonomi terhadap Indonesia.
Evakuasi Gaza dan Agenda Terselubung
Upaya evakuasi rakyat Gaza ke beebrapa negara musim sejatinya adalah upaya jahat AS untuk menguasai tanah kaum musimin. Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, berulangkali menegaskan niatnya untuk membeli dan menguasai Jalur Gaza—wilayah padat penduduk yang dihuni lebih dari 2 juta warga Palestina. Berbekal latar belakangnya sebagai pengusaha properti, Trump berencana membuka peluang bagi negara-negara Timur Tengah untuk membangun ulang sebagian wilayah tersebut setelah berada di bawah kendali Amerika.
Hal tersebut Nampak nyata pada pernyataan Trump dalam perjalanannya menuju New Orleans untuk menghadiri pertandingan Super Bowl pada Minggu, 9 Februari 2025. Trump bertekad untuk membeli dan menguasai Gaza. Dia juga bersedia menyerahkan sebagian proses pembangunannya kepada negara-negara Timur Tengah tetapi tetap di bawah kendali AS. Memastikan bahwa Gaza berada dalam kepemilikan AS, serta bahwa Hamas tidak akan pernah bisa menguasainya lagi.
Trump dengan arogan juga mengklaim bahwa kekuatan militer Israel telah cukup untuk memaksa warga Palestina keluar dari Gaza, sehingga menurutnya, Amerika Serikat tidak perlu mengerahkan pasukan tambahan guna mengosongkan wilayah tersebut. Setelah proses evakuasi rampung, rencananya Israel akan menyerahkan pengelolaan wilayah itu kepada pemerintah AS. (kompas.id 10/2/25)
Sungguh terpampang dengan sangat jelas dan nyata, apa motif dibalik relokasi dan evakuasi rakyat Gaza ke beberapa negeri muslim. Bahwa rencana evakuasi rakyat Gaza bukanlah berdasar misi kemanusiaan tetapi motif jahat penajajahan, perampokan dan perampasan tanah kaum musimin.
Solusi Tuntas Gaza
Jika Indonesia benar-benar menginginkan untuk meneolong rakyat Gaza dan menyelesaikan genosida Zionis Israel terhadap Muslim Palestina, seharusnya menyambut dukungan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap fatwa jihad melawan Israel yang dikeluarkan oleh International Union of Muslim Scholars (IUMS) pada Selasa, 8 April 2025.
Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional, Sudarnoto Abdul Hakim, telah menegaskan bahwa fatwa tersebut selaras dengan hasil Ijtima' Ulama dan Fatwa MUI, yang menegaskan bahwa membela Palestina adalah kewajiban bagi umat Islam. Yaitu dengan mengirim pasukan untuk melindungi rakyat Gaza dan seluruh warga Palestina dari tindakan genosida dan penghancuran yang dilakukan oleh Israel. (tempo.co 9/4/25)
Pemimpin negeri muslim seharusnya menyambut seruan jihad ini. Miirisnya hari ini, nasionalisme dan prinsip tak boleh ikut campur urusan negara menjadi penghalang menyambut seruan jihad. Sikap ini menunjukkan pengkhianatan pemimpin negeri muslim. Nasionalisme sebagai sekat bangsa telah mengalahkan dan menghilangkan keberadaan ukhuwah Islamiyah. Dimana sejatinya umat Islam adalah satu tubuh. Musim tidak boleh membiarkan musim yang lain dalam kondisi terdzalimi, tersakiti, dalam bahaya bahkan dalam ancaman genosida.
Butuh Kekuatan Negara Adidaya Islam
Negara-negara Muslim semestinya bangkit menjadi kekuatan global yang memimpin peradaban dunia. Khilafah sebagai kekuatan adidaya akan menegakkan syariat Islam secara menyeluruh, membawa rahmat bagi seluruh alam dan membela kehormatan serta keselamatan umat Islam di seluruh penjuru dunia. Namun, kenyataannya hari ini Khilafah belum terwujud, dan umat Islam justru semakin terpuruk.
Umat perlu terus didorong untuk menolak rencana evakuasi rakyat Palestina yang berpotensi memperlemah perjuangan mereka. Selain itu, penguasa negeri-negeri Muslim harus diseru agar mengerahkan kekuatan militer untuk melindungi saudara-saudara mereka di Palestina. Di sisi lain, semangat perjuangan umat dalam menegakkan Khilafah harus semakin diperkuat, karena hanya dengan jihad dan tegaknya Khilafah, pembebasan Palestina secara menyeluruh dari penjajahan bisa diwujudkan.
Arah gerakan umat ini memerlukan kepemimpinan dari partai politik Islam ideologis yang konsisten dan visioner, agar perjuangan tetap berada pada jalur yang lurus dan mampu memberikan tekanan nyata kepada para penguasa untuk mengambil langkah konkret dalam membela Palstina dengan jihad dan menegakkan Khilafah.
Wallahu’alam bishowwab
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
