Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Stefanie Mears

Digitalisasi dan Kesenjangan di Asia Tenggara: Siapa yang Tertinggal?

Politik | 2025-04-13 23:27:01

Kita sering dengar bahwa dunia sedang bergerak cepat menuju era digital. Di Asia Tenggara, digitalisasi sudah terasa di mana-mana—dari belanja online, ojek daring, sampai transaksi keuangan lewat ponsel. Pemerintah, perusahaan, dan media sama-sama menyebut ini sebagai era “transformasi digital” yang membawa banyak peluang, terutama buat pertumbuhan ekonomi. Tapi di balik semangat itu, muncul pertanyaan penting: siapa sebenarnya yang ikut maju, dan siapa yang tertinggal?

Faktanya, tidak semua orang di Asia Tenggara punya akses yang sama terhadap teknologi. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bangkok, atau Kuala Lumpur, internet cepat dan layanan digital bisa diakses dengan mudah. Tapi bagaimana dengan masyarakat di pedesaan atau wilayah terpencil? Di Indonesia saja, data Kementerian Kominfo menunjukkan bahwa sekitar 12.500 desa belum punya akses internet stabil hingga akhir 2023. Di Filipina dan Myanmar, tantangan yang sama juga muncul—akses internet masih jadi barang mewah, bukan kebutuhan dasar.

source: kompas.com

Masalah ini makin terasa saat pandemi COVID-19 melanda. Sekolah-sekolah terpaksa pindah ke sistem daring, tapi banyak siswa di desa atau keluarga berpenghasilan rendah kesulitan mengikuti. Mereka tidak punya gawai yang memadai, kuota internet terbatas, atau bahkan tidak punya sinyal sama sekali. Ini bukan cuma masalah teknologi—ini soal kesenjangan sosial yang makin lebar. Anak-anak yang tidak bisa ikut belajar daring bisa tertinggal dalam pendidikan, dan dalam jangka panjang, tertinggal juga dalam kesempatan kerja.

Digitalisasi juga membawa tantangan baru di dunia kerja. Banyak pekerjaan yang dulunya bisa dilakukan secara manual, sekarang tergantikan oleh mesin atau sistem otomatis. Di satu sisi, ini efisien. Tapi di sisi lain, pekerja dengan keterampilan rendah—seperti buruh pabrik atau staf administrasi—berisiko kehilangan pekerjaan. Sementara itu, lapangan kerja digital yang baru muncul justru banyak membutuhkan skill khusus, seperti coding, data analis, atau desain digital. Lagi-lagi, mereka yang punya akses pendidikan dan pelatihan yang baik akan lebih diuntungkan.

Masalah lain yang sering luput dibahas adalah soal keamanan data dan literasi digital. Banyak pengguna internet di Asia Tenggara belum benar-benar paham soal perlindungan data pribadi, hoaks, atau penipuan online. Kasus pencurian data dan penipuan lewat aplikasi marak terjadi, terutama karena kurangnya edukasi digital di lapisan masyarakat bawah.

Jadi, kalau kita bicara tentang transformasi digital, kita nggak bisa hanya melihat siapa yang paling maju. Kita juga harus peduli pada mereka yang tertinggal. Pemerintah dan perusahaan teknologi punya tanggung jawab besar untuk memastikan digitalisasi ini inklusif—tidak hanya untuk yang tinggal di kota besar atau punya koneksi kuat, tapi juga untuk masyarakat desa, buruh, dan pelajar dari keluarga sederhana.

Solusinya bisa dimulai dari hal-hal konkret: memperluas infrastruktur internet ke daerah tertinggal, memberi subsidi perangkat dan kuota untuk pelajar dan UMKM, sampai menyediakan pelatihan digital gratis yang bisa diakses siapa saja. Karena kalau tidak, era digital ini justru bisa melahirkan “kelas baru” yang makin jauh jaraknya—antara mereka yang terkoneksi dan mereka yang terputus.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Komentar

Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image