Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Natasya Pattisellano

Penurunan Daya Beli Masyarakat: Kisah Lama yang Terulang

Sejarah | 2025-04-13 13:57:26

Oleh: Natasya Pattisellano, Mahasiswa Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga

Tidak dapat dipungkiri di era ekonomi yang terbilang agak menurun, masyarakat cenderung menahan konsumsi, baik untuk kebutuhan primer maupun kebutuhan tersier. Akibatnya, permintaan terhadap berbagai barang dan jasa pun menjadi lemah. Beberapa faktor turut mempengaruhi daya beli masyarakat menurun, seperti yang terjadi pada awal tahun ini banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) seperti raksasa tekstil PT Sritex. Laporan data dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) pada Januari 2025 terdapat 3.325 orang tenaga kerja ter-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) yang dilaporkan.

Kemudian data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2025 menyebutkan bahwa Indeks Harga Konsumen (IHK) turun 0,48% secara bulanan dan 0,09% secara tahunan. Terakhir kali Indonesia mengalami deflasi tahunan adalah pada Maret 2000, sebesar 1,10%. Sejak krisis ekonomi tahun 1997-1998, fenomena ini hanya terjadi dua kali, yakni Maret 2000 dan Februari 2025. Deflasi pada tahun 2000 terjadi akibat inflasi yang sangat tinggi pada periode sebelumnya, yang mencapai 45% pada Maret 1999.

Lalu anjloknya IHSG juga turut diperkirakan menjadi penyebab daya beli masyarakat menjadi turun. Akibat dari adanya PHK massal dan ketidakpastian ekonomi membuat masyarakat lebih memilih untuk mengerem kebutuhan pada Ramadhan kali ini. Kebijakan yang diambil pemerintah pada awal tahun 2025 dimulai dengan memberikan diskon tarif listrik sebesar 50% selama dua bulan memang meringankan beban rumah tangga. Ekonom dari CORE Indonesia, Mohammad Faisal berpendapat mengenai kebijakan yang diberikan pemerintah, bahwasannya deflasi yang terjadi saat ini lebih mencerminkan pada lemahnya daya beli, ketimbang kelebihan pasokan.

Kilas Balik Pada Masa Krisis Moneter 1998

Sebenarnya, penurunan daya beli masyarakat bukan merupakan suatu fenomena yang baru, melainkan telah terjadi beberapa kali. Melihat kebelakang pada masa krisis moneter, Bermula ketika terjadinya krisis keuangan di Asia, yang juga melanda Indonesia. Krisis ini dipicu oleh lemahnya regulasi sektor keuangan domestik dan ketergantungan pada modal asing jangka pendek. Tepatnya pada Juli 1997, krisis ini mulai dirasakan di Indonesia. nilai rupiah mulai melemah dan menjadi tidak stabil hingga mencapai titik terendah ketika itu. panjangan.

Akibat yang ditimbulkan nilai tukar rupiah menjadi anjlok tajam, diikuti inflasi dan kontraksi ekonomi yang dalam, Sejarah mencatat, Inflasi yang terjadi pada tahun 1998 mengalami lonjakan yang drastis dari 11,10% menjadi 77,60% atau sekitar tujuh kali lipat. Tingginya harga barang dan inflasi pun tak terelakan. Masyarakat pada waktu itu menjadi cukup sulit memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Bahkan, harus mengantri untuk mendapatkan sembako dengan harga murah, karena harga standar yang dijual di pasar sudah tidak bisa dijangkau lagi oleh daya beli masyarakat. Apalagi PHK pun juga terjadi dimana-mana sebab bangkrutnya sejumlah perusahaan baik yang berskala kecil maupun besar, terutama yang berada di sektor konstruksi, properti, dan perbankan.

Data dari Departemen Tenaga Kerja pada 1997 menunjukkan satu juta orang mengalami PHK akibat krisis moneter, dengan pengangguran terselubung diperkirakan mencapai 30-40 juta orang. Sebagai dampak dari PHK, Pengangguran tentunya menjadi meningkat, para pekerja kehilangan penghasilan yang berdampak pada daya beli masyarakat menurun. Krisis keuangan ini berubah menjadi krisis ekonomi dan politik yang memicu kerusuhan massal dan lengsernya Soeharto dari kekuasaan pada tahun 1998.

Bulan Ramadhan tahun 1997, yang jatuh pada 31 Desember, terjadi lima bulan sejak krisis ekonomi melanda. Secara logika, momen ini seharusnya menjadi periode lonjakan arus mudik karena Ramadhan jatuh hanya beberapa hari setelah Natal. Namun kenyataannya berbeda, seperti yang diberitakan Kompas pada 21 Januari 1998, Kereta Api Indonesia pada saat itu memberikan diskon tiket hingga 70% untuk mendukung kelancaran arus mudik, kebijakan ini ternyata tidak disambut antusias. Jumlah penumpang tetap sepi, hal tersebut menunjukkan kondisi ekonomi yang sulit membuat banyak orang tidak mampu melakukan perjalanan mudik.

Kilas Balik Pada Masa Resesi 2020

Pada 11 Maret 2020, saat World Health Organization (WHO) menetapkan Covid-19 ini sebagai pandemi, banyak negara mulai membuat kebijakan guna mengendalikan penyebaran Covid-19, seperti melakukan social distancing, physical distancing, dan lockdown. Indonesia pada saat itu juga menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Pembatasan yang diberlakukan selama masa pandemi Covid-19 telah berdampak signifikan terhadap perekonomian, sama halnya juga terjadi PHK dimana-mana, Sehingga berdampak pada meningkatnya jumlah pengangguran, pertumbuhan ekonomi yang menurun terutama di sektor pariwisata, jasa transportasi dan turunannya, kinerja ekspor dan impor menurun seiring terhambatnya aktivitas perdagangan antar negara yang terkena dampak paling parah.

Daya beli masyarakat juga mengalami penurunan yang signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya sebelum masa pandemi Covid-19. Hal ini disebabkan karena terbatasnya aktivitas masyarakat seperti bekerja dan melakukan usahanya sehingga menyebabkan menurunnya pendapatan individu. Dengan menurunnya pendapatan yang diterima, dan di tengah ketidakpastian ekonomi ini pola pengeluaran untuk kehidupan sehari-hari yang perlu diatur dan lapangan pekerjaan yang semakin menurun membuat masyarakat untuk lebih memilih berhemat.

Ketika masa awal pandemi 2020, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, Kementerian Perhubungan mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri 1441 Hijriah Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Permenhub tersebut mengatur mengenai larangan sementara penggunaan sarana transportasi untuk kegiatan mudik.

Jika ditelusuri, krisis moneter tahun 1998 dipicu oleh gejolak keuangan di kawasan Asia. Sementara itu, pandemi COVID-19 disebabkan oleh penyebaran virus corona yang mengganggu aktivitas ekonomi global. Meskipun ketiga peristiwa krisis moneter 1998, pandemi COVID-19, dan situasi ekonomi awal tahun 2025 memiliki latar belakang yang berbeda, namun memiliki dampak yang cenderung mirip. Pola ini mengindikasikan kerentanan struktural yang belum sepenuhnya tertangani. akibat dari terjadinya PHK membuat meningkatnya pengangguran, turunnya daya beli, dan pola konsumsi masyarakat yang cenderung menahan diri di tengah ketidakpastian.

Pada tahun 2025, pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di sektor tekstil dan manufaktur serta pelemahan nilai tukar rupiah memperburuk kondisi, terutama di momen Ramadhan yang identik dengan lonjakan konsumsi. Pemerintah memang telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi hal tersebut, seperti pemberian subsidi dan perlindungan terhadap sektor perdagangan. Pemerintah mungkin dapat memikirkan lebih matang mengenai strategi jangka panjang lapangan kerja baru yang memadai.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Komentar

Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image