
Dari Nilam ke Chanel: Di Mana Parfum Indonesia?
Eduaksi | 2025-04-11 16:03:52Indonesia adalah penghasil nilam (patchouli) dan sirih wangi terbesar di dunia—dua komoditas minyak atsiri yang menjadi bahan dasar dalam industri parfum global. Ironisnya, meskipun harum nilam nusantara tersebar hingga ke Paris dan dipakai dalam parfum ikonik seperti Chanel, Dior, dan Gucci, Indonesia sendiri belum memiliki merek parfum nasional yang mendunia.

Yang lebih mengejutkan lagi, dunia mencium aroma harum dari bahan mentah yang kita kirim, tetapi nilai tambah terbesar justru dinikmati di luar negeri. Kita menjual kilogram demi kilogram minyak nilam dengan harga murah, lalu membeli kembali parfum berkemasan elegan dengan harga ratusan kali lipat. Ini bukan sekadar masalah ekonomi, tetapi soal keadilan dalam rantai pasok global.
Pada masa Presiden Soekarno, pernah ada rencana ambisius untuk mengubah kondisi ini. Beliau bahkan sempat menggagas pembangunan pabrik parfum terbesar se-Asia Tenggara yang konon akan bekerja sama dengan Bulgaria, salah satu pusat riset parfum dunia saat itu. Sayangnya, gagasan brilian itu kandas karena pergolakan politik yang menyebabkan beliau turun dari tampuk kekuasaan.
Kini, di tengah maraknya wacana hilirisasi dan kemandirian industri, muncul kembali harapan dari bawah: tumbuhnya pelaku UMKM parfum lokal yang mulai mencoba meracik aroma nusantara menjadi identitas bangsa. Mereka adalah pionir, pemimpi, dan pejuang yang mencoba menciptakan dari apa yang kita punya. Namun, jalan yang mereka tempuh tidak mudah.
Hilirisasi Lemah, Peluang Terbuka
Kenapa hilirisasi kita lemah? Pertama, karena ketergantungan pada ekspor bahan mentah masih menjadi pola dominan. Tanpa fasilitas penyulingan modern, tanpa laboratorium pengembangan aroma, dan tanpa jaringan distribusi yang kuat, kita hanya menjual "bahan dasar", bukan "cerita" atau "pengalaman" dalam sebotol parfum.
Kedua, lemahnya dukungan dari sisi edukasi, pelatihan, dan pengembangan branding membuat produk UMKM sulit menembus pasar kelas menengah ke atas, apalagi ekspor. Ketiga, sistem regulasi masih belum cukup mendorong tumbuhnya ekosistem parfum lokal yang kuat dan kompetitif.
Namun, potensi besar justru tersembunyi dalam penguatan UMKM berbasis komoditas lokal. Inilah momen emas untuk menyusun ulang strategi industri parfum nasional dengan mengandalkan tiga pilar utama: pelaku UMKM, konsumen lokal yang bangga memakai produk dalam negeri, dan negara sebagai fasilitator regulasi dan insentif.
Hilirisasi yang Berkeadilan dan Inklusif: Aroma untuk Semua
Hilirisasi bukan hanya soal industrialisasi dan ekspor. Ini juga menyangkut keadilan ekonomi dan inklusivitas sosial. Petani nilam di pedalaman Aceh, Sulawesi, atau Kalimantan selama ini hanya menjadi penyedia bahan mentah, sementara nilai tambah terbesar dinikmati oleh industri luar negeri. Ini adalah pola yang harus diputus.
Hilirisasi yang berkeadilan berarti memastikan bahwa petani, perempuan pengusaha kecil, dan komunitas lokal mendapatkan akses terhadap pelatihan, pembiayaan, teknologi, dan pasar. Mereka harus dilibatkan dalam rantai nilai dari hulu ke hilir, bukan sekadar pemasok bahan baku.
Inklusivitas juga berarti membuka ruang bagi pengetahuan lokal dan tradisional dalam proses penyulingan dan pencampuran aroma. Banyak masyarakat adat yang memiliki pengetahuan turun-temurun tentang minyak atsiri. Ini aset budaya yang harus dirangkul, bukan ditinggalkan.
Pemerintah harus memastikan bahwa program hilirisasi bukan hanya dinikmati oleh segelintir perusahaan besar. Yang kita butuhkan adalah ekosistem industri parfum yang memberdayakan, berkelanjutan, dan mencerminkan karakter lokal.
Parfum Lokal dan Ekonomi Hijau
Industri parfum lokal juga bisa menjadi motor penggerak ekonomi hijau. Kenapa? Karena nilam dan sirih wangi adalah tanaman yang dapat ditanam kembali, tidak menimbulkan limbah berbahaya, dan punya nilai ekonomi tinggi. Jika dikelola dengan baik, ini bisa menjadi contoh industri berbasis sumber daya alam yang berkelanjutan.
Lebih dari itu, industri parfum lokal yang berbasis tanaman aromatik bisa mendorong konservasi hutan, pertanian organik, dan penyerapan tenaga kerja desa, sekaligus membuka peluang ekspor non-migas. Sebuah langkah kecil dengan dampak yang besar, bila dirancang secara strategis.
Harapan dan Seruan Aksi
Sudah saatnya pemerintah tidak hanya bicara hilirisasi tambang dan logam, tapi juga hilirisasi tanaman aromatik seperti nilam dan sirih wangi yang selama ini terabaikan. Nilai tambah bukan sekadar dari volume produksi, tapi dari keberanian membangun merek, mengangkat identitas budaya, dan membentuk ekosistem yang adil.
Kami menyerukan agar:
● Pertama, negara perlu mempercepat hilirisasi komoditas nilam dan sirih wangi melalui kebijakan afirmatif yang mendukung pendirian pabrik penyulingan modern, inkubator bisnis parfum, dan pelatihan aroma-formulasi berbasis riset lokal.
● Kedua, riset dan pengembangan (R&D) harus menjadi tulang punggung inovasi aroma Indonesia. Perguruan tinggi, lembaga riset, dan pelaku usaha kecil perlu disinergikan melalui pendanaan, kolaborasi terbuka, dan dukungan teknologi tepat guna untuk menciptakan formulasi parfum yang bercita rasa global dan memenuhi unsur kearifan lokal.
● Keempat, keterlibatan masyarakat sebagai konsumen. Kampanye untuk mencintai produk lokal, menggunakan parfum buatan Indonesia, dan mengapresiasi jejak budaya dalam aroma, akan menjadi modal sosial dalam membangun kebanggaan nasional.
Harapan kami sederhana: agar kelak dunia tidak hanya mengenal aroma Indonesia dari balik kemasan mewah di butik Paris, tetapi menyaksikan sendiri bagaimana bangsa ini meracik, mengemas, dan membanggakan aroma tanahnya sendiri.
Jika hari ini Prancis terkenal dengan Grasse sebagai pusat parfum dunia, kenapa Indonesia tidak bisa menciptakan hal serupa? Kita punya bahan, kita punya cerita, dan kita punya semangat. Yang kita butuhkan sekarang hanyalah keberpihakan dan keberanian.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook