
Pendidikan Karakter di Tengah Arus Viralitas Konten
Gaya Hidup | 2025-04-10 23:14:33Cindy Junita Putri

Di era digital yang berkembang begitu pesat, masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda, hidup dalam lingkungan yang sangat dipengaruhi oleh media sosial. Platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube menjadi wadah ekspresi yang mendominasi keseharian mereka. Di satu sisi, dunia digital membuka ruang kreativitas tanpa batas, tetapi di sisi lain, arus viralitas konten sering kali mengabaikan nilai-nilai karakter yang selama ini dijunjung tinggi dalam budaya bangsa. Lalu, di tengah derasnya konten yang cepat viral dan kerap kali dangkal secara nilai, bagaimana nasib pendidikan karakter?
Pendidikan karakter sejatinya merupakan usaha sadar dan terencana untuk menanamkan nilai-nilai luhur, seperti tanggung jawab, kejujuran, kerja keras, empati, dan toleransi. Dalam sistem pendidikan nasional Indonesia, pendidikan karakter menjadi bagian penting yang tercantum dalam Kurikulum Merdeka. Namun, pada praktiknya, pendidikan karakter menghadapi tantangan besar ketika berhadapan dengan gelombang besar konten viral yang kadang memuat kekerasan verbal, pamer kekayaan, hingga perilaku tidak etis yang justru mendapat perhatian dan pujian luas dari masyarakat dunia maya.
Fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran nilai dalam masyarakat digital. Konten yang “menghibur” lebih mudah diterima daripada konten yang mendidik. Generasi muda pun lebih tertarik mengikuti figur publik atau selebritas media sosial yang viral, meskipun tidak semua memberikan teladan yang baik. Akibatnya, proses internalisasi nilai melalui pendidikan formal dan informal mengalami disrupsi. Apa yang diajarkan di sekolah sering kali bertabrakan dengan apa yang mereka konsumsi di dunia maya.
Tidak dapat dimungkiri bahwa teknologi digital memiliki kekuatan besar dalam membentuk perilaku dan karakter. Oleh karena itu, pendidikan karakter tidak bisa hanya dilakukan secara konvensional di ruang kelas, tetapi harus diperluas hingga ke ruang-ruang digital. Sekolah dan lembaga pendidikan perlu mengembangkan pendekatan baru dalam menyampaikan nilai-nilai karakter, termasuk memanfaatkan media digital sebagai sarana pendidikan yang relevan dan menarik.
Misalnya, guru dapat melibatkan siswa dalam proyek pembuatan konten positif yang mengangkat nilai-nilai kejujuran, gotong royong, dan kepedulian sosial. Dengan demikian, siswa tidak hanya diajak memahami konsep nilai secara teoritis, tetapi juga dilatih untuk menerapkannya secara kreatif dan kontekstual di platform yang mereka gunakan sehari-hari. Dengan cara ini, pendidikan karakter tidak akan terasa seperti beban moral, tetapi menjadi praktik nyata yang menyenangkan dan bermakna.
Selain itu, peran keluarga menjadi sangat krusial dalam menghadapi arus konten viral. Orang tua tidak cukup hanya membatasi penggunaan gawai, tetapi juga perlu menjadi teladan dalam penggunaan teknologi yang bijak. Pendampingan dan komunikasi yang intens antara orang tua dan anak dapat menjadi benteng utama agar nilai-nilai karakter tetap tertanam kuat, sekalipun lingkungan digital menawarkan banyak pengaruh negatif.
Pemerintah dan pemangku kebijakan juga diharapkan lebih aktif mengontrol dan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya konten yang bermuatan nilai. Regulasi yang melindungi generasi muda dari konten destruktif harus ditegakkan tanpa mengorbankan kebebasan berekspresi. Di sisi lain, kreator konten yang menyebarkan nilai-nilai positif perlu mendapat dukungan dan apresiasi agar menjadi role model baru bagi generasi muda.
Sudah saatnya masyarakat tidak hanya terpaku pada aspek hiburan dari media sosial, tetapi juga mulai kritis terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam setiap konten. Literasi digital harus menjadi bagian dari pendidikan karakter, agar generasi muda tidak hanya pandai berselancar di dunia maya, tetapi juga memiliki filter moral dalam memilih dan memproduksi konten.
Pendidikan karakter di tengah arus viralitas konten adalah tantangan besar, tetapi bukan hal yang mustahil untuk diatasi. Dibutuhkan kolaborasi semua pihak: sekolah, keluarga, pemerintah, dan masyarakat umum, untuk menciptakan ekosistem digital yang sehat, bermoral, dan berbudaya. Jika nilai-nilai karakter berhasil diinternalisasikan secara kreatif dalam dunia digital, maka generasi masa depan Indonesia akan tumbuh bukan hanya sebagai individu yang cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional dan moral.
Dengan demikian, kita tidak hanya akan memiliki generasi yang viral karena sensasi semata, tetapi generasi yang viral karena kontribusi positif dan keteladanan karakter. Di era yang serba cepat ini, pendidikan karakter harus tetap menjadi pondasi utama dalam membangun peradaban yang beradab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook