Kendala Deep Learning di Ruang Kelas
Eduaksi | 2025-04-08 09:13:59Menurut hemat kami, teori akademik dasar Deep learning adalah metode kecerdasan buatan (AI), yang mengajarkan komputer untuk memproses data dengan cara yang terinspirasi oleh otak manusia.
Model deep learning dapat mengenali gambar, teks, suara yang kompleks, serta pola (peristiwa) data lain untuk menghasilkan wawasan dan prediksi (pengetahuan) yang akurat.
Setidaknya model itu mulai diterapkan di Asia sebagai program kelas di tahun 80an, khususnya Australia sebagai wujud aktualisasi kualitas otak manusia itu sendiri. Di samping mulai berkembangnya era industri (termasuk Indonesia).
Artinya, deep learning bukanlah hal baru secara kimiawi otak kita. Hanya prosesnya yang terkondisi oleh pengalaman lingkungan sekitar. Sehingga pendekatan deep learning bukan menjadi pilihan yang disengaja.
Sayangnya..model ini tidak lebih mashur ketimbang model Quantum Learning, bahkan sempat viral di Indonesia era 2000an. Padahal prinsipnya hampir sama. Ada mencerna konteks, menghayati, mengembangkan. Di dalamnya ada makna, semangat, inisiatif, fokus dan kreativitas. (bandingkan dengan: mindfull, joyfull,meanfull). Ini juga sejalan dengan konsep HOTS yang mashur 10 tahun di belakang (ini sejalan dengan prinsip asli pendidilan Islam yang mengajak berfikir mendalam dan akurat).
Dalam amatan penulis, kendala yang paling menonjol dalam penerapannya di dalam kelas adalah, Pertama, kesiapan murid untuk proses ini karena sudah lama terbiasa menyerap langsung informasi tanpa mengkonstruksinya. (kontaminasi budaya gawai dan scrolling juga bisa jadi variabel).
Kedua, kemampuan guru untuk menyiapkan pembelajaran secara detil, sehingga dapat menggambarkan peristiwa belajar secara fisik maupun mental lalu mengujinya kemudian. Minimnya persiapan akan memengaruhi medel dan gaya apapun yang kita siapkan.
Ketiga, Satuan materi ajar yang padat. untuk model deeplearning yang mementingkan konteks, makna dan penerapannya, sangat dibutuhkan waktu dan sarana yang efektif untuk mengukur tingkat "mastery siswa dalam bidang yang dipejari. Ini juga terkait dengan prioritas dan peminatan salam proses pembelajaran.
Bila kita dapat memenej kendala di atas, agaknya model belajar apapun akan terasa manfaatnya bagi perkembangan pribadi siswa. Jangan seperti kasus di bawah ini: Belajar bahasa Inggris sejak kelas 4 SD hingga semester 3 di kampus (11 tahun akademik), namun tetap tidak bisa bicara dan menulis dgn bahasa Inggris. Wah!

Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook