
Zakat Fitrah: Kewajiban atau Sekadar Tradisi?
Agama | 2025-03-24 06:52:26
Setiap tahun, menjelang Idul Fitri, saya selalu melihat kesibukan umat Muslim dalam menunaikan zakat fitrah. Orang-orang berbondong-bondong ke masjid, menyerahkan beras atau uang, lalu kembali dengan perasaan lega. Tapi, pernahkah kita bertanya: Apakah zakat fitrah ini benar-benar kewajiban yang harus dipenuhi, atau hanya sekadar tradisi yang terus diwariskan dari generasi ke generasi?
Saya sendiri sempat berpikir, apakah membayar zakat fitrah hanya sebatas kebiasaan karena "takut dosa" atau ada makna yang lebih dalam? Ternyata, setelah saya pelajari lebih jauh, zakat fitrah bukan sekadar ritual tahunan, tapi sebuah ibadah yang sarat makna spiritual dan sosial. Rasulullah SAW bersabda:
"Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah sebagai penyucian bagi orang yang berpuasa dari perkataan dan perbuatan yang sia-sia dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin." (HR. Abu Dawud)
Artinya, zakat fitrah tidak hanya untuk membersihkan harta dan jiwa kita, tetapi juga untuk memastikan bahwa tidak ada satu pun Muslim yang merasa lapar atau tersisih di Hari Kemenangan. Saya membayangkan bagaimana rasanya jika di saat saya menikmati ketupat dan opor di pagi Idul Fitri, ada orang lain yang hanya bisa menelan ludah karena tidak memiliki apa-apa untuk dimakan. Di sinilah zakat fitrah memainkan peran besar — membagikan kebahagiaan agar dirasakan semua orang.
Mengapa Zakat Fitrah Diwajibkan?
Setelah memahami maknanya, saya sadar bahwa zakat fitrah memiliki dua tujuan besar:
1. Dimensi Spiritual – Zakat fitrah adalah bentuk penyucian diri dan pelengkap ibadah puasa yang mungkin terdapat kekurangan. Saya merasa puas dan lega setelah menunaikan zakat fitrah, karena seolah-olah puasa saya menjadi lebih sempurna.
2. Dimensi Sosial – Zakat fitrah adalah bentuk nyata dari solidaritas. Kita memastikan bahwa tidak ada yang merasa lapar atau terpinggirkan di Hari Raya. Saya sering melihat senyum di wajah orang-orang yang menerima zakat — itu adalah kebahagiaan yang tak ternilai.
Ketika Zakat Fitrah Menjadi Sekadar Tradisi
Tapi, jujur saja, tidak semua orang memahami makna ini. Saya pernah mendengar seseorang berkata, "Bayar zakat fitrah aja, biar aman." Seolah-olah zakat hanya formalitas, bukan bagian dari ibadah yang penuh makna. Bahkan ada yang membayarnya dengan asal-asalan, tanpa memperhatikan apakah zakat tersebut benar-benar sampai kepada orang yang berhak.
Kalau kita membayar zakat hanya karena merasa wajib atau sekadar ikut-ikutan, maka makna spiritual dan sosialnya akan hilang. Zakat fitrah bukan tentang menggugurkan kewajiban, tapi tentang bagaimana kita ikut menciptakan kebahagiaan dan keadilan sosial di Hari Kemenangan.
Menghidupkan Kembali Makna Zakat Fitrah
Saya rasa, kita perlu menghidupkan kembali makna zakat fitrah ini. Jangan hanya membayar karena kewajiban, tapi hayati tujuan besarnya. Cobalah:
✅ Bayar zakat tepat waktu — sebelum salat Idul Fitri. Ini bukan sekadar aturan, tapi untuk memastikan orang yang membutuhkan bisa menikmatinya di Hari Raya.
✅ Salurkan zakat pada orang yang tepat — jangan hanya menyerahkan pada panitia tanpa tahu ke mana zakat itu disalurkan. Pastikan benar-benar sampai kepada yang membutuhkan.
✅ Nikmati rasa syukur setelah menunaikan zakat — karena di situlah letak kebahagiaan sejati: saat kita bisa berbagi dan membuat orang lain tersenyum.
Saya selalu merasa lega dan bahagia setelah menunaikan zakat fitrah. Ada rasa ketenangan, karena saya tahu, di tengah kebahagiaan Idul Fitri yang saya rasakan, ada orang lain yang juga bisa merasakan kebahagiaan yang sama berkat zakat fitrah. Jadi, zakat fitrah bukan sekadar tradisi. Ini adalah panggilan jiwa untuk berbagi, menyempurnakan ibadah, dan menciptakan kebahagiaan di hari kemenangan.
Karena pada akhirnya, kebahagiaan sejati adalah saat kita bisa berbagi kebahagiaan dengan orang lain.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook