Puasa dan Ukhuwah Kebangsaan Melalui Buka Puasa Bersama
Agama | 2025-03-19 23:01:37
Ismail Suardi Wekke (Cendekiawan Muslim Indonesia)
Mentari senja perlahan meredup, menyisakan semburat jingga di langit Jakarta. Di sebuah masjid sederhana di tengah kota khusus Jakarta, aroma kolak pisang dan gorengan menggoda indera penciuman.
Sore itu, masjid dipenuhi oleh warga dari berbagai latar belakang. Ada Pak Budi, seorang pedagang bakso yang selalu tersenyum ramah, Bu Ani, seorang tutor yang penuh semangat, dan juga Mas Joko, seorang mahasiswa yang aktif dalam kegiatan sosial. Mereka semua berkumpul untuk berbuka puasa bersama, sebuah tradisi yang selalu dinantikan setiap bulan Ramadhan.
"Wah, ramai sekali ya hari ini," kata Pak Budi sambil menata takjil di atas karpet yang terhampar.
"Iya, Pak. Alhamdulillah, semakin banyak yang ikut buka puasa bersama," jawab Bu Ani sambil tersenyum. "Ini bukti bahwa kita semua bersaudara, meskipun berbeda-beda."
Mas Joko, yang baru saja tiba, ikut nimbrung dalam percakapan. "Betul sekali, Bu. Buka puasa bersama ini bukan hanya tentang makan dan minum, tapi juga tentang mempererat tali ukhuwah."
Suasana semakin hangat dengan obrolan ringan tentang kegiatan sehari-hari, pengalaman berpuasa, dan harapan-harapan untuk masa depan. Tiba-tiba, seorang anak kecil berlari menghampiri mereka sambil membawa sebuah kotak kardus.
"Ini ada kiriman dari tetangga sebelah, katanya untuk buka puasa bersama," kata anak itu dengan riang.
Pak Budi membuka kotak kardus tersebut dan menemukan berbagai macam makanan lezat, mulai dari nasi kebuli hingga kue-kue tradisional.
"Masya Allah, baik sekali tetangga kita," ucap Pak Budi dengan mata berkaca-kaca. "Meskipun mereka berbeda keyakinan, mereka tetap peduli dan berbagi dengan kita."
Bu Ani mengangguk setuju. "Inilah indahnya kebersamaan dalam keberagaman. Kita semua adalah bagian dari bangsa Indonesia, yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan persatuan."
Adzan maghrib berkumandang, memecah keheningan senja. Semua mata tertuju pada hidangan yang tersaji di depan mereka. Dengan penuh syukur, mereka mulai menyantap makanan, berbagi cerita, dan tertawa bersama.
Di saat-saat seperti inilah, perbedaan seolah melebur, dan yang tersisa hanyalah rasa persaudaraan yang tulus.
Setelah selesai berbuka, mereka melaksanakan shalat maghrib berjamaah. Kemudian, mereka kembali berkumpul untuk menikmati teh hangat dan kue-kue manis.
Obrolan terus berlanjut hingga tarawih, membahas berbagai topik, mulai dari masalah sosial hingga rencana kegiatan sosial di bulan Ramadhan.
"Semoga kebersamaan ini terus terjaga, tidak hanya di bulan Ramadhan, tapi juga di hari-hari biasa," kata Mas Joko sebelum berpamitan pulang.
"Aamiin," jawab Pak Budi dan Bu Ani serempak. Mereka pun pulang dengan hati yang penuh kehangatan, membawa serta semangat ukhuwah kebangsaan yang semakin kuat.
Puasa Merajut Ukhuwah
Ramadhan adalah bulan penuh berkah yang sarat akan nilai-nilai sosial dan spiritual. Salah satu nilai yang paling menonjol adalah ukhuwah, atau persaudaraan. Tradisi buka puasa bersama, shalat tarawih berjamaah, dan kegiatan sosial lainnya menjadi manifestasi nyata dari ukhuwah yang terjalin selama bulan suci ini.
Dari perspektif antropologi, puasa dapat dilihat sebagai sebuah ritual komunal yang memperkuat ikatan sosial. Ritual ini menciptakan rasa kebersamaan dan solidaritas di antara anggota masyarakat.
Melalui pengalaman bersama menahan diri dari makan dan minum, umat Muslim merasakan empati terhadap mereka yang kurang beruntung, sehingga mendorong tindakan berbagi dan kepedulian sosial.
Tradisi buka puasa bersama, misalnya, bukan hanya sekadar acara makan bersama. Lebih dari itu, ini adalah momen di mana orang-orang dari berbagai latar belakang berkumpul, berbagi cerita, dan mempererat tali silaturahmi.
Dalam konteks ini, makanan bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik, tetapi juga simbol dari kebersamaan dan persaudaraan.
Selain itu, kegiatan sosial seperti pembagian takjil gratis, santunan anak yatim, dan zakat fitrah juga memiliki peran penting dalam memperkuat ukhuwah. Tindakan-tindakan ini mencerminkan nilai-nilai gotong royong dan kepedulian sosial yang dijunjung tinggi dalam masyarakat Muslim.
Dalam perspektif antropologi, kegiatan-kegiatan ini dapat dianalisis sebagai bentuk pertukaran timbal balik yang memperkuat ikatan sosial dan menciptakan rasa saling memiliki.
Dengan demikian, puasa bukan hanya ritual individu, tetapi juga ritual komunal yang memiliki dampak sosial yang signifikan. Melalui puasa, umat Muslim tidak hanya membersihkan diri secara spiritual, tetapi juga memperkuat ikatan persaudaraan dan solidaritas sosial.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook