Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hafid

Ketika Rasulullah Menangis di Malam Lailatul Qadar

Agama | 2025-03-18 06:19:47

Malam itu sunyi. Angin lembut menyusup di antara celah-celah rumah di Madinah. Langit tampak gelap, tanpa cahaya bulan yang biasanya menggantung megah di angkasa. Malam ke-27 Ramadan itu terasa berbeda. Para sahabat mulai menyadari bahwa malam yang mereka nanti-nantikan bisa jadi telah tiba — malam Lailatul Qadar.

Di dalam sebuah kamar kecil yang sederhana, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam berdiri dalam sujud panjang. Air mata mengalir di pipi beliau, membasahi janggutnya yang lembut. Suara isakan halus terdengar samar di antara keheningan malam. Beliau berdoa dengan suara penuh penghayatan, hampir berbisik, seolah takut mengganggu keheningan yang menyelimuti bumi.

"Ya Allah, ampunilah umatku Ampunilah umatku Ampuni mereka yang telah berbuat salah karena ketidaktahuan mereka ”
Suara Rasulullah bergetar. Bahunya naik turun, menahan isakan yang tertahan di dada. Air matanya jatuh ke lantai tanah, membasahi tempat sujudnya. Rasa cinta dan kasih sayang yang begitu dalam untuk umatnya mengalir bersama setiap tetes air mata yang jatuh.

Ummul Mukminin, Aisyah Radhiyallahu 'Anha, terbangun dari tidurnya. Dia membuka matanya perlahan, merasakan keheningan malam yang terasa ganjil. Aisyah menoleh ke arah Rasulullah yang tengah sujud dalam tangisan. Mata Aisyah menghangat, hatinya bergetar melihat Rasulullah yang biasanya begitu tegar kini tampak begitu rapuh di hadapan Allah.

Ketika Rasulullah selesai shalat, Aisyah mendekat dengan lembut. “Wahai Rasulullah, mengapa engkau menangis sedemikian dalam? Bukankah engkau telah dijamin oleh Allah untuk diampuni semua dosamu, baik yang lalu maupun yang akan datang?” tanyanya lembut.

Rasulullah menatap Aisyah dengan mata yang masih basah. Senyum tipis terukir di wajah beliau, meski kesedihan tampak jelas di dalamnya. “Wahai Aisyah,” ucap beliau lirih, “Jika Allah telah mengampuni dosaku, bukankah sudah seharusnya aku menjadi hamba yang paling bersyukur?”

Aisyah menunduk, hatinya bergetar mendengar kalimat itu. Rasulullah tidak menangis karena takut pada dosa, sebab beliau telah dijamin masuk surga. Tapi beliau menangis karena rasa syukur yang begitu dalam, karena beban atas umatnya, karena beliau ingin umatnya mendapatkan ampunan dan rahmat dari Allah di malam yang penuh berkah ini.

"Aisyah," lanjut Rasulullah, suaranya lirih namun tegas, "aku tidak takut pada dosaku sendiri. Aku takut jika kelak di hari pembalasan, ada dari umatku yang meminta pertolongan tapi aku tak mampu menolong mereka." Suara Rasulullah bergetar. Aisyah merasakan dadanya sesak, seolah ikut merasakan beban berat yang dipikul Rasulullah.

Malam terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin yang bertiup terasa hangat, seolah membawa ketenangan ke dalam hati setiap hamba yang terjaga. Langit yang gelap tampak bercahaya, bukan karena sinar bulan, tetapi karena cahaya lembut yang turun dari langit — cahaya yang dibawa oleh para malaikat yang diutus Allah.

Dari kejauhan, suara tasbih dan istighfar terdengar samar. Para sahabat yang terjaga mulai merasakan kedamaian yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Malam itu terasa berbeda, seolah seluruh alam semesta tunduk dalam kekhusyukan.
"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam Lailatul Qadar. Dan tahukah kamu apakah malam Lailatul Qadar itu? Malam Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar."(QS Al-Qadr: 1–5)
Aisyah merasakan air matanya ikut menetes.

Betapa besarnya cinta Rasulullah kepada umatnya. Beliau tidak meminta keselamatan untuk dirinya sendiri. Beliau tidak meminta harta atau kemuliaan dunia. Rasulullah hanya meminta ampunan dan rahmat untuk umatnya — untuk setiap orang yang mencintai Allah dan mengikutinya. "Wahai Aisyah," Rasulullah berbisik lembut, "malam ini, Allah membukakan pintu langit. Barang siapa yang beribadah dengan penuh keimanan dan pengharapan, maka dosanya akan diampuni. Aku berharap, malam ini menjadi malam pengampunan bagi umatku.”

Air mata Aisyah jatuh tanpa bisa ditahan. Dalam hatinya, ia berjanji akan menjaga malam-malam Ramadan dengan penuh pengharapan — seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah.

Malam itu berlalu dengan penuh keheningan. Rasulullah kembali sujud, memohon kepada Allah dengan doa yang lirih. Di dalam hati beliau, tersimpan harapan besar bahwa umatnya akan mendapatkan rahmat dan ampunan.

Pagi itu, setelah malam yang penuh tangisan dan doa, Rasulullah tersenyum pada Aisyah. Senyum itu lembut, penuh ketenangan. “Aku berharap, Allah telah mengabulkan doa kita malam ini,” ucap beliau.

Aisyah menatap beliau dengan kagum. Dalam hati, dia berjanji akan menghidupkan malam-malam Ramadan dengan penuh pengharapan — seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah.

Malam Lailatul Qadar pun berlalu dengan keheningan yang penuh berkah. Tapi kenangan tentang air mata Rasulullah di malam itu terus terpatri dalam ingatan Aisyah — dan di hati setiap umat yang mencintai Rasulullah dengan sepenuh jiwa.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image