
#KaburAjaDulu: Fenomena Viral yang Menguak Kegagalan Ekonomi
Politik | 2025-02-20 19:58:06
Oleh: Shabrina Nibrasalhuda, Mahasiswi
Tren #KaburAjaDulu menjadi perbincangan hangat di berbagai platform media sosial, khususnya X, selama sebulan terakhir. Tagar ini digunakan oleh warganet untuk mengajak pindah ke luar negeri, baik melalui jalur beasiswa, program magang, lowongan pekerjaan, maupun cara lainnya.
Menurut analisis Drone Emprit, mayoritas pengguna tagar ini berasal dari generasi muda, dengan 50,81% berusia 19-29 tahun dan 38,10% di bawah 18 tahun. Banyak dari mereka menyampaikan keluhan terkait kondisi di Indonesia, seperti sulitnya mendapatkan pekerjaan, rendahnya upah, akses pendidikan tinggi yang terbatas, korupsi, serta kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada rakyat.
Faktor seperti rendahnya kualitas pendidikan dalam negeri yang bertolak belakang dengan banyaknya peluang beasiswa ke luar negeri, serta sulitnya mendapatkan pekerjaan di Indonesia dibandingkan dengan kesempatan kerja di luar negeri dengan gaji lebih tinggi, semakin mendorong keinginan untuk pindah. Dikutip dari www.detik.com
Fenomena ini mencerminkan keinginan serius banyak anak muda Indonesia untuk mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri. Bahkan, sebagian sudah menetap di luar negeri dan enggan kembali. Selain itu, tren ini juga mencerminkan ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah yang dinilai gagal menyediakan pendidikan berkualitas, lapangan kerja, dan kesejahteraan. Ditambah lagi, beberapa negara maju seperti Jepang dan negara-negara Skandinavia tengah mencari tenaga kerja baru akibat populasi mereka yang menua, sehingga semakin menarik minat generasi muda Indonesia untuk bermigrasi.
Tren #KaburAjaDulu menegaskan terjadinya brain drain di kalangan anak muda Indonesia. Brain drain, atau human capital flight, adalah fenomena ketika individu berbakat dan berpendidikan memilih untuk bekerja di luar negeri, yang umumnya terjadi di negara berkembang. Banyak profesional seperti ilmuwan, insinyur, dan dokter yang lebih memilih berkarier di luar negeri karena prospek yang lebih baik.
Salah satu faktor utama terjadinya brain drain adalah keinginan individu terdidik untuk mencari kehidupan yang lebih layak di luar negeri, sesuatu yang sulit mereka dapatkan di dalam negeri. Data dari Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham mencatat bahwa antara 2019 hingga 2022, sebanyak 3.912 WNI berusia 25-35 tahun memilih menjadi warga negara Singapura.
Fenomena ini menjadi tantangan serius dalam era globalisasi dan liberalisasi ekonomi, yang semakin memperlebar kesenjangan antara negara maju dan berkembang. Sumber daya alam (SDA) di negara berkembang dikuasai oleh korporasi asing dari negara maju, sehingga rakyat lokal tidak merasakan kesejahteraan.
Minimnya anggaran pendidikan juga menjadi penghambat bagi masyarakat dalam memperoleh pendidikan tinggi. Korupsi yang merajalela semakin memperburuk situasi karena dana pendidikan yang sudah terbatas menjadi semakin kecil. Pemangkasan anggaran pendidikan lebih lanjut berdampak negatif terhadap kualitas layanan pendidikan.
Selain itu, negara berkembang seperti Indonesia kesulitan menciptakan lapangan kerja yang memadai, menyebabkan tingginya angka pengangguran di kalangan generasi muda. Bagi yang berhasil mendapatkan pekerjaan, kesejahteraan tetap menjadi masalah karena rendahnya tingkat upah, yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup layak. Kondisi ini mencerminkan kegagalan kebijakan ekonomi dan politik dalam menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat.
Salah satu akar masalahnya adalah penerapan sistem sekuler kapitalisme, yang memungkinkan kepemilikan sumber daya alam oleh segelintir kapitalis. Akibatnya, kekayaan hanya berputar di kalangan tertentu, memperlebar kesenjangan sosial.
Data kepemilikan dana pihak ketiga (DPK) perbankan yang dirilis Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menunjukkan bahwa dari total DPK sebesar Rp8.049 triliun, sebanyak Rp4.231 triliun (53%) dikuasai oleh hanya 0,02% populasi Indonesia. Sementara itu, data BPS menunjukkan bahwa kontribusi pengeluaran dari kelompok 20% terkaya meningkat sebesar 1,59%, sedangkan kontribusi dari kelompok 40% terbawah turun -1,10% dan kelompok 40% menengah turun -1,48%.
Kapitalisme tidak hanya menciptakan ketimpangan ekonomi di dalam negeri, tetapi juga memperlebar kesenjangan antara negara maju dan berkembang. Laporan Oxfam pada 2015 menunjukkan bahwa 1% orang terkaya di dunia menguasai 45% kekayaan global, sementara 44% populasi dunia hidup dengan kurang dari US$6,85 (sekitar Rp112.031) per hari. Tingkat kemiskinan global pun tidak mengalami perubahan signifikan sejak 1990. Dikutip dari www.adminpajak.com
Kekayaan negara berkembang terus mengalir ke negara maju melalui investasi dan berbagai skema ekonomi lainnya, membuat negara kaya semakin makmur sementara negara berkembang tetap tertinggal. Akibatnya, masyarakat negara berkembang terpaksa mencari penghidupan yang lebih baik di negara maju.
Meski banyak orang Indonesia yang pindah ke luar negeri menyadari tingginya biaya hidup dan pajak di negara tujuan, mereka tetap merasa bahwa kehidupan di sana lebih menjanjikan dibandingkan di Indonesia. Selain itu, iklim kerja di Indonesia yang dinilai kurang sehat—di mana faktor "orang dalam" lebih berpengaruh daripada kompetensi dan profesionalisme—juga menjadi alasan mengapa banyak orang enggan kembali.
Jika fenomena brain drain terus berlanjut, Indonesia akan kehilangan sumber daya manusia berkualitas, sehingga bonus demografi yang seharusnya menjadi keuntungan bagi negara justru dinikmati oleh negara lain. Sementara itu, Indonesia berisiko tetap terjebak dalam kemiskinan dan ketimpangan sosial.
Kesenjangan ekonomi merupakan akibat dari sistem sekuler kapitalisme yang mengatur kehidupan, terutama dalam bidang ekonomi. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS Ar-Ruum ayat 41, yang menyatakan bahwa kerusakan di darat dan laut terjadi akibat perbuatan manusia sebagai peringatan agar mereka kembali ke jalan yang benar. Dalam Islam, negara berperan sebagai pengurus rakyat yang bertanggung jawab memastikan kesejahteraan mereka dan tidak boleh membiarkan kemiskinan terjadi. Negara wajib memenuhi kebutuhan dasar setiap individu, termasuk sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan, sebagai bagian dari kebijakan ekonomi Islam.
Untuk mencapai kesejahteraan ini, negara harus menjamin pemenuhan kebutuhan primer seluruh rakyat secara menyeluruh, serta membantu individu dalam memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier sesuai kemampuan mereka. Salah satu langkah utama adalah menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya, terutama bagi laki-laki yang bertanggung jawab menafkahi keluarga. Negara akan mengelola sumber daya alam (SDA) yang merupakan milik umum, seperti tambang, laut, hutan, sungai, dan gunung, sehingga dapat menciptakan banyak pekerjaan. Hasil dari pengelolaan SDA ini akan dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk barang, seperti BBM dan gas, maupun layanan publik yang meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Selain itu, negara akan memperkuat industri dalam negeri dengan mendorong industrialisasi dan menghapus pungutan yang tidak adil agar sektor usaha dapat berkembang dan menyerap tenaga kerja. Kebijakan impor juga akan dikendalikan untuk melindungi industri lokal dari persaingan yang merugikan. Sektor ekonomi lainnya, seperti pertanian, peternakan, perdagangan, dan jasa, juga akan didukung agar semakin maju dan mampu menciptakan lebih banyak peluang kerja bagi generasi muda. Dengan berbagai sumber pendapatan negara, kesejahteraan rakyat dapat dijamin tanpa membebani mereka. Fasilitas penting seperti pendidikan dan layanan kesehatan akan disediakan dengan biaya murah, bahkan gratis, sehingga masyarakat tidak perlu pergi ke luar negeri untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Negara juga akan berperan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dengan menerapkan sistem pendidikan berbasis nilai-nilai Islam untuk membentuk generasi muda yang berkualitas, cerdas, dan berakhlak baik. Pendidikan tinggi akan tersedia bagi semua rakyat tanpa hambatan biaya, dan para lulusan akan diarahkan untuk mengisi berbagai posisi penting secara profesional. Dengan kebijakan ini, generasi muda tidak perlu mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri (#KaburAjaDulu), melainkan dapat berkembang dan berkontribusi di dalam negeri. Sebaliknya, negara yang sejahtera akan menarik minat orang dari luar untuk datang dan merasakan manfaat dari sistem yang diterapkan. Wallahualam bissawab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook