Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rafli Googoro

Kaidah Tafsir dan Penerapannya

Agama | 2025-01-27 22:23:24
Kaidah tafsir dan penrapannya yang di ambil dalam bentuk nakirah. Di dalam al-quran banyak di jumpai bentuk isim nakirah, namun beberapa bentuk nakirah itu tidak semua bisa dipahami sesuai dengan penunjukan dasarnya yakni berarti umum, akan tetapi memiliki arti dan maksud yang berbeda-beda sesuai dengan konteknya di antaranya yang sudah saja terapkan di bawah ini.

KAIDAH TAFSIR DAN PENERAPANNYARafli Gogoro (2200027019)
NAKIRAH Dalam ilmu nahwu, isim nakirah adalah (kata benda yang tidak menunjukkan arti tertentu atau menunjukkan makna umum), seperti dan lainlain. Di dalam al-Qur’an banyak dijumpai bentuk isim nakirah, namun beberapa bentuk nakirah itu tidak semuanya bisa dipahami sesuai dengan penunjukan dasarnya yakni berarti umum, akan tetapi memiliki arti dan maksud yang berbeda-beda, sesuai dengan konteksnya. Di antaranya:
A. Li-Iradah al-waḥdah (penyatuan) Salah satu yang ditunjukkan oleh lafaz nakirah adalah penyatuan. Misalnya firman Allah:ضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا رَّجُلًا فِيْهِ شُرَكَاۤءُ مُتَشٰكِسُوْنَ وَرَجُلًا سَلَمًا لِّرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيٰنِ مَثَلًاۗ اَلْحَمْدُ لِلّٰهِۗ بَلْ اَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ Artinya: “Allah membuat perumpamaan, (yaitu) seorang laki-laki (hamba sahaya) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat, (tetapi) dalam perselisihan dan seorang (hamba sahaya) yang menjadi milik penuh seorang (saja). Apakah keduanya sama keadaannya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui(-nya).”Ayat di atas sebagai jawaban atas pernyataan orang-orang kafir Mekkah yang merasa keberatan dengan ajaran Rasulullah tentang Tuhan yang Esa. Menurut logika mereka, jika urusannya banyak mestinya, tuhannya juga harus banyak. Makanya ajaran Rasulullah itu dianggap aneh, sebagaimana yang dinyatakan dalam firmannya:اَجَعَلَ الْاٰلِهَةَ اِلٰهًا وَّاحِدًاۖ اِنَّ هٰذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ Artinya:“Apakah dia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar sesuatu yang sangat mengherankan.”Menanggapi pernyataan orang kafir itulah, Allah menurunkan ayat di atas, dengan membuat perbandingan dua orang budak, yang satu dikuasai satu tuan, dan yang satu dikuasai banyak tuan lagi bertikai. Pertanyaannya, mana diantara keduanya yang lebih menenangkan? Tentunya, yang dikuasai satu tuan. Inilah perumpamaan orang yang ber-Tuhan esa dengan bertuhan banyak. Pokok pembahasannya pada kata شركاء, bentuk jama’ di sini maksudnya adalah mereka secara bersama-sama memiliki (الوحدة (seorang hamba sahaya.

B. Lit-Taḥqir (menghinakan/merendahkan) Salah satu yang ditunjukkan dari lafaz nakirah adalah taḥqîr (menghinakan). Atau dengan istilah, penggunaan bentuk nakirah itu menunjukkan sesuatu tersebut dianggap remeh, hina, atau tidak bernilai. Misalnya dapat dipahami dari firman Allah berikut ini:قُتِلَ الۡاِنۡسَانُ مَاۤ اَكۡفَرَهٗؕ ١٧ مِنۡ اَىِّ شَىۡءٍ خَلَقَهٗؕ ١٨ مِنۡ نُّطۡفَةٍؕ خَلَقَهٗ فَقَدَّرَهٗ ۙ ١٩Celakalah manusia! Alangkah kufurnya dia! Dari apakah Dia (Allah) menciptakannya? Dari setetes mani, Dia menciptakannya lalu menentukannya. (Q.s.‘Abasa/80: 17-19).Kata kuncinya adalah term nuṭfah. Term nuṭfah disini berbentuk nakirah yang dimaksudkan untuk menghinakan (littaḥqîr). Sebagaimana disebutkan dalam sabab nuzulnya, bahwa ayat ini pada mulanya terkait dengan Umaiyyah bin Khalaf, pada riwayat lain, al-Walid bin al-Mughirah, dua tokoh kaum kafir yang sangat memusuhi Rasulullah. Sikap kekufuran tersebut dianggap sebagai kesombongan (takabbur) dan menyombongkan diri (istikbȃr). Makanya diajukan pertanyaan kepada mereka, “memangnya mereka berasal dari apa, berani kafir kepada Allah? Bukankah mereka berasal dari nuṭfah”.Redaksi semacam ini ( (من اي شيء خلقهdalam ilmu balaghah disebut istifhȃm inkȃriy, yaitu pertanyaan yang tidak butuh jawaban. Artinya, ayat tersebut tidak benar-benar ingin menanyakan asal kejadian manusia, sebab sudah maklum, akan tetapi, untuk menghinakan mereka yang sombong dan menyombongkan diri terutama sekali di hadapan Allah, agar menyadari kalau merka itu berasal dari sesuatu yang tidak berharga. Gambaran kehinaan manusia, dalam ungkapan Arab dinyatakan:الانسان اوله نطفة واخره جيفة وما بينهما حامل الحذرةManusia itu awalnya adalah nuthfah (sperma), akhirnya adalah bangkai, dan yang selalu dibawa selama hidupnya adalah kotoranKarena itu, ayat ini merupakan bentuk kritikan atau sindiran kepada mereka yang bersikap sombong (takabbur), yang ditunjukkan oleh salah satu dari dua sikap buruk, yakni menolak ( (بطر الحقdan merendahkan orang lain (غمط (الناس;(atau menyombongkan diri (istikbȃr), yaitu menolak kebenaran sekaligus mengejek dan menghina yang membawa kebenaran tersebut. Melalui ayat ini, seakan manusia diingatkan kalau dirinya yang hanya berasal dari bahan yang tidak berharga dan menjijikkan, sangat tidak pantas jika ia menyombongkan diri di hadapan Allah, dengan tidak mengimani-Nya dan tidak beribadah kepada-Nya.
C. Lit-Taqlil (menunjukkan arti sedikit) Contoh tentang hal ini bisa dilihat dalam firman Allah:سَ عَلَيْكَ هُدٰىهُمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ فَلِاَنْفُسِكُمْۗ وَمَا تُنْفِقُوْنَ اِلَّا ابْتِغَاۤءَ وَجْهِ اللّٰهِۗ وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ يُّوَفَّ اِلَيْكُمْ وَاَنْتُمْ لَا تُظْلَمُوْنَArtinya: Bukanlah kewajibanmu (Nabi Muhammad) menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allahlah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki (berdasarkan kesiapannya untuk menerima petunjuk). Kebaikan apa pun yang kamu infakkan, (manfaatnya) untuk dirimu (sendiri). Kamu (orang-orang mukmin) tidak berinfak, kecuali karena mencari rida Allah. Kebaikan apa pun yang kamu infakkan, niscaya kamu akan diberi (pahala) secara penuh dan kamu tidak akan dizalimi Kata kuncinya (محل الشهيد) adalah pada lafaz khair/خير yang berbentuk nakirah. Pada ayat di atas, kata khair dirangkai dengan dua redaksi yang berbeda, yaitu من خير فلانفسكم dan من خير يوم اليكم . Kata khair, pada mulanya, berarti kebaikan, namun di ayat ini, kata khair bermakna “harta”. Indikatornya adalah penyebutan kata tunfiquu (kalian menginfakkan). Kata anfaqa yunfiqu, berserta derivatnya, biasanya disebutkan dalam konteks harta benda. Berdasarkan penjelasan diatas, maka bentuk perangkaian yang pertama ((من خير فلانفسكم, bisa dipahami bahwa harta yang diinfakkan, sedikit maupun banyak, balasan pahalanya akan kembali kepada yang berinfak. Sementara, bentuk yang kedua (من خير يوف اليكم), secara implisit bisa dipahami bahwa jumlah harta tersebut adalah sedikit. Artinya, sekecil apapun infak itu, akan dibalas dengan sempurna. (hakim, 2022) Melalui ayat di atas, kita didorong untuk senantiasa berinfak meski jumlahnya tidak besar. Inilah sikap kedermawanan itu, yang merupakan sikap mental yang tidak ada hubungannya dengan sedikit atau banyaknya harta. Sebab, yang penting dalam berinfak adalah dilakukan atas dasar keikhlasan. Atas dasar inilah, maka perintah berinfaq itu tidak ada obyeknya. Bahkan, jika si penerima itu memang membutuhkan, maka perbedaan agama sekalipun tidak menjadi pertimbangan dalam berinfak. Atau dengan istilah lain, jika si penerima infak tidak beragama Islam, maka ia tetap dapat pahala, asalkan ikhlas. Penerima infak tidak harus seagama sebagaimana ditunjukkan oleh sabab nuzulnya. (al-sya'rawi, 1989)
D. Lin-Nau’ (menunjukkan arti macam-macam) Ini bisa dipahami dari firman Allah:تَجِدَنَّهُمْ اَحْرَصَ النَّاسِ عَلٰى حَيٰوةٍۛ وَمِنَ الَّذِيْنَ اَشْرَكُوْاۛ يَوَدُّ اَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ اَلْفَ سَنَةٍۚ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهٖ مِنَ الْعَذَابِ اَنْ يُّعَمَّرَۗ وَاللّٰهُ بَصِيْرٌۢ بِمَا يَعْمَلُوْنَࣖ “Dan sungguh, engkau (nabi Muhammad) akan mendapati mereka (orang-orang Yahudi), manusia yang paling tamak akan kehidupan (dunia), bahkan (lebih tamak) dari orangorang musyrik. Masing-masing dari mereka, ingin diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu tidak akan menjauhkan mereka dari azab. Dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan”. (aL-Baqarah/2: 96) Pada mulanya ayat ini terkait dengan sikap kaum Yahudi. Mereka sebenarnya sangat takut terhadap kematian, bukan tidak percaya mati yang memang pasti datang dan kelak akan dibangkitkan kembali di akhirat, namun disebabkan oleh prilaku buruk mereka, sehingga mereka ingin hidup lebih lama, bila perlu seribu tahun lagi. Dalam persepsi mereka, dengan berjalannya waktu keburukan mereka akan terlupakan. Karena itu, dengan penuh keserakahan mereka akan mengejar apa saja yang menurut perkiraan mereka bisa mempertahankan atau paling tidak memperpanjang usianya. Padahal, kalaulah sekiranya mereka dikaruniai umur yang panjang, tetap saja mereka tidak bisa menghindar dari azab Allah di akhirat. Sikap serakah Yahudi tersebut sama dengan kaum musyrik Mekkah (para penyembah berhala). Bedanya, kalau keserakahan kaum musyrik Mekkah disebabkan ketidakpercayaan mereka terhadap hari kebangkitan atau hidup setelah mati; karenanya mereka akan senantiasa menggunakan “aji mumpung”, yaitu mumpung masih hidup, maka dipuas-puaskan. Sementara keserakahan Yahudi disebabkan prilaku-prilkau buruk yang selama ini mereka lakukan, makanya mereka takut mati. “Kehidupan” dalam hal ini ditunjukkan dengan term hayat/حيوة berbentuk nakirah. Term hayat disini mestinya tidak cukup dimaknai “umum”, layaknya bentuk nakirah. Sebab, yang namanya serakah (احرص الناس) sudah barang tentu bukan sekedar makan untuk hidup, tapi hidupnya untuk makan; bukan hanya mempertahankan hidup atau sebatas kebutuhan primer; namun sudah merambah pada wilayah kebutuhan sekunder bahkan tertier. Karena itu, menurut al-Zarkasyi, kata حية/hayat disini menunjukkan arti nau’ (keanekaragaman). Ini sesuai dengan kalimat sebelumnya yang menunjukkan arti keserakahan (الناس احرص). (hakim, 2022) Ayat di atas juga bisa dipahami bahwa orang yang banyak dosa atau yang selalu memperturutkan hawa nafsu itu biasanya paling takut jika mendengar kata “mati” atau “kematian”. Ini bukan berarti ia tidak percaya kematian, tetapi lebih disebabkan oleh ketidaksiapannya untuk menghadapi kematian. Atau, memang ia tidak yakin kalau hidup setelah mati. Makanya, prinsip hidupnya seperti binatang, yakni hidup untuk “kesenangan”. Sementara dalam dirinya selalu terjadi gejolak, antara keinginan untuk bersenang-senang menuruti hawa nafsu dan rasa ketakutan yang sangat, jangan-jangan kematian datang secara tiba-tiba, padahal ia belum sempat bertobat. Atas dasar inilah, ia akan mengejar apa saja yang menjadikan dirinya bisa tetap hidup atau paling tidak memperpanjang umurnya. Tujuannya, supaya bisa melampiaskan hawa nafsunya lebih lama lagi, pada satu sisi, dan punya kesempatan bertobat, pada sisi yang lain. Namun, sayangnya kematian adalah misteri Ilahi, ia tidak datang mengikuti “urut kacang”. Yang pasti jika ajal kematian sudah harus datang, maka ia pasti datang dan tidak seorang mampu menghalanginya. E.Lit-Ta'zim (menunjukkan arti besar)
Misalnya dalam firman Allah :فَاِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْا فَأْذَنُوْا بِحَرْبٍ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖۚ“Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya ” (al-Baqarah/2: 279)
Ayat ini turun berkenaan dengan Qabilah Tsaqif. Mereka mengajukan persyaratan kepada Rasulullah jika beliau ingin agar mereka masuk Islam, yaitu diizinkan untuk tetap memakan uang riba. Kemudian beliau menerima persyaratan tersebut. Lalu turunlah ayat ini untuk menganulir perizinan Rasulullah dengan menyatakan perang kepada mereka yang tetap melakukan praktek ribawi. Dalam hal ini, al-Qur’an menggunakan term حرب/bentuk nakirah. Nakirah disini dimaksudkan untuk menunjuk arti besar (للتعظيم). Artinya, Allah dan Rasul-Nya akan menyatakan perang besar kepada siapa saja yang tidak mau meninggalkan praktek ribawi. Karena itu, untuk menunjukkan arti perang besar, kata حرب disandarkan kepada lafaz الله. Seakan-akan Allah Seakan-akan Allah mengizinkan kepada Rasulullah untuk memerangi mereka yang tidak meninggalkan praktek riba. Demikian ini, karena system ekonomi ribawi hanya akan semakin mencekik rakyat miskin. Karena itu, sebuah system dikatakan Islamy jika system itu menunjukkan keberpihakan secara nyata kepada kaum dhu’afa. (hakim, 2022) Atau dengan istilah lain, sebuah system perekonomian dengan menggunakan akad yang benar, sesuai dengan ajaran Islam, namun tidak menunjukkan keberpihakan secara nyata kepada kaum dhuafa, sesungguhnya secara de facto sama dengan system ribawi yang diperangi oleh Islam tersebut. Contoh yang lain:وَبَشِّرِ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُۗ “Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan, bahwa untuk mereka (disediakan) surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai ” (al-Baqarah/2: 25) Ayat di atas memberi kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan beramal sholeh, bahwa mereka akan memperoleh surga di akhirat kelak. Dalam hal ini, surga dinyatakan dalam bentuk nakirah jamak (جنات). Menurut para ulama, bentuk nakirah tersebut menunjukkan arti besar. Dalam ayat yang lain, luasnya satu surga (yang dinyatakan dengan bentuk mufrad [جنة) (digambarkan seluas langit dan bumi. Inilah yang dikenal dengan istilah matsal/مثل. Sudah menjadi tradisi alQur’an jika ingin menggambarkan makna luas dan besar biasanya digambarkan dengan bumi dan langit. (hakim, 2022) Kata “surga” yang diungkapkan dengan bentuk jama’ ( جنا ( menunjukkan bahwa “kavling” surga itu banyak sekali. Karena itu, tidak selayaknya ada seorang pun yang boleh mengklaim sebagai yang paling berhak atas surga tersebut, karenanya tidak perlu berebut untuk menjadi satu-satunya sebagai penghuni surga. Yang pasti semua umat Rasulullah akan masuk surga, kecuali yang tidak mau. Siapa saja yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka berhak masuk surga, sedangkan orang yang tidak taat kepada Allah dan Rasul-Nya, itulah orang yang enggan masuk surga, sebagaimana sabda Rasulullah saw:عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى ، قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى ؟ قَالَ : مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى Semua umatku akan masuk surga, kecuali yang enggan. Lalu ditanyakan, siapa yang enggan (masuk surga) wahai Rasulallah? Beliau menjawab, “Siapa saja yang taat kepadaku akan masuk surge, dan siapa saja yang membangkang (tidak taat) kepadaku, itulah orang yang enggan (masuk surga). (hadis riwayat al-Bukhari dari Abi Hurairah) (al-bukhari)DAFTAR PUSTAKAWahbah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 3, h. 73.Kaidah Tafsir, Ahmad Husnul Hakim, tahun 2022Al-sya’rawi, tafsir al-sya’rawi, jilid 1, hlm. 477Al-Bukhari, shahih Al-Bukhari, kitab bad’ al-wahy, no. 7280

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image