Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ena Rs.

Revolusi Mental Apa Kabarnya

Politik | Friday, 18 Feb 2022, 09:51 WIB
Revolusi Mental Apa Kabarnya? (Sumber poto dari pixabay)

Ketika pencapresan pertama Joko Widodo (Jokowi), istilah revolusi mental menjadi jargon yang diusungnya. Sekarang, Jokowi sedang menjalani periode kedua jabatannya sebagai Presiden RI. Istilah revolusi mental tak lagi sering terdengar, apalagi benar-benar diwujudkan, hal yang tak pernah kita lihat.

Sebatas istilah, sebenarnya revolusi mental itu sangat mentereng dan mengundang harapan yang tinggi. Kalau kita tafsirkan, revolusi mental itu sebagai tindakan radikal, cepat, untuk mengubah mental (orang Indonesia).

Menyimpang dulu sedikit, bahwa idealnya seorang pemimpin itu hanya sebelum ia benar-benar menjadi penjabat. Setelah ia menjabat, hanya sedikit yang sukses tidak tenggelam dalam arus sistem kekuasaan yang ia masuki. Kemudian ia membuat perubahan, mewujudkan visi dan misinya yang ia bawa sebelum menjadi pemimpin. Hanya sedikit orang yang sukses menjadi "bukan pemimpin biasa". Umumnya, kebanyakan pemimpin tenggelam dalam sistem kekuasaan yang telah mengakar kuat, sehingga memang sulit untuk diubah.

Dalam hal apa yang pernah ia gembar-gemborkan - revolusi mental itu - Jokowi gagal menjadi seorang "bukan pemimpin biasa". Ia lebih sukses sebagai "pemimpin biasa". Apa yang ia cita-citakan sebelum duduk sebagai Presiden RI untuk menjalankan revolusi mental pada bangsa Indonesia ini, termasuk gagal diwujudkan.

Setiap menit berita yang kita baca di media cetak dan online, kita tonton di televisi, tak ada tuh kabar tentang gerakan radikal mengubah mental bangsa ini, atau minimal mengubah mental para penyelenggara negara.

Perubahan? Ya, ada sih sedikit-sedikit. Tapi itu berarti bukan revolusi. Itu hal yang biasa-biasa saja. Tak masuk dalam kategori revolusi. Tidak, kita tidak melihat ada upaya sungguh-sungguh mewujudkan revolusi mental yang dulu digembar-gemborkan itu.

Mental korupsi makin menjadi-jadi, tidak hanya di kalangan penjabat. Bahkan di masyarakat sendiri, korupsi itu sering terjadi - meski tidak dalam hubungannya dengan merugikan negara. Tapi mental korupsinya masyarakat luas pun punya banget.

Mental kerja keras, kita belum masuk sebagai bangsa pekerja keras seperti orang-orang Jepang, Korea Selatan, Eropa dan Amerika Serikat. Kita masih menjadi bangsa yang santai-santai saja. Kita masih menjadi bangsa yang lebih banyak berkata-kata ketimbang banyak yang dikerjakan.

Mental peduli? Yah, kita ini lebih sering sukses peduli pada orang jauh dari pada peduli pada bangsa sendiri. Kita sukses mengumpulkan donasi untuk bangsa Palestina sampai milyaran rupiah dengan cepat. Tidak terdengar tuh ada gerakan donasi sesukses itu untuk pengentasan nasib-nasib orang miskin di sekitar kita. Kalau ada pun, dengan perbandingan itu, untuk bangsa sendiri, untuk tetangga sendiri, kita hanya sanggup alakadarnya saja. Mengerikan bila mengingat "tidak termasuk beriman bila membiarkan ada tetangganya yang kelaparan."

Revolusi mental sesungguhnya sangat-sangat-sangat bagus untuk dijalankan bila aka kemauan politik yang sungguh-sungguh. Banyak mental bangsa ini perlu diubah segera agar benar-benar menjadi bangsa yang unggul. Tapi sayang sekali, revolusi mental berhenti pada jargon saja. Pada pemanis politik saja.

Selebihnya, mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang: "apa kabar revolusi mental?"

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image