Korupsi Makin Banyak Terkuak, Buah Sistem yang Rusak
Politik | 2025-01-20 10:46:58Oleh: Feni Rosfiani, Aktivis Dakwah
Awal tahun ini masyarakat dikejutkan oleh berita korupsi mantan Kades yang terkuak. Dilansir dari sumber TribunJabar.id (01/01/2025), Polresta Bandung sedang menyelidiki dugaan kasus korupsi yang dilakukan oleh seorang mantan Kepala Desa di Desa Malasari periode 2017-2023. Kasus ini berkaitan dengan pengelolaan anggaran Alokasi Dana Perimbangan Desa dan Bantuan Provinsi Jawa Barat untuk tahun anggaran 2021-2022. Kasat Reskrim Polrestabes Bandung Kompol Oliestha Ageng Wicaksana mengungkapkan bahwa tim menemukan indikasi sebagian besar anggaran yang dikelola langsung tanpa melibatkan PPKD ( Pejabat Penyelesaian Kerugian Daerah) dan TPKD (Tiim Penyelesaian Kerugian Daerah) yang diduga anggaran tersebut dipakai untuk kepentingan pribadi. Hasil audit inspektorat Kabupaten Bandung, kerugian negara sebesar Rp. 454.465.145. Jika semua bukti sudah lengkap maka pelaku akan di sanksi sesuai peraturan yang berlaku. Tetapi, jangan sampai terjadi seperti kasus Harvey Moist yang hanya mendapatkan sanksi 6,5 tahun penjara atas kasus korupsi timah sebesar 271 triliun yang sudah sangat jelas merugikan rakyat tetapi hanya mendapatkan vonis ringan. Apalagi akan adanya wacana pemberian Amnesti kepada para koruptor oleh Presiden Prabowo dengan syarat hanya mengembalikan uang hasil korupsi ke kas negara. Tentu jelas ini semua dirasa tidak adil oleh seluruh masyarakat.
Kasus korupsi di negara ini masih menjadi "PR" besar bagi pemerintah khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus yang terkuak memang banyak, tapi semua itu tidak membuat efek jera kepada para pejabat untuk tidak melakukan korupsi. Diantara penyebabnya adalah karena sanksi yang dirasa cukup ringan, bahkan ada istilah bahwa "Indonesia surganya para koruptor". Selain sanksi yang terlalu ringan, faktor penyebab terulang kembali tindak pidana korupsi adalah karena tidak adanya ketakwaan individu sebagai pejabat yang harusnya amanah karena ia yakin bahwa setiap amanah akan dimintai pertanggung jawaban dihadapan Allah Swt. Bukan pejabat yang hanya memikirkan kepentingan pribadi dan senantiasa memperkaya diri sendiri bukan mengurusi kesejahteraan rakyatnya. Semua ini terjadi karena penerapan sistem kapitalis yang memudahkan semua tindakan korupsi karena hanya memberikan solusi parsial serta sanksi ringan tanpa menjerakan. Kapitalis yang berasaskan pada sekuler pun telah menjadi penyebab utama terkikisnya ketakwaan individu. Ketakwaan individu yang seharusnya ada sebagai benteng terakhir terhadap kemaksiatan justru semakin ditinggalkan akibat dipisahkannya agama dari kehidupan. Aturan agama terutama halal haram tidak lagi menjadi tolok ukur untuk melakukan suatu perbuatan, kini tolok ukur tersebut beralih pada mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dan kesenangan duniawi.
Hal ini berbeda dengan sistem Islam. Di dalam Islam, tipikor (tindak pidana korupsi) adalah kejahatan yang akan dijatuhkan hukuman yang akan memberikan efek jera dalam bentuk sanksi ta'zir, penjara yang lama bahkan sampai hukuman mati sesuai tingkat dan dampak korupsinya.
Para penguasa dalam sistem Islam, senantiasa akan amanah dalam setiap tugas yang diembannya, jujur dan bersih sepanjang sejarah. Hal itu tak lain karena rasa takutnya kepada Allah Swt yang senantiasa akan meminta pertanggung jawaban di akhirat kelak. Selain itu dalam sistem Islam, para pejabat diberikan upah yang cukup sehingga tidak ada celah untuk melakukan korupsi sebagaimana Rosulullah SAW bersabda:
"Siapa saja yang telah kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian (gaji) untuk dia maka apa yang diambil selain itu adalah harta ghulul (haram) "(HR Abi Dawud dan Al-Hakim).
Pemimpin dalam sistem Islam pun hidupnya selalu sederhana, tidak flexing, juga adil dan tegas kepada siapapun termasuk keluarganya sendiri jika memang melakukan suatu kesalahan tetap di amar makruf nahi mungkar. Sehingga tidak akan ada istilah "pilih kasih" atau gratifikasi untuk siapapun. Semua sama di mata Allah SWT kecuali ketakwaannya. Oleh karena itu, tidak ada alasan lagi bagi kita untuk tidak memperjuangkan Kehidupan Islam kembali di Bumi ini agar kita senantiasa berada dalam keridhoan Allah Swt.
Wallohualam bissawab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.