Biskita dan Nasib Transportasi Kita
Transportasi | 2025-01-20 07:52:20
Biskita dan Nasib Transportasi Kita
Pasca berhenti beroperasi sejak 1 Januari 2025 lalu, akhirnya Kemenhub resmi menyerahkan pengelolaan layanan Bis kita Transpakuan ke Pemkot Bogor mulai tahun 2025. Namun besaran alokasi anggaran dari APBD kota Bogor dinilai tak mencukupi, sehingga banyak pihak menanyakan kelangsungan nasib nasib Biskita selanjutnya.
Biskita Transpakuan Andalan Warga Bogor
Selain populer dengan tagline “Kota Beriman” (bersih, indah, dan nyaman), Bogor punya julukan populer lain, yakni “Kota Sejuta Angkot”. Angkutan Perkotaan (angkot) berwarna hijau yang lalu lalang di jalur perkotaan sebelumnya jadi satu-satunya pilihan warga untuk beraktivitas, selain tentunya ojeg online/ojol. Namun sejak kehadiran Biskita Transpakuan, banyak warga mulai beralih ke jenis transportasi terintegrasi ini.
Biskita sebagai angkutan massal yang nyaman, bersih dan terjangkau, telah punya banyak pelanggan sejak dioperasikan pada November 2021. Keberadaannya membuat warga Bogor tak perlu lagi khawatir dengan asap rokok, pengamen, hingga ancaman copet saat menggunakan transportasi umum. Dalam cacatan PT Kodjari Tata Angkutan, sebagai operator Biskita Transpakuan, jumlah penumpang mencapai 11 ribu orang per hari (2022).
Sayangnya bus andalan warga Bogor ini berhenti beroperasi sepanjang bulan Januari 2025. Dari keterangan Dinas Perhubungan (Dishub) kota Bogor pada akhir Desember 2024, pemberhentian operasional Biskita lantaran adanya evaluasi pelaksanaan di tingkat Kementerian Perhubungan. Wacana pengalihan pengelolaan Biskita dari Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) pusat ke Pemerintah Kota Bogor juga mengemuka.
Setelah beberapa kali batal diserahterimakan ke Pemkot Bogor, akhirnya Kemenhub mengetok palu pengelolaan Buskita dialihkan menggunakan dana APBD kota Bogor mulai 2025.
Namun ketersediaan dana APBD untuk Biskita dianggap tidak mencukupi. Kadishub Kota Bogor, Marse Hendra Saputra mempredisksi alokasi Rp10 miliar dari APBD tidak akan cukup untuk operasional satu tahun (Tribunnews, 15/01/2025). Sebab biaya operasional Biskita mencapai Rp54 miliar pertahunnya untuk 4 koridor. Wajar jika warga Bogor mengkhawatirkan bagaimana kelanjutan nasib Biskita.
Skema Buy The Service
Biskita Transpakuan merupakan bagian dari program subsidi transportasi massal oleh Pemerintah Pusat dengan skema Buy The Service (BTS). Sesuai akronimnya, Buy The Service merupakan skema pembelian layanan angkutan massal perkotaan oleh Pemerintah kepada operator. Skema ini dianggap perwujudan amanat UU 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. BPTJ Kemenhub selama ini jadi pengelola Program BTS.
BTS menjadi solusi kebutuhan layanan transportasi publik bagi masyarakat perkotaan. Layanan penyelenggaraan bus dengan skema BTS ditujukan sebagai pengumpan dari dan menuju transportasi massal. Sehingga masyarakat perkotaan akan beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi publik yang terintegrasi, dan dapat menurunkan tingkat kemacetan hingga polusi udara di perkotaan. Hingga 2024, layanan BTS telah hadir di 14 kota, berupa Teman Bus dan Biskita.
Melalui mekanisme BTS, pemerintah yang diwakili Kemenhub menyubsidi tarif angkutan dengan melakukan pembelian layanan kepada operator (swasta) melalui mekanisme lelang. Diharapkan dengan adanya BTS layanan transportasi publik akan sesuai Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang memenuhi aspek kenyamanan, keamanan, keselamatan, keterjangkauan, kesetaraan, serta aspek kesehatan.
Kemenhub mengalokasikan anggaran BTS secara nasional Rp444,69 miliar pada tahun 2024. Anggaran ini mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar Rp 625,67 miliar. Kebijakan rasionalisasi anggaran di seluruh Kementerian oleh Pemerintah Pusat pada 2025, turut berdampak pada pengurangan sejumlah program di Kemenhub. Imbasnya pendanaan Biskita Transpakuan dihentikan mulai 2025, dan dialihkan ke APBD Bogor (Antaranews, 15/01/2025).
Kisruh Tata Kelola Transportasi
Sebagai pilot project, program BTS hanya bersifat sementara, yaitu dari 2021-2023. Anggaran dari Pusat tidak dirancang bisa seterusnya membiayai operasional BTS. Pemerintah Daerah diminta bersiap mengambil alih dan menganggarkan dari APBD masing-masing.
Tercatat 11 daerah telah mandiri mengelola transportasi massalnya, seperti Trans Koetaradja (Aceh), Trans Padang, Trans Metro Pekanbaru, dan Tayo (Kota Tangerang), Trans Semarang, Trans Jateng, Trans Jogja , Trans Jatim, Surabaya Bus, Trans Banjarmasin, Trans Banjarbakula (Kalsel) (Tempo, 06/06/2024).
Namun kelangsungan pembiayaan di daerah akan sangat tergantung pada keputusan masing-masing Kepala Daerah, bisa saja sewaktu-waktu dihentikan atau dikurangi. Bisa karena pergantian Kepala Daerah, maupun alasan skala prioritas pembiayaan lainnya, seperti terjadi di Palembang, saat layanan Trans Musi harus berhenti beroperasi pada tahun 2022.
Pemkot Bogor sejak pertengahan 2024 telah dua kali menyatakan kesanggupannya mengelola Biskita mulai 2025 dalam surat yang dikirimkan ke BPTJ. Namun di akhir tahun Pemkot menyatakan belum mampu, dan meminta bantuan dana pusat kembali. Ketidakjelasan sikap tersebut berimbas pada belum siapnya anggaran operasional di awal 2025, dan layanan bus terpaksa dihentikan.
Meski kini sudah diketok palu, masalah lain muncul karena DPRD kota Bogor hanya menganggarkan total Rp10 miliar untuk operasional sepanjang 2025, nilai tersebut hanya 0,33% dari APBD kota Bogor yang mencapai Rp3 triliun. Sementara kebutuhan anggaran operasional Biskita mencapai Rp54 miliar/tahun untuk 4 koridor. Padahal di Padang dengan APBD tidak sampai Rp2 triliun, Pemda berani mengalokasikan Rp40 miliar untuk 6 koridor Trans Padang pada 2023.
Belum lagi PP 35/2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta Permendagri 15/2024 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2024, mengamanatkan pajak kendaraan bermotor minimalnya 10% digunakan untuk peningkatan moda dan sarana transportasi umum. Jika Bapeda Bogor bisa menargetkan penerimaan pajak kendaraan sebesar Rp250 miliar pada 2025, seharusnya minimal Rp25 miliar bisa dialokasikan untuk Biskita.
Ketidakmampuan pengelolaan finansial Pemkot dapat berimbas tidak berjalannya program secara optimal dan berkelanjutan. Sehingga komitmen dan kejelasan terkait anggaran daerah untuk keberlanjutan program di masa mendatang masih dipertanyakan.
Banyak wacana mengemuka agar Biskita bisa kembali melaju di jalanan, di antaranya mengurangi koridor layanan dari 4 menjadi 2 koridor untuk memangkas biaya operasional. Wacana lainnya berupa penghapusan subsidi tarif. Tanpa subsidi, tarif yang semula Rp4000 akan menjadi Rp14.000. Pastinya minat masyarakat akan terpengaruh. Jika tarif naik, penumpang akan lebih memilih angkot yang lebih murah atau ojek online yang lebih fleksibel. Tujuan mewujudkan transportasi publik yang terintegrasi bisa kembali ambyar.
Mewujudkan Transportasi Publik yang Nyaman dan Terjangkau
Transportasi publik jadi salah satu indikator untuk menilai kelayakan huni sebuah kota. Bagi sebuah kota besar kebutuhan transportasi publik yang terintegrasi mutlak dibutuhkan untuk menunjang mobilitas masyarakat yang tinggi. Keberhasilan pengelolaan sebuah kota dapat dilihat dari banyaknya masyarakat menggunakan transportasi publik dibanding kendaraan pribadi.
Mewujudkan transportasi publik yang nyaman, aman, efektif tentu membutuhkan anggaran yang besar, di samping keseriusan pengelolaannya. Tak hanya biaya penyediaan armada, hal lain seperti jenis bahan bakar, rute jalan, halte, kantong parkir, hingga keterhubungan dengan titik-titik strategis ekonomi, jelas memerlukan strategi jangka panjang yang terintegrasi antar pemangku kepentingan di Pusat maupun Daerah. Sehingga program BTS oleh Pemerintah Pusat harus sejalan dengan master plan perencanaan dan pengembangan angkutan umum di daerah, bukan satu arah.
Masalahnya di kota Bogor, Pemkot belum memiliki Rencana Induk Transportasi. Hal tersebut diungkap Anggota Komisi II DPRD, Akhmad Saeful Bakhri (JPPN, 16/01/25). Permasalahan Biskita pada akhirnya muncul karena rencana program penataan transportasi tidak dilandasi dengan kajian rencana induk pengembangan transportasi yang jelas. Problem transportasi kota Bogor sebelumnya pun masih tersisa seperti penataan angkot yang belum tuntas. Padahal Bima arya pernah berujar saat masih menjadi Walikota Bogor, angkot akan digantikan sepenuhnya oleh Bus pada Desember 2023.
Skema BTS juga tak lepas dari kritik. Jika tujuan dari BTS adalah pelayanan transportasi publik maka yang harus didahulukan adalah jaminan keberlanjutan. Bagaimana pun transportasi adalah kebutuhan rutin harian. Komitmen pendanaan mutlak diperlukan untuk keberlanjutan program. Pemerintah Pusat maupun Daerah selayaknya terjun langsung hingga ke aspek teknis pengelolaannya, bukan sebatas melakukan tender dengan swasta, dan selesai. Operasional yang dikerjakan sendiri akan bisa menekan pembiayaan. Apakah pemerintah dalam hal ini tidak yakin pada kemampuannya sendiri?
Program BTS dari Pusat yang seakan berjalan satu arah, dengan ketidakseriusan pengelolaan transportasi di daerah, jadi kombinasi sempurna yang mengakibatkan buruknya tata kelola transportasi publik.
Permasalahan transportasi perlu dilihat secara komprehensif dan tidak parsial sebatas Biskita. Transportasi merupakan hak masyarakat yang harus dijamin oleh negara. Penjaminan pelayanannya merupakan tugas negara secara berkelanjutan. Dengan pandangan demikian, setiap program yang dibuat, dana yang dianggarkan, hingga eksekusi yang berkelanjutan, akan dirancang sedemikian rupa untuk mewujudkan transportasi publik yang layak sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat. Jauh dari perhitungan untung-rugi.
Pertanyaannya mungkinkah pelayanan transportasi demikian bisa terwujud di negeri kita, jika angka korupsi uang negara sudah mencapai 3 digit triliun rupiah? Bisakah kita berharap pada sumber pendapatan APBN dari pajak, sementara kondisi ekonomi para wajib pajak yang kebanyakan adalah skala UMK pun sedang tak baik-baik saja? Bagaimana dengan fokus pemerintah, jika program strategis yang dieksekusi hanya untuk mewujudkan janji politik semata, bukan apa yang benar-benar dibutuhkan masyarakat?
Alhasil masalah transportasi publik tak bisa berdiri sendiri, melainkan permasalahan sistemik yang juga menyangkut aspek ekonomi, politik, hingga sosial.
Teringat seorang Umar bin al-Khaththab ra. tatkala beliau menjadi kepala negara pernah berujar; “Seandainya, ada seekor keledai terperosok di Kota Bagdad karena jalan rusak, aku khawatir Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban diriku di akhirat nanti.”
Demikianlah seharusnya mindset seorang pemimpin dalam pengelolaan kebutuhan masyarakat. Tugasnya dalam pengurusan urusan umat senantiasa terhubung dengan nuansa ukhrowi, sebagai bentuk pertangungjawaban amanah kepemimpinan yang diembannya.
Tentunya keterhubungan tersebut haruslah dimulai dari hulu, yaitu pengelolaan anggaran negara yang sesuai dengan tuntunan Islam, bukan mengandalkan pajak. Salah satu tuntunan Islam dalam pengelolaan sumber daya alam tidak diserahkan kepada swasta, karena SDA merupakan kepemilikan umum yang menjadi hak semua warga negara. Pengelolaannya di tangan negara untuk pelayanan kebutuhan masyarakat, bukan bisnis. Jika pun negara berkolaborasi dengan swasta tentu saja dengan mekanisme yang sesuai.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.