Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image gregoria amelia

Papua dan Hak Asasi Manusia: Antara Konflik, Ketidakadilan, dan Harapan

Politik | 2025-01-07 10:30:15

Tanah Papua, wilayah yang kaya akan keindahan alam serta sumber dayanya, tanpa kita sadari telah lama menjadi panggung bagi panasnya dinamika politik di Indonesia. Di balik rumpunan kekayaan alam nya yang memukau, ternyata malah menjadi saksi bisu dari kisah panjang tentang konflik ketidakadilan serta pelanggaran hak asasi manusia yang menjadi luka pilu bagi masyarakat Papua.

Jika kita melakukan kilas balik, Papua kembali menjadi bagian dari Indonesia di tahun 1969 melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Hal ini memicu kontroversial dari berbagai permasalahan fundamental yang masih belum menemukan solusi secara adil dan bermartabat.

Hak asasi manusia merupakan hak-hak yang dimiliki oleh setiap individu berdasarkan nilai-nilai universal yang berlaku di masyarakat, seperti keadilan, kebebasan, dan kesetaraan. Di mana, HAM menjadi instrumen untuk menjaga kebebasan individu dan tanggung jawab sosial agar tetap seimbang. Dalam konteks hukum di Indonesia, pengaturan mengenai HAM tercantum di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang menggarisbawahi bahwa hak yang melekat pada masing-masing diri manusia wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi perlindungan harkat martabat manusia.

Jika dihitung semenjak Pepera diadakan pada tahun 1969, sudah banyak pelanggaran HAM yang terjadi di tanah Papua, misalnya

 

  • Pelanggaran terhadap Hak Hidup

Adapun maraknya kasus pembunuhan dan penyiksaan warga sipil tak bersalah yang sering menjadi korban dalam konflik antara aparat keamanan dan kelompok bersenjata, seperti kasus Wasior (2001), dan kasus Nduga (2018-2020).

 

  • Pelanggaran terhadap Hak atas Kebebasan Berpendapat dan Ekspresi

Banyak dari aktivis, mahasiswa, serta jurnalis yang sering mengalami intimidasi, penangkapan, dan penyiksaan ketika menyuarakan isu di Papua.

 

  • Pelanggaran terhadap Hak atas Kesejahteraan dan Tanah Adat

Banyak wilayah adat digunakan untuk kepentingan perusahaan tambang, kelapa sawit, atau infrastruktur tanpa persetujuan dari masyarakat adat. Hal ini memicu polemik karena banyak dari warga sekitar yang tereksploitasi sumber dayanya serta dirugikan dengan maraknya pengadaan lahan sawit serta pertambangan. Adapun contohnya adalah eksploitasi tambang emas oleh PT Freeport Indonesia yang dilakukan sejak 1967 dengan pelanggaran HAM seperti perampasan tanah adat, ketimpangan ekonomi masyarakat, serta pencemaran lingkungan.

 

  • Pelanggaran terhadap Hak atas Rasa Aman

Adapun militerisasi yang berlebihan dari pihak pemerintah guna mempertahankan wilayah serta kesatuan Indonesia justru malah dianggap sebaliknya oleh masyarakat sipil. Adapun doktrin menakut-nakuti yang diberikan oleh kelompok bersenjata terkadang membuat masyarakat memiliki kesalahpahaman serta menjaga jarak dengan pihak militer, yang seharusnya menjadi sahabat bagi mereka. Hal ini pernah terjadi di Nduga, Intan Jaya, dan Puncak, di mana operasi militer yang dianggap berlebihan menyebabkan ribuan warga mengungsi dan tinggal dalam kondisi memprihatinkan.

 

  • Diskriminasi dan Rasisme Sistemik

Tidak jarang, orang Papua seringkali dipandang lebih rendah dibanding kelompok lain, yang menyebabkan ketidakadilan dalam pelayanan publik, pendidikan, serta pekerjaan. Hal ini tentunya bertentangan dengan penerapan nilai-nilai Pancasila yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa.

 

  • Pelanggaran terhadap Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya

Walaupun masyarakat Papua kaya akan sumber daya alam, masyarakat lokal sering tidak mendapatkan timbal baliknya. Sebagian besar dari pendapatan perusahaan tambang serta gas alam justru malah dimanfaatkan oleh pihak eksternal, demi keuntungan semata. .

Minimnya akses terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan juga disebabkan karena pembangunan yang tidak merata serta infrastruktur yang buruk. Padahal, pelayanan dasar merupakan aspek penting dalam memajukan sumber daya manusia di Papua. Hal ini juga tidak memungkiri bahwa terkadang ada partisipasi dari kelompok bersenjata yang menghambat pemerataan pembangunan.

Pembakaran sekolah oleh kelompok bersenjata di Beoga tahun 2021. (Dokumentasi Pribadi)

 

  • Pelanggaran terhadap Hak Anak dan Perempuan

Perempuan Papua kerap kali mengalami kekerasan, termasuk kekerasan seksual baik dalam konflik maupun kehidupan sehari-hari. Dan mirisnya, terkadang orang terdekat mereka lah yang melakukan tindakan tersebut. Anak-anak juga terkena imbasnya, karena adanya konflik di tengah masyarakat yang berpengaruh dalam penyediaan akses pendidikan bahkan menyebabkan trauma psikologis.

 

  • Upaya Penyelesaian yang Terhambat

Kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyelidikan kasus pelanggaran HAM berpengaruh dalam kehidupan masyarakat sipil di sana hingga saat ini. Pemerintah sudah mengupayakan berbagai hal, mulai dari strategi secara militer hingga melakukan pendekatan terhadap warga guna mendapatkan hati masyarakat. Adanya tekanan politik yang memanas dan intervensi dari pihak luar juga ikut ambil bagian dalam penyebab lambatnya penyelesaian kasus HAM di tanah Papua.

Situasi pelanggaran HAM di Papua menggambarkan adanya kompleksitas hubungan antara negara dan masyarakat sipil yang masih memerlukan pendekatan lebih inklusif serta adil. Penyelesaian konflik ini tidak sekedar menjaga keutuhan wilayah oleh pihak militer saja, akan tetapi tentang bagaimana menghormati martabat manusia, melindungi hak-hak dasar, serta memastikan keadilan bagi seluruh masyarakat Papua serta pendatang yang ada di sana. Tentunya, dalam mewujudkan hal tersebut diperlukan kerjasama antar masyarakat dan pemerintah guna menciptakan Papua yang damai, bermartabat, serta sejahtera, dimana setiap individu memiliki rasa “self belonging” serta dihargai sebagai bagian utuh dari bangsa Indonesia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image