Merajut Mimpi di Balik Cahaya: Catatan Harian Calon Radiografer
Momen | 2025-01-04 20:18:13Sinar-X menembus keheningan ruangan, meninggalkan jejak bayangan pada layar monitor. Saya terpaku menatap proses yang sedang berlangsung di hadapan saya. Sebagai mahasiswa baru semester satu yang baru saja mengikuti Pembelajaran Dasar Bersama (PDB), kunjungan lapangan ke instansi radiologi di salah satu rumah sakit membuka mata saya tentang dunia yang akan saya tekuni.
"Bu, tangan saya mau diapain? Sakit nggak?" tanya seorang anak sambil merengek, suaranya bergetar saat akan menjalani pemeriksaan. Meski saya hanya berperan sebagai pengamat, pertanyaan sederhana itu mengingatkan bahwa profesi yang saya pilih ini bukan sekadar tentang mengoperasikan mesin.
Menjadi calon radiografer bukanlah pilihan yang mudah. Disaat teman-teman berbondong-bondong memilih jurusan kedokteran atau keperawatan, saya justru mengambil jalan yang berbeda. "Kok milih radiologi? Memangnya nanti kerja apa?" Pertanyaan ini kerap muncul sejak saya mengumumkan pilihan jurusan saya, bukan hanya di kalangan teman-teman, tetapi juga datang dari kerabat sendiri.
Meski saya baru menjalani semester pertama kuliah dan belum terlalu mendalami mata kuliah khusus radiologi, kegiatan kunjungan singkat ke rumah sakit memberikan gambaran nyata tentang profesi ini. Saya mengamati bagaimana radiografer bekerja dengan teliti, mengatur posisi pasien, serta memastikan setiap prosedur berjalan dengan aman.
Selama melakukan observasi sehari itu, saya melihat langsung bagaimana radiografer harus kreatif dengan peralatan yang tersedia. Meskipun belum memahami detail teknis tentang peralatan radiologi, saya bisa merasakan dedikasi para radiografer dalam memberikan pelayanan terbaik dengan sumber daya yang ada.
Yang paling menarik perhatian saya adalah interaksi radiografer dengan pasien. Mereka tidak hanya fokus pada aspek teknis, tetapi juga memperhatikan kenyamanan pasien. Saya menyaksikan bagaimana seorang radiografer dengan sabar menjelaskan prosedur pemeriksaan kepada pasien lansia yang tampak cemas dan pasien anak yang merengek ketakutan.
Meski belum masuk ke mata kuliah program studi dan masih berkutat dengan mata kuliah dasar, pengalaman observasi ini memperkuat keyakinan saya akan pilihan jurusan. Saya mulai memahami bahwa menjadi radiografer bukan sekadar "tukang foto" seperti anggapan kebanyakan orang.
Dari pengamatan singkat ini, saya belajar bahwa teknologi memanglah penting, tetapi keahlian berkomunikasi dan empati tidak kalah penting. Melihat langsung praktik di lapangan membuat saya semakin antusias menantikan semester-semester berikutnya, di mana saya akan mulai mempelajari teknik dan teori radiologi secara lebih komprehensif.
Selama perjalanan pulang dari rumah sakit, pikiran saya dipenuhi berbagai pertanyaan tentang mata kuliah yang akan saya hadapi nanti. Meskipun saat ini masih fokus pada mata kuliah dasar seperti Komunikasi Kesehatan dan Layanan Dasar Kesehatan (KOMKES), Etika dan Hukum Kesehatan (ETIK), dan sebagainya, saya mulai membayangkan bagaimana pengetahuan dasar ini akan menjadi pondasi yang penting dalam memahami prinsip-prinsip radiologi nantinya.
Di semester satu ini, saya dan teman-teman seangkatan masih seperti penjelajah yang mengintip dari kejauhan. Kami mengamati senior-senior yang sudah praktik dengan peralatan canggih, sambil membayangkan suatu hari nanti kami juga akan berada di posisi mereka. Meski belum mengerti detail tentang CR, DR, atau modalitas lainnya, antusiasme saya untuk belajar di semester-semester berikutnya terus membara.
Saya ingat bagaimana materi anatomi dan fisika dasar yang sedang saya pelajari mulai terasa relevansinya ketika melihat prinsip-prinsip radiasi di rumah sakit. Konsep-konsep yang tadinya abstrak dalam buku teks perlahan mulai menemukan konteksnya di dunia nyata. Meski belum sepenuhnya paham, istilah-istilah teknis yang saya dengar selama field trip mulai memicu rasa ingin tahu yang mendalam.
Pengalaman observasi singkat ini juga membuka mata saya tentang pentingnya persiapan fisik dan mental sebagai calon radiografer. Melihat para radiografer yang senantiasa bergerak dengan sigap namun tetap presisi, menghadapi berbagai tipe pasien, dan bekerja dengan tim medis lainnya, membuat saya sadar bahwa profesi ini memerlukan lebih dari sekadar kemampuan akademik.
Di kelas PDB, saat berdiskusi dengan teman-teman dari jurusan kesehatan lainnya, saya sering membagikan pengalaman observasi ini. Mereka terkejut mendengar kompleksitas pekerjaan radiografer yang sebenarnya. "Kukira cuma pencet tombol aja," komentar seorang teman, yang menunjukkan betapa profesi ini masih sering disalahpahami.
Saat ini, sambil menjalani rutinitas kuliah semester satu, saya mulai mengumpulkan berbagai informasi tentang perkembangan teknologi radiologi dari artikel-artikel online dan cerita para senior. Meski masih jauh dari praktik langsung, setiap informasi baru bagaikan kepingan puzzle yang perlahan membentuk gambaran utuh tentang profesi yang saya impikan.
Pengalaman field trip sehari itu mungkin singkat, tetapi dampaknya sangat berarti bagi saya sebagai mahasiswa baru. Pengalaman itu menjadi kompas yang mengarahkan langkah saya di awal perjalanan ini, memberikan konteks nyata terhadap teori-teori dasar yang sedang dipelajari, dan yang terpenting, meneguhkan pilihan saya untuk menekuni bidang radiologi.
Sebagai mahasiswa baru, saya sadar bahwa masih panjang jalan yang harus ditempuh. Namun, setelah kunjungan lapangan ini, saya semakin yakin dengan pilihan saya. Di balik setiap gambar pencitraan yang nantinya akan saya hasilkan, ada kisah manusia yang perlu dipahami, ada harapan yang perlu dijaga, dan ada kehidupan yang perlu diperjuangkan.
Ketertarikan saya pada dunia radiologi semakin bertambah setelah mengetahui bahwa di era digital ini teknologi terus berkembang pesat. Dari percakapan dengan senior dan artikel yang saya baca, saya mengerti bahwa nantinya saya tidak hanya akan mempelajari X-ray konvensional, tetapi juga berbagai modalitas canggih seperti CT-Scan, MRI, dan USG. Meskipun saat ini masih berkutat dengan mata kuliah dasar, bayangan tentang kompleksitas dan dinamika profesi ini justru membuat saya semakin bersemangat untuk terus belajar.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.