Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Mohammad Hafid

Memberantas Kekerasan Seksual Dalam Dunia Pendidikan

Eduaksi | Thursday, 17 Feb 2022, 22:53 WIB

Cand. Dr. Moh. Hafid, Lc., M.H.*

Sepanjang tahun 2021 kemaren, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) setidaknya mencatat ada 8.800 kasus kekerasan seksual yang terjadi dalam kehidupan masyarakat diberbagai tempat. Ada dipasar, jalanan, pertokoan, gang, perkantoran, tempat kerja bahkan dilembaga pendidikan. (cnnndonesia.com/kekerasanseksual)

Lihatlah, kasus yang melanda baru-baru ini! Bikin kita nyesek dan cukup tertampar. Bagaimana tidak, seorang yang diduga pimpinan pesantren bisa melakukan kekerasan seksual berupa pemerkosaan terhadap 21 santrinya (liputan6.com). Kekerasan seksual yang dilakukannya mengakibatkan lahirnya sembilan bayi. (cnnndonesia.com/kekerasanseksual)

Kekerasan seksual sebetulnya tidak hanya terjadi di pendidikan menengah kebawah, dalam pendidikan tinggi juga seringkali kita dapati ada oknum dosen atau pimpinan kampus melakukan kekerasan seksual. Misalkan, kasus yang terjadi di Universitas Negeri Riau. Seorang mahasiswi saat melakukan bimbingan skripsi dijadikan kesempatan untuk mealakukan aksi seksualnya. (Kompas.com/pelecehanseksual)

Hasil survei tahun 2019 terkait pelecehan seksual di ruang publik menjadi bukti nyata masih meningginya kasus pelecehan seksual. Koalisi Ruang Publik Aman menemukan lingkungan sekolah dan kampus menduduki urutan ketiga lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual (15%), jalanan (33%) dan transportasi umum (19%). (https://www.bbc.com/ 8/11/ 2021)

Damaira Pakpahan, selaku Aktivis Perempuan, memberikan pernyaatan bahwa kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual di kampus-kampus di Indonesia selama berpuluh tahun "tersembunyi di bawah karpet" karena kuatnya relasi kuasa para pelaku dan tak ada payung hukum. Salah satu contohnya yang pernah terjadi di Universitas Riau oleh seorang dosen pembimbing skripsi. (https://www.bbc.com/ 8/11/2021)

Dilansir Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tahun 2020, pada kanal lembaga negara tahun 2015-2020, sebanyak 27 persen kekerasan seksual terjadi di semua jenjang pendidikan tinggi. Sementara itu, berdasarkan 174 testimoni dari 79 kampus di 29 kota, sebanyak 89 persen perempuan dan 4 persen laki-laki menjadi korban kekerasan seksual. Sebanyak 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63 persen dari korban tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus. (Kominfo.go.id)

Secara umum, kekerasan seksual tidak saja terjadi pada zaman kita sekarang. Pada jaman Rasulullah saw pun juga tidak jarang nampak dipermukaan. Misalnya, kasus- kasus budak-budak perempuan yang dipaksa melacurkan diri (An-Nur:33). Kasus-kasus perempuan yang dighasab atau dikuasai tubuhnya. Kasus-kasus perempuan yang diposisikan dalam kondisi terdesak. (Imam Nakha’i 2021)

Pengertian, Jenis dan Motif Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual dalam wikipedia didefinisikan dengan tindakan yang mengarah pada ajakan seksual tanpa persetujuan (wikipedia.com. Pengertian semacam ini bukan menafikan berarti menghalalkan perzinahan. Ini murni ingin membicarakan terkait tindakan kekerasan yang mengarah pada perbuatan seksual. Bukan pada pembicaraan perzinahan. Karena jelas, perzinahan sudah tidak dapat digangu gugat keharamannya.

Kemudian, sebagaimana penuturan Komnas Perempuan, ada 15 macam kekerasan seksual yang dilakukan oleh masyarakat. 1) pemerkosaan; 2) intimidasi seksual; 3) pelecehan seksual; 4) eksploitasi seksual; 5) perdagangan perempuan; 6) prostitusi paksa; 7) perbudakan seksual; 8) pemaksaan perkawinan; 9) pemaksaan kehamilan; 10) pemaksaan aborsi; 11) pemaksaan kontrasepsi atau sterilisasi; 12) penyiksaan seksual; 13) penghukuman tidak manusiawi yang bernuansa seksual; 14) praktik tradisi bernuansa seksual dan 15) kontrol seksual. (Tempo.co.id/kekerasan seksual)

Alasan kenapa manusia bisa melakukan kekerasan seksual? Biasanya orang mudah melakukan kekerasan seksual jika dia memiliki keriteria sebagaimana berikut: 1) ketemu korban yang mudah ditaklukkan; 2) memiliki hasrat seks yang tidak tersalurkan; 3) pernah memiliki riwayat kekerasan seksual; 4) pernah menyaksikan kekerasan saat masih kecil; 5) memiliki otoritas atas korban; 6) memiliki ideologi patriarki; 7) ketergantungan terhadap obat-obatan terlarang; 8) sering nonton atau membaca konten porno; 9) korban memiliki fantasi seksual; 10) tidak dekat dengan keluarga dan 11) adanya kemiskinan. (m.klikdokter.com)

Solusi dan Tanggapan Pemerintah

Pemerintah merespon adanya kekerasan seksual yang tak kunjung usai bahkan selalu berkembang ini dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. PERPU 1/2016 ini kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tanggal 9 November 2016 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut dengan UU 17/2016).

Isi dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2016 adalah mengatur pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak yaitu hukuman pidana mati, seumur hidup, dan maksimal 20 tahun penjara serta pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku. Tidak cukup itu, pelaku juga dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan pendeteksi elektronik.

Cara untuk menangulangi tindak kekerasan seksual bisa dilakukan dengan dua macam cara. Pertama, penggunaan jalur hukum (penal). Kedua dilakukan dengan cara diluar jalur hukum (non penal). Untuk melakukan jalur yang pertama dapat dilihat dalam kebijakan-kebijakan hukum tentang pemberian saksi pidana terhadap para pelaku tindak kekerasan seksual. Diantaranya dapat dilihat dalam pasal 287, Pasal 288, Pasal 291, Pasal 292, Pasal 294, serta Pasal 298.

Cara lainnya sebetulnya bisa dilakukan dengan selalu mawas diri, tegas, melakukan perlawanan, edukasi, membantu korban( kemendikbud.com). Bisa juga menghubungi pihak berwajib, membuka diri pada keluarga serta teman, membekali diri dengan pendidikan seksual dan tidak pergi dengan orang yang baru dikenal. (beautynesia.id)

Kemudian dalam secara khusus dalam dunia pendidikan, pesantren atau pun perguruan tinggi, Nuzul Qur’aini Mardiya menyebutkan bahwa akar kekeraan seksul terhadap perempuan terletak pada ketimpangan relasi kuasa anatara pelaku dan korban. Makskudnya adalah adanya ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan yang seringkali diperparah saat laki-laki memiliki kendali terhadap perempuan. Kendali ini bisa berbntuk sumber daya seperti, pengetahuan, ekonomi dan status sosial. Ia juga bisa berbentuk petron-klien atau feodalisme seperti orangtua-anak, majikan-buruh, guru-murid, tokoh masyarakat-warga dan kelompok bersenjata/aparat-penduduk sipil.

Dalam dunia perguruan tinggi, lahirnya Permendikbudristek 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) perlu didukung dan diapresiasi. Karena bagaimanapun, tujuannya sangat baik dan menandakan rasa empatinya negara terhadap korban kekerasan seksual yang beberapa tahun ini marak terjadi di perguruan tinggi khususnya.

Dari sini jelas, Permendikbudristek 30 kelihatan urgensi dan kemanfaatannya. Jika tidak dikelurkan berarti sama saja pemerintah mendiamkan dan masa bodoh terhadap kasus-kasus pelecehan seksual khususnya di dunia pendidikan. Tetap saja, guru, dosen dan yang memiliki jabatan di instansi penddikan merasa aman dan nyaman. Sehingga akan leluasa melakukan pelecehan seksual dengan kedok kekuasaan. Sehingga frasa “tanpa persetujuan” yang ada dalam Permendikbudristek 30 diatas sanga memainkan peranannya, sebagaimana berikut:

(b.) memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban;

(f.) mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;

(g.) mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;

(h.) menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan;

(j.) membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban;

(i.) menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban;

(m.) membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban.

Sebetulnya, faktor-faktor diatas bisa terjadi jika tingkat keimanan dan ketakwaan seseorang melemah. Sehingga, dia merasa bebas dan tidak diawasi oleh Tuhan yang maha esa. Seseorang yang tingkat keimanan dan ketakwaan sangat melemah, maka akan mudah melakukan kekerasan seksual jika beberapa faktor diatas tampil dalam ruang kehidupannya. Misalnya, guru, ustaz, kiai dan orang yang memiliki kekuasaan, akan sangat mudah melakukannya terhadap bawahannya, jika keimanan dan ketakwaannya melemah.

Ini mengacu pada sabda baginda Nabi besar Muhammad Saw. Bahwa seseorang tidak akan pernah melakukan perzinahan dan segala hal yang mengarah pada prilaku seksual serta juga tidak pernah melakukan pencurian, jika saat itu dia sedang beriman. Ini jelas, akarnya terletak pada sisi keimanan dan ketakwaan yang sangat rapuh. Sehingga tidak bisa menjadi kontrol dan filter dari tindakan-tindakan yang buruk dan memalukan.

Tidak pandang bulu, jika keimanan dan ketakwaan ini sudah tidak menjadi kontrol diri seseorang, jelas apalagi orang awam, ustaz, guru, dosen bahkan kiai sekalipun akan mudah menjadi pelaku kekerasan seksual. Ustaz, guru, dosen dan kiai dipandang lebih berpotensi melakukannya. Karena mereka tidak bisa dipungkiri memiliki kekuasaan penuh terhadap anak didik dan santrinya.

Tindakan semacam ini merupakan tindakan yang sangat menciderai dunia pendidikan. Tapi perlu diingat, bahwa ini tentunya kembali pada person dan pribadinya. Kita tidak usah terlalu menyalahkan lembaga pendidikam ataupun pesantrennya. Disamping juga kita jangan terlalu mudah menilai jelek dan mengeneralisi, hingga menyamaratakan semua lembaga pendidikan dan pesantren sama saja. Jangan!

Maka, kembali pada metode akar, yang perlu menjadi kata kunci adalah bagaimana bisa menghilangkan ketimpangan relasi antara yang kuat dan yang lemah. Hal semacam ini disamping penanggulangan diatas, perlu menjadi perhatian serius oleh pihak pendidikan. Para pelaku jangan kasih ampun, kalau perlu dipecat dan dipermalukan disamping dibawa pada jalur hukum. Yang paling dangkal tentunya adalah bagaimana melakukan penanaman keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia terhadap para pimpinan pendidikan, guru dan juga murid.

*Mahasiswa Doktoral UIN Maulana Malik Ibrahim Malang & Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Syariah As Salafiyah Sumber Duko Pamekasan

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image