Profesionalitas dan Malpraktik di Dunia Medis: Kasus Dokter Gadungan Susanto
Info Terkini | 2025-01-01 08:22:37Pada April 2020 Susanto melamar pekerjaan dan mengikuti seleksi sebagai dokter umum yang dibuka oleh PT Pelindo Husada Citra (PHC). Susanto sendiri hanya memiliki ijazah SMA dan mendapatkan ilmu kesehatan secara otodidak melalui internet atau bertanya kepada teman. Perekrutan dilakukan dengan seleksi administrasi serta wawancara yang digelar secara virtual. Untuk memenuhi kriteria dari posisi yang ia incar, Susanto menelusuri internet dan mengambil identitas serta data-data milik dr Anggi Yurikno. Dokumen seperti ijazah ia scan kemudian diganti foto korbannya menggunakan potret dirinya, lalu mengirim lamarannya via email. Seluruh data ini diambil dari website Fullerton dan Facebook. Data yang ia palsukan terdiri dari; CV yang berisikan Surat Izin Praktek (SIP), Ijazah Kedokteran, KTP, dan Sertifikat Hiperkes.
Setelah lolos semua seleksi, Susanto akhirnya menjadi dokter di Klinik Occupational Health and Industrial Hygiene (OHIH), tepatnya di Klinik K3 PT Pertamina EP IV Cepu selama dua tahun per tanggal 15 Juni 2020 hingga 31 Desember 2022 dengan upah sebesar Rp 7,5 juta. Penyamaran Susanto akhirnya terbongkar saat pihak Rumah sakit berencana memperpanjang kontraknya. Salah satu pegawai rumah sakit, Ika Waati, meminta Susanto mengirimkan berkas-berkas seperti Berkas-berkas itu mulai dari FC Daftar Riwayat Hidup (CV), FC Ijazah, FC STR (Surat Tanda Registrasi), FC KTP, FC Sertifikat Pelatihan, FC Hiperkes, FC ATLS, sampai FC ACLS atas nama dr Anggi Yurikno.
Susanto kemudian mengirim berkas tersebut kepada Ika Wati melalui WhatsApp. Pihak rumah sakit melakukan pengecekan di website resmi. Dari penelurusan tersebut, ditemukan kejanggalan dan terungkap bahwa Susanto bukan dr Anggi Yurikno yng ternyata bekerja di Rumah Sakit Umum karya pangalengann Bhakti Sehat, Bandung. Temuan inipun dilaporkan ke polisi hingga akhirnya Susanto ditangkap. Diketahui, Susanto sempat menerima pembayaran gaji dari PT PHC Surabaya sebanyak 35 kali yang dibayarkan dengan cara transfer.
Terdapat beberapa faktor yang mendukung, diantaranya adalah penyalahgunaan informasi. Kemudahan informasi ini dapat dilihat sebagai celah untuk disalahgunakan oleh pihak – pihak tertentu. Susanto sendiri mendapakatkan bekalnya untuk menjadi dokter gadungan dari informasi yang ia dapatkan dari internet seperti YouTube. Selain itu juga terdapat kemajuan teknologi sebagai salah satu faktor. Diketahui Susanto mengambil data dari seorang dokter di Kabupaten Bandung, lalu discan dan merubah foto dokumen menjadi potret dirinya. Hal ini semakin mempermudahnya untuk diterima bekerja karena kemampuannya untuk menunjukkan Surat Tanda Registrasi (STR) dokter yang sudah terdaftar di Konsil Kedokteran Indonesia (KKI)
Lalu juga ada proses seleksi dari pihak rumah sakit yang kurang ketat Di dalam proses seleksi terdapat tahapan kredensialing, yaitu proses evaluasi (memeriksa dokumen dari pelamar), wawancara, dan ketentuan lain sesuai dengan kebutuhan rumah sakit yang terhadap seorang tenaga medis untuk menentukan apakah yang bersangkutan layak diberi penugasan klinis dan kewenangan klinis untuk menjalankan asuhan/tindakan medis tertentu di lingkungan rumah sakit tersebut untuk periode tertentu. Pada kasus ini proses wawancara dilakukan secara daring karena dalam masa pandemi covid-19. Hal ini lebih membuka peluang bagi tersangka untuk dapat diterima karena pihak penyeleksi tidak bisa menilai secar langsung dengan tatap muka.
Dampak yang terjadi melibatkan berbagai aspek, yaitu keamanan pasien yang terancam. Seseorang dokter gadungan yang tidak memiliki pendidikan medis memadai dan tidak terlatih dengan baik berpotensi memberikan layanan medis yang salah atau berbahaya. Dampak lainnya yaitu penyalahgunaan kepercayaan institusi dan masyarakat, ia telah melanggar kepercayaan yang diberikan oleh lembaga tempatnya melamar dan masyarakat yang bergantung pada profesionalisme dokter. Bagi tenaga medis, kasus ini juga menurunkan moral mereka, mereka merasa profesi mereka tidak dihargai atau tidak dilindungi dengan baik oleh sistem hukum.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.