Menggugat Toxic Hustle Culture: Antara Ambisi dan Kehilangan Diri
Gaya Hidup | 2024-12-27 11:23:50Pernahkah kamu mendengar sebuah kalimat motivasi ‘work until you don’t have to introduce yourself’? kalimat ini memang terdengar sangat heroik, tak heran jika kini marak dijadikan motto hidup oleh generasi muda saat ini. Kalimat ini seolah menggambarkan seorang yang sangat aktif dalam dunia karir hingga berhasil mendapatkan validasi publik akan pencapaiannya. Biasanya orang-orang akan memamerkan aktivitas atau pencapaiaannya melalui media sosial tentang bagaimana kesibukan mereka saat lembur, saat dikejar deadline, target, dan semacamnya untuk menjukkan bahwa mereka adalah pekerja keras dan individu yang berdedikasi. Fenomena yang seperti ini tak jarang menjadi pengaruh bagi seseorang untuk terus merasa bahwa dirinya kurang produktif, dan menjadi dorongan untuk lebih bekerja keras tanpa mempedulikan kesehatan, hingga akhirnya terjebak dalam lingkaran budaya gila kerja yang disebut hustle culture.
Hustle culture, atau biasa dimaknai dengan budaya pemuja produktivitas tanpa henti, kini menjadi fenomena global yang dijadikan tren di kalangan anak muda, terutama di era digital yang serba cepat. Banyak yang mengganggapnya sebagai jalan pintas menuju kesuksesan dengan mengandalkan produktivitas yang ketat, misalnya, bekerja keras hingga larut malam dengan harapan bahwa kesuksesan akan datang seiring dengan banyaknya waktu yang digunakan untuk bekerja. Namun, dibalik gemilaunya, budaya ini sering mengakibatkan kelelahan fisik dan mental tanpa disadari.
Apakah benar semakin keras kita bekerja, semakin dekat kita dengan kesuksesan? Apakah benar hustle culture akan mempermudah kita untuk mencapai mimpi besar? Ataukah justru membuat kita terjebak dalam lingkaran kelelahan yang tak berujung, hingga kehilangan keseimbangan hidup?
Salah satu sisi positif dari hustle culture adalah bagaimana gaya hidup ini mendorong individu untuk mencapai target dengan etos kerja yang tinggi dan dedikasi yang besar. Melalui gaya hidup ini, banyak individu yang merasa termotivasi untuk mencapai hal-hal yang sebelumnya mungkin tampak mustahil, untuk bermimpi lebih besar dan mengambil langkah nyata untuk mewujudkannya. Dalam dunia yang penuh kompetitif ini, mereka yang memiliki ambisi besar sering kali dianggap sebagai generasi brilian yang pantas untuk pemimpin masa depan. Gaya hidup ini juga mendorong individu untuk meningkatkan produktivitas, di mana dengan terus bekerja keras, banyak orang yang mampu membangun momentum untuk membuat capaian target mereka cenderung lebih cepat.
Namun, peningkatan produktivitas ini benar-benar akan membawa manfaat, atau hanya sekedar ilusi semata? Pada kenyataannya, hasil dari kerja keras yang ekstrim tidak selalu akan berbanding lurus dengan kebahagiaan pribadi yang dialami. Produktivitas yang berlebihan justru sering digunakan sebagai topeng untuk menutupi rasa takut pada kegagalan yang akan terjadi atau tekanan sosial agar selalu terlihat aktif dan sibuk di mata publik.
Budaya gila kerja yang mengedepankan kerja keras berlebihan dapat memiliki dampak negatif yang serius. Tekanan untuk terus-menerus bekerja dan memenuhi target ambisi dapat memicu stress kronis, kecemasan berlebih, hingga tak jarang berujung pada depresi. Selain itu, jam kerja yang relatif panjang sering kali menyebabkan gangguan pada jam tidur, yang pada akhirnya akan memperburuk kondisi kesehatan, baik secara fisik maupun mental. Dalam jangka panjang, individu yang terjebak dalam gaya hidup ini berisiko mengalami burnout, yaitu sebuah kondisi kelelahan mental, fisik, dan emosional yang dapat melemahkan produktivitas dan kualitas hidup.
Lebih jauh lagi, hustle culture ini cenderung memperkuat perbandingan sosial yang berlebihan dan tidak sehat. Ketika seseorang terus-menurus membandingkan pencapaian mereka dengan orang lain dan tidak pernah merasa cukup puas dengan hasil kerjanya, sehingga akan menimbulkan perasaan tidak berharga dan ketidakbahagiaan pada dirinya. Gaya hidup ini juga sering mengabaikan pada pentingnya waktu untuk diri sendiri, yang sangat berpengaruh untuk menjaga work-life balance. Ketidakseimbangan ini juga berkontribusi dalam rusaknya hubungan personal dan kesehatan mental. Akibatnya, banyak individu yang merasa kelelahan secara terus-menerus dan kehilangan esensi hidup yang lebih bermakna. Ironisnya, budaya ini berhasil membuat seseorang percaya bahwa bekerja terlalu keras adalah sesuatu yang keren dan patut dibanggakan, padahal dampaknya justru dapat merusak hidup secara keseluruhan.
Sebagai generasi muda, penting bagi kita untuk mempertimbangkan apakah hustle culture ini benar-benar dapat dijadikan pilihan terbaik untuk semua orang. Padahal, kesuksesan tidak selalu harus dicapai dengan kerja keras yang ekstrem, melakukan pendekatan seperti work-life balance, di mana kita memberi ruang untuk istirahat, waktu bersama keluarga, dan menjalani hobi dengan tenang dan santai, adalah alternatif yang lebih manusiawi dan berkelanjutan.
Arianna Huffington, seorang penulis dan pendiri The Huffington Post, pernah mengatakan, "We think, mistakenly, that success is the result of the amount of time we put in at work, instead of the quality of time we put in." (Kita keliru berpikir bahwa kesuksesan adalah hasil dari waktu yang kita habiskan untuk bekerja, bukan kualitas waktu yang kita gunakan.)
Melalui kutipan ini, bisa menjadi pengingat bagi kita, bahwa dengan bekerja lebih cerdas merupakan strategi yang lebih efektif daripada sekedar lebih keras. Dengan mengedepankan kualitas kerja daripada kuantitas, manajemen waktu yang baik, dan mengenali batasan diri adalah solusi yang bisa dilakukan untuk meningkatkan produktivitas tanpa mengorbankan kesehatan maupun kebahagiaan. Untuk mengubah cara pandang ini membutuhkan kebranian dan keyakinan yang pasti, terutama ketika kita berada di lingkungan yang cenderung mengglorifikasi kerja keras tanpa henti. Dengan pendekatan yang lebih seimbang, kita dapat meraih kesuksesan tanpa harus mengorbankan aspek penting lain dalam hidup.
Dan pada akhirnya, hustle culture bukanlah sesuatu yang sepenuhnya buruk, tetapi juga bukan solusi universal untuk meraih kesuksesan. Saya percaya bahwa kita harus bersikap lebih kritis dalam menanggapi budaya ini dan mulai mencari jalan hidup yang lebih seimbang dan bermakna. Kesuksesan sejati tidak semata diukur dari pencapaian materi, tetapi juga tentang bagaimana kemampuan kita menjalani hidup yang sehat, bahagia, dan penuh arti.
Oleh karena itu, sebelum terjebak dalam siklus kerja tanpa akhir, tanyakan pada diri sendiri: apa yang sebenarnya penting dalam hidupmu? Jangan biarkan kesibukan mengaburkan pandanganmu terhadap hal-hal yang benar-benar berarti. Mari kita ciptakan definisi kesuksesan sesuai dengan nilai-nilai dan prioritas kita, bukan hanya sekedar meniru apa yang dikatakan oleh budaya hustle.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.