Mengelola Emosi: Kunci Sukses Menghadapi Stres Akademik di Perguruan Tinggi
Edukasi | 2024-12-24 09:42:16sumber : nsd.do.id
Oleh Vanessa Pranata, Mahasiswa S1 Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
Stres akademik pada umumnya juga dirasakan oleh semua mahasiswa di seluruh universitas di dunia maupun di Indonesia. Berdasarkan informasi dari Himpunan Psikolog Indonesia, pada tahun 2017 terdapat 68% remaja yang mengalami depresi di Surabaya (Handayani, 2017). Masalah ini tidak jarang disebabkan oleh kondisi kesehatan mental dan emosional yang tidak baik akibat faktor akademik yang tinggi. Ada banyak faktor dalam hal ini, ada dampak negatif dan efek dari emosi yang mereka hadapi karena hal ini juga akan sangat mempengaruhi cara mereka mengatasi atau menghadapi stres akademik. Respon stres muncul pada mahasiswa sebagai pemicu harapan akademik yang tinggi yang menganggu pemikiran mahasiswa. Ini dapat berasal dari lebih dari satu sumber, seperti jumlah tugas yang banyak, harapan besar untuk mendapatkan nilai baik, dan persaingan antar mahasiswa. Kegagalan mahasiswa dalam memenuhi persyaratan akademik memiliki potensi untuk menciptakan gangguan emosional dan stres.
Stres yang diderita secara terus-menerus tetapi tidak diimbangi dengan waktu istirahat, dapat mengakibatkan adanya emosi perasaan negatif atau emosi lain yang tidak terkontrol. Jika mengabaikan dan menganggap hal ini sepele, akan menjadikan tubuh tidak sehat secara mental dan fisik, dibutuhkan regulasi/pengontrolan emosi yang dilakukan secara berkala. Regulasi emosi menjadikan individu untuk mempengaruhi dan mengelola emosi, baik dalam hal pengendalian dalam mengekspresikan emosi positif maupun emosi yang sifatnya negatif.
Regulasi emosi berperan penting dalam menentukan cara mahasiswa merespons situasi yang menimbulkan stres. Mahasiswa yang mampu melakukan Cognitive reappraisal (Penilaian ulang kognitif) yaitu dengan mengubah cara pandang dalam menghadapi situasi stres, dapat lebih mudah dalam mengatasi tekanan akademik. Mereka cenderung melihat tantangan sebagai kesempatan untuk belajar dan berkembang dari pengalaman tersebut, bukan sebagai ancaman. Sebaliknya, jika mahasiswa tidak dapat mengelola emosinya dengan baik, mereka akan terjebak dalam perasaan negatif, yang dapat mengarah pada risiko kegagalan, rendah diri dan stres. Penelitian oleh Gross (2014) menyatakan bahwa "individu dengan regulasi emosi yang baik mampu menghadapi situasi sulit tanpa terpuruk ke dalam depresi atau gangguan kecemasan berlebihan." Ini menunjukkan bahwa regulasi emosi tidak hanya membantu mengurangi stres tetapi juga meningkatkan ketahanan mental.
Dampak dari stres akademik tidak hanya dirasakan secara emosional tetapi juga fisik. Mahasiswa yang mengalami tingkat stres tinggi cenderung mengalami masalah kesehatan seperti sakit kepala, gangguan tidur, dan bahkan gangguan pencernaan. Penelitian oleh Ladapase & Sona (2022) menemukan bahwa "mahasiswa dengan tingkat stres tinggi melaporkan gejala fisik seperti kelelahan kronis dan masalah tidur." Hal ini menunjukkan bahwa penting bagi mahasiswa untuk memperhatikan jadwal tidur yang sistematis dan istirahat yang cukup.
Ada beberapa strategi dan teknik regulasi emosi yang dapat membantu mahasiswa dalam menghadapi stres akademik. Pertama, mindfulness adalah sikap yang berhubungan dengan kesadaran dan pengamatan secara sadar terhadap perubahan emosi diri sendiri. Mahasiswa harus tau untuk melepaskan emosi tersebut di tempat yang benar dan tidak menahan emosi yang akan menumpuk. Mahasiswa dapat meluangkan waktu beberapa menit setiap hari untuk duduk tenang, mengambil napas dengan teratur, dan melakukan meditasi yang membantu dalam meningkatkan konsentrasi.
Kedua, butterfly hug bisa dilakukan dengan menyilangkan dan mengepalkan tangan ke pundak atau dada sambil ditepuk/diusap. Selama proses ini, mahasiswa diminta untuk mengungkapkan apa yang mereka rasakan atau melakukan afirmasi yang positif kepada diri sendiri seperti “tidak apa-apa, kamu kuat dan bisa menghadapinya”. Metode ini dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja, sehingga mudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari serta membantu menurunkan tekanan dan emosi yang meledak-ledak.
Ketiga, pengaturan waktu yang baik adalah strategi penting dalam mengurangi stres akademik. Dengan membuat jadwal yang detail dan memprioritaskan tugas-tugas, mahasiswa dapat menghindari perasaan terburu-buru dalam mengejar deadline tugas yang banyak dan dalam waktu yang berdekatan. Manajemen waktu yang baik memungkinkan mahasiswa untuk menyelesaikan pekerjaan dengan lebih efisien dan memiliki waktu untuk bersantai.
Keempat, menulis jurnal/diary untuk mencatat emosi hari ini, pemicu emosi dan pengalaman saat di waktu itu bisa menjadi alat yang bermanfaat dalam regulasi emosi. Dengan menulis tentang perasaan mereka, mahasiswa dapat merenungkan pengalaman dan memahami pola emosional mereka lebih baik setiap harinya. Jurnal emosi membantu mahasiswa mengenali pemicu stres dan merumuskan strategi untuk menghadapinya di masa depan.
Kelima, bercerita kepada teman, keluarga, atau siapapun orang terdekat yang dipercayai juga menjadi kunci dalam melakukan regulasi emosi. Berbicara tentang perasaan dan pengalaman dengan orang lain dapat memberikan perspektif baru dan membantu meringankan tekanan emosional. Dukungan sosial akan efektif dalam mengurangi stres akademik, karena interaksi sosial, afirmasi dan perhatian orang lain dapat memberikan rasa keterhubungan dan dukungan emosional yang dibutuhkan selama masa-masa sulit.
Hubungan antara regulasi emosi dan stres akademik sangat signifikan dan saling mempengaruhi sehingga jadikan teknik regulasi emosi sebagai alat untuk mencapai keseimbangan dan meraih keberhasilan dalam studi. Dengan mengenali dan mengelola emosi, mahasiswa tidak hanya akan merasa lebih percaya diri, tetapi juga lebih siap menghadapi segala tantangan yang datang. Mahasiswa harus memiliki kemauan dan tekad yang kuat untuk mengatasi tuntutan akademik dan menjadi individu yang berhasil di dalam lingkungan masyarakat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.