Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Maulana Jibran A.

Jalur Kuning di Trotoar: Simbol Harapan yang Berubah Menjadi Hambatan

Humaniora | 2024-12-23 21:44:03

Pernahkah Anda memperhatikan jalur kuning yang terpasang di trotoar-trotoar kota? Jalur yang disebut guiding block ini dirancang untuk membantu penyandang tunanetra berjalan dengan aman dan mandiri di ruang publik. Namun, di balik tujuan mulianya, sering kali fasilitas ini justru tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Kenapa bisa begitu?

Fungsi Jalur Kuning sebagai Wujud Kota Inklusif

Guiding block adalah bentuk nyata dari upaya pemerintah untuk menciptakan kota yang inklusif dan ramah disabilitas. Dengan jalur ini, penyandang tunanetra diharapkan bisa bergerak lebih bebas tanpa harus selalu bergantung pada orang lain. Selain itu, guiding block juga menjadi simbol keberpihakan terhadap hak-hak penyandang disabilitas, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Namun, kenyataan di lapangan sering kali berbeda. Alih-alih membantu, guiding block kerap menjadi hambatan.

Ketidaksesuaian di Lapangan

Banyak trotoar di kota-kota besar di Indonesia sudah dilengkapi guiding block. Tapi, mari kita jujur, seberapa sering Anda melihat jalur kuning ini benar-benar digunakan sesuai peruntukannya? Berikut beberapa masalah umum yang sering terjadi:

  1. Jalur Kuning yang Terputus atau Tertutup
    Anda mungkin pernah melihat jalur kuning yang tiba-tiba berhenti tanpa alasan jelas. Atau lebih parah, tertutup oleh pot bunga, tiang listrik, papan reklame, hingga warung kaki lima. Bagaimana penyandang tunanetra bisa mengandalkannya?
  2. Pohon atau Objek Lain di Atas Jalur
    Meskipun penghijauan kota penting, menempatkan pohon atau tanaman tepat di atas guiding block jelas salah. Bagi penyandang tunanetra, ini bukan sekadar gangguan—ini adalah bahaya.
  3. Arah Garis yang Tidak Konsisten
    Jalur kuning seharusnya memberikan panduan yang jelas. Namun, ada saja kasus di mana jalur ini berbelok ke tembok, jalan buntu, atau malah menuju bahaya.
  4. Kualitas Material yang Buruk
    Banyak guiding block yang sudah aus atau rusak, sehingga sulit dikenali oleh pengguna. Kurangnya pemeliharaan menjadi masalah yang tidak bisa diabaikan.

Dampak bagi Penyandang Tunanetra

Bayangkan harus berjalan di trotoar dengan mata tertutup, hanya mengandalkan jalur kuning untuk panduan. Lalu tiba-tiba jalur tersebut berhenti, atau ada rintangan di tengahnya. Inilah yang dirasakan penyandang tunanetra setiap hari.

Masalah-masalah ini tidak hanya mengurangi rasa aman, tapi juga meningkatkan risiko kecelakaan. Lebih dari itu, kondisi ini mencerminkan kurangnya kesadaran kita sebagai masyarakat terhadap pentingnya inklusivitas. Penyandang disabilitas seakan-akan "dilupakan" di ruang publik.

Apa Solusinya?

Mengatasi masalah ini bukan tugas satu pihak saja. Dibutuhkan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan pihak terkait. Berikut langkah-langkah yang bisa dilakukan:

  1. Perencanaan dan Pengawasan yang Lebih Baik
    Pemerintah perlu memastikan bahwa pembangunan guiding block sesuai standar internasional, seperti ISO 23599. Pengawasan juga harus ditingkatkan agar jalur kuning tidak disalahgunakan.
  2. Edukasi dan Kesadaran Masyarakat
    Apakah kita benar-benar memahami pentingnya guiding block bagi penyandang tunanetra? Kampanye kesadaran publik perlu digalakkan, baik melalui media sosial, iklan layanan masyarakat, atau kegiatan komunitas.
  3. Pemeliharaan Berkala
    Tidak cukup hanya membangun, pemerintah juga harus rutin memeriksa dan memperbaiki guiding block yang rusak. Jalur kuning harus selalu dalam kondisi optimal.
  4. Sanksi bagi Pelanggar
    Kita butuh aturan yang tegas. Warung kaki lima yang mengokupasi jalur kuning, atau kendaraan yang parkir di atas trotoar, harus ditindak dengan sanksi nyata.
  5. Melibatkan Penyandang Disabilitas dalam Perencanaan
    Siapa yang lebih tahu kebutuhan penyandang tunanetra selain mereka sendiri? Pemerintah harus melibatkan mereka dalam proses perencanaan fasilitas publik.

Jalur kuning di trotoar adalah fasilitas yang dirancang untuk mempermudah penyandang tunanetra. Sayangnya, fungsi ini sering terganggu akibat kurangnya perhatian dan kesadaran kita semua. Padahal, menjaga fasilitas ini bukan hanya tentang kepatuhan hukum, tetapi juga tentang menghormati hak asasi manusia.

Sebagai masyarakat, kita bisa mulai dari hal kecil: menghormati guiding block dan melaporkan pelanggaran kepada pihak berwenang. Mari bersama-sama menciptakan kota yang inklusif, di mana setiap warga, tanpa terkecuali, bisa merasa aman dan nyaman. Sebab, kota yang baik adalah kota yang tidak meninggalkan siapa pun di belakang.

Referensi:
Nazir, I. R., & Rahmayanti, N. (2022). IDENTIFIKASI PENERAPAN GUIDING BLOCK BAGI TUNA NETRA PADA JALUR PEDESTRIAN DI JALAN KEMANG RAYA, JAKARTA SELATAN. TRAVE, 26(1), 1-7.
Sellina, R., Mulia, D., Sidik, S. A., & Asmiati, N. (2024). Studi pemahaman masyarakat terhadap aksesibilitas guiding block bagi tunanetra. Jurnal UNIK: Pendidikan Luar Biasa, 9(1), 1-8.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image