PPN 12: Kebijakan Progresif atau Tekanan Ekonomi?
Info Terkini | 2024-12-23 16:41:40Rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 12% telah memicu diskusi panas di kalangan masyarakat. Kebijakan ini dianggap penting oleh pemerintah untuk menopang stabilitas ekonomi dan meningkatkan pendapatan negara. Namun, bagi banyak pihak, terutama masyarakat menengah ke bawah, kenaikan ini dinilai sebagai tambahan beban yang memperberat kehidupan sehari-hari. Lantas, apakah kebijakan ini benar-benar langkah progresif yang diperlukan, atau hanya menjadi tekanan ekonomi baru?
PPN: Pajak yang Tak Terlihat, Tapi Terasa
PPN adalah pajak tidak langsung yang dibebankan pada transaksi jual beli barang atau jasa. Masyarakat sebagai konsumen sering kali tidak menyadari bahwa mereka membayar pajak ini, karena sudah tercakup dalam harga barang. Misalnya, saat membeli kebutuhan sehari-hari seperti beras, pakaian, atau sabun, sebagian harga yang kita bayarkan adalah PPN.
Menurut pemerintah, kenaikan PPN dari 10% menjadi 12% bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, yang akan dialokasikan untuk berbagai program pembangunan, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Namun, apakah masyarakat siap dengan beban tambahan ini, terutama di tengah proses pemulihan ekonomi pasca-pandemi?
Beban Ekonomi untuk Masyarakat Menengah ke Bawah
Kenaikan PPN ini akan terasa berat bagi masyarakat dengan penghasilan rendah hingga menengah. Ketika harga barang kebutuhan pokok naik akibat tambahan pajak, daya beli masyarakat otomatis menurun. Keluarga dengan pendapatan terbatas mungkin harus mengorbankan kebutuhan lain untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Misalnya, tambahan 2% pada PPN mungkin terlihat kecil di atas kertas, tetapi dampaknya signifikan dalam kehidupan nyata. Barang-barang yang sebelumnya terjangkau kini menjadi lebih mahal, memperburuk ketimpangan ekonomi. Lebih jauh, wacana penerapan PPN pada bahan pangan tertentu yang sebelumnya bebas pajak menambah kekhawatiran. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah pemerintah cukup memikirkan dampak kebijakan ini terhadap rakyat kecil?
Argumen Pemerintah: Stabilitas Ekonomi di Tengah Defisit
Dari sisi pemerintah, kenaikan PPN dianggap langkah strategis untuk menyeimbangkan anggaran negara. Pasca-pandemi, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menutup defisit anggaran, yang diperlukan untuk mendanai program sosial dan pembangunan.
Sebagai perbandingan, banyak negara lain yang memiliki tarif PPN lebih tinggi dibandingkan Indonesia, seperti Inggris (20%) dan Norwegia (25%). Namun, situasi ekonomi dan daya beli masyarakat di negara-negara tersebut berbeda jauh dengan Indonesia. Tingkat ketimpangan ekonomi yang tinggi di Indonesia menjadi alasan mengapa kebijakan ini memerlukan pendekatan lebih hati-hati.
Ancaman bagi UMKM
Selain masyarakat, pelaku usaha kecil menengah (UMKM) juga terkena dampak kenaikan PPN. UMKM, yang merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia, menghadapi dilema: menaikkan harga dan kehilangan konsumen, atau mempertahankan harga dan menanggung beban pajak sendiri.
Jika tekanan ini terlalu besar, banyak UMKM yang berisiko gulung tikar, yang pada akhirnya akan memicu peningkatan angka pengangguran. Dalam jangka panjang, efek domino ini dapat mengguncang stabilitas ekonomi secara keseluruhan.
Bagaimana Kebijakan Ini Bisa Berjalan Efisien?
Agar kenaikan PPN tidak menjadi bumerang, ada beberapa langkah yang perlu diambil:
1. Kecualikan Kebutuhan Pokok dari PPN Barang-barang kebutuhan dasar harus tetap bebas dari pajak untuk melindungi daya beli masyarakat kecil.
2. Pastikan Transparansi Anggaran Hasil kenaikan PPN harus digunakan secara maksimal untuk program-program yang langsung dirasakan masyarakat, seperti layanan kesehatan, pendidikan, dan bantuan sosial.
3. Pengawasan Ketat Terhadap Penghindaran Pajak Pemerintah perlu menutup celah penghindaran pajak oleh perusahaan besar. Dengan pengawasan yang lebih ketat, penerimaan negara bisa ditingkatkan tanpa membebani masyarakat kecil.
PPN 12%: Manfaat atau Beban?
Kenaikan PPN menjadi 12% adalah kebijakan yang memunculkan pro dan kontra. Dari perspektif pemerintah, kebijakan ini diperlukan untuk meningkatkan penerimaan negara dan menjaga stabilitas ekonomi. Namun, bagi masyarakat, khususnya kelompok rentan, kebijakan ini bisa menjadi tekanan baru yang memperburuk kondisi mereka.
Pemerintah perlu mengimplementasikan kebijakan ini dengan hati-hati agar tidak menjadi bumerang. Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang tidak hanya menguntungkan negara, tetapi juga memberikan manfaat nyata bagi seluruh lapisan masyarakat.
Jadi, apakah kebijakan ini akan menjadi langkah progresif yang mendukung pembangunan, atau malah menjadi tekanan ekonomi baru bagi rakyat kecil? Bagaimana menurut Anda?
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.