Cendekia sebagai Cahaya
Pendidikan dan Literasi | 2024-12-18 17:07:41*Berikut merupakan naskah teks Khutbatul Wada Wisudawan/Wisudawati Program Pendidikan Guru Al Quran NFBS Bogor. Semoga bermanfaat
====
Para hadirin yang berbahagia,
Namanya Sarah al Amiri, muslimah sekaligus ilmuwan yang sejak 2017 hingga 2020 memimpin misi pengembangan penelitian luar angkasa yang digagas oleh pemerintah Uni Emirat Arab. Hingga akhirnya, beliau bersama tim nya meluncurkan pesawat tanpa awak dan berhasil mendaratkannya dengan sukses di Mars. Kesuksesan ini menjadikan Uni Emirat Arab sebagai negara kelima yang berhasil mendaratkan pesawat antariksa di planet Mars.
Keberhasilan ini memberikan kabar gembira tidak hanya untuk negaranya, namun juga bagi dunia Islam secara luas. Peradaban islam, disusun atas kisah-kisah besar pemuliaan ilmu pengetahuan, pelestarian sains sebagai fundamen penting dalam membangun kejayaan umat.
Karena abai terhadap pengetahuanlah yang membawa Eropa mengalami zaman kegelapan (the dark of ages), Ketika itu, dunia Islam justru berada pada Zaman Keemasan (atau Zaman Pertengahan), ketika pengetahuan berkembang dengan pesat dan para saintis mendapatkan posisi terhormat. Zaman Keemasan itu dimulai ketika Dinasti Abbasiyyah menggantikan Umayyah.
Pada saat itu, sains digemari dan saintis dihormati. Pengembangan sains merupakan salah satu sayap, diantara dua sayap peradaban, yakni Agama dan Ilmu. Kapan dan mengapa sayap ini mulai patah? Tidak ada penjelasan tunggal yang disepakati bersama. Yang paling sering kita dengar adalah karena serangan bangsa Mongol yang meluluhlantakkan Baghdad pada pertengahan abad ke-13.
Eric Chaney, sejarawan alumnus Universitas Harvard yang saat ini mengajar di Universitas Oxford . Pada artikelnya yang dipublikasikan pada tahun 2016 mengumpulkan informasi 23.287 buku dari 4.056 penulis pada Zaman Keemasan. Informasi ini didapatkan dari koleksi Perpustakaan Universitas Harvard yang mencapai 13.283.463 buku. Tentu, tidak semua buku yang ditulis saintis Zaman Keemasan dapat diselamatkan dan disimpan di sana. Tapi, ikhtiar mencari penjelas berdasar data empiris melengkapi potret yang ada.
Didapatkan penemuan, bahwa zaman keemasan islam yang gilang gemilang pada abad 8 s.d 11, ternyata berbanding lurus dengan produksi buku yang ditulis ketika itu. Saat Islam menjadi soko guru dunia dan peradaban, saat itu pula produksi keilmuan dan penelitian, yang ditandai dengan terbitnya buku-buku, sedang pada masa intensifnya.
Hampir bisa disepakati bersama, bahwa saat itu, buku merupakan simbol kemajuan, dimana makin banyaknya produksi buku, maka makin maju juga peradabannya.
Namun ketika produksi sains di dunia Islam menurun, mulai abad ke-11 sampai ke-13, di negara-negara Eropa, terutama Spanyol, justru penerjemahan karya-karya dari bahasa Arab ke dalam bahasa Latin dan Ibrani dilakukan secepat mungkin. Hasilnya adalah kelahiran kembali iklim saintifik yang ujungnya adalah transformasi peradaban Barat.
Dari tahun 1901 sampai dengan hari ini, hanya tiga saintis muslim yang memenangkan Hadiah Nobel Sains, yaitu Abdus Salam (asal Pakistan) di bidang fisika pada 1979, Ahmed Zewail (asal Mesir) di bidang kimia 1999 dan Aziz Sancar (2015), di bidang Kimia, berasal dari Turki. Padahal umat Islam berjumlah lebih dari 1,6 miliar manusia.
Bagaimana dengan fenomena saat ini ?
Brain rot, beberapa waktu yang lalu dipilih oleh Oxford University Press sebagai kata tahun ini (Word of the year) tahun 2024. Sesuai pengertiannya, kata ini merujuk kepada makin lemahnya/tumpulnya mental dan intelektual seseorang karena mengkonsumsi konten daring secara berlebih, namun memiliki bobot yang rendah secara nilai/dangkal. Tidak hanya sangat pendek secara durasi, receh, nyaris tanpa muatan nilai, malah cenderung merendahkan kecerdasan manusia. Sayangnya, konten seperti ini banyak penggemarnya di dunia maya.
Banyaknya konten yang demikian di ranah maya kita, membuat sebagian generasi kita kecanduan, efek jangka panjangnya adalah ketidakmampuan untuk menalar persoalan yang makin kompleks, dan butuh analisa mendalam. Jika dilihat dalam jangka panjang, maka “daya rusak” hal ini akan makin meluas dan melintas generasi. Mirip mengerikannya macam pinjol dan judol yang memiliki efek merusak amat parah itu.
Fenomena ini, sesungguhnya belakangan telah menjebak sebagian generasi kita. Bahkan banyak negara, mengambil langkah-langkah serius untuk melarang anak-anak bermain media sosial. Pada bulan November 2024, Australia meloloskan UU Keamanan Daring atau Online Safety Amendment Social Media Minimum Age Bill 2024, melalui aturan ini, warga berusia dibawah 16 tahun dilarang menggunakan media sosial. Lain lagi dengan Norwegia, pada Oktober 2024, batas usia minimum untuk menggunakan medos adalah 13 tahun. Begitu juga dengan Perancis, Florida AS, Italia, Inggris, Belanda, Jerman, Uni Eropa, Belgia dan negara-negara lainnya yang merasa butuh melindungi anak-anak mereka.
Di Indonesia, tantangan bermedia sosial sudah kita alami sejak masa pandemi lalu (dan bahkan dimasa sebelumnya), dimana produksi berita hoax kurang lebih sebanyak 4000an jumlahnya dalam waktu 2 tahun. Tidak hanya menjadi konsumen berita hoax, sebagian dari masyarakat kita juga menjadi produsennya. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001% dari sejumlah populasi yang ada. Artinya, dari 1000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang minat membaca. Korelasi antara rendahnya minat baca dengan banyaknya berita hoax, penting untuk ditelusuri lebih lanjut.
Pada dasarnya, fenomena ini adalah salah satu dampak dari putusnya mata rantai ilmu dan pengetahuan, yang hari ini belum bisa dinikmati oleh masyarakat banyak. Keterbatasan pengetahuan, membuat sebagian masyarakat kita, ditambah ketidaksiapan menggunakan teknologi, menjadi “senjata berbahaya” tidak hanya untuk dirinya, namun juga orang lain. Alih-alih memberikan manfaat, namun malah menjerumuskan dan menjadi candu berbahaya.
Maka tugas insan berpengetahuanlah yang akan membimbing masyarakatnya.
Merujuk pada tradisi keilmuwan Islam, maka mencerahkan masyarakat melalui budaya literasi yang baik, menjadi pilihan sadar untuk diambil para cendekia. Sehingga keberadaan para alumni ini menjadi obor-obor baru untuk menjadi cahaya ditengah masyarakat.
Maka menjadi kewajiban kita semua, meneguhkan kembali semangat mencintai pengetahuan adalah menjadi bagian penting dalam rangka mengembalikan Islam pada masa jayanya, termasuk kepada kakak-kakak sekalian yang nantinya akan menjadi alumni PPGA Nurul Fikri Boarding School Bogor.
Lalu hal apa yang disiapkan untuk menuju kesana
- Perintah agama ini untuk mendalami pengetahuan sudah menjadi mandat, tatkala hadirnya 5 ayat pertama QS Al – Alaq 1-5, dari Allah melalui Rasulullah SAW.
اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,"
خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍۚ "Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah."
اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْاَكْرَمُۙ "Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia,"
الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ "Yang mengajar (manusia) dengan pena"
عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya."
Perintah “bacalah” bahkan dimunculkan dua kali yang menandakan betapa penting nya kata kerja tersebut. Dan seyogyanya kita makin meyakini, bahwa perintah Allah selalu akan baik bagi hambaNya.
- Kalimat dari Al Quran yang diakhiri dengan perintah untuk “berpikir”
Surat Al-An’am ayat 50. Afalâ Tatafakkarûn (apakah kamu tidak memikirkan(-nya)?)
قُلْ لَّآ اَقُوْلُ لَكُمْ عِنْدِيْ خَزَاۤىِٕنُ اللّٰهِ وَلَآ اَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَآ اَقُوْلُ لَكُمْ اِنِّيْ مَلَكٌۚ اِنْ اَتَّبِعُ اِلَّا مَا يُوْحٰٓى اِلَيَّۗ قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الْاَعْمٰى وَالْبَصِيْرُۗ اَفَلَا تَتَفَكَّرُوْنَ ࣖ
Artinya: “Katakanlah (Nabi Muhammad), “Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan (rezeki) Allah ada padaku, aku (sendiri) tidak mengetahui yang gaib, dan aku tidak (pula) mengatakan kepadamu bahwa aku malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” Katakanlah, “Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat? Apakah kamu tidak memikirkan(-nya)?”
Juga pada Surat Al-An’am ayat 80. Afalâ tatadzakkarûn (tidakkah kamu dapat mengambil pelajaran?), dan Surat Al Baqarah ayat 44. Afala taqkiluun (Tidakkah kamu mengerti ?)
Merupakan perintah dari Allah SWT kepada kita, agar kita memfungsikan dengan optimal perangkat pikir kita.
- Diriwayatkan dari Nabi Saw, sesungguhnya ia bersabda: “Jarak antara orang yang berilmu dan seorang budak adalah seratus derajat, jarak antara dua derajatnya seperti tujuh puluh tahun perjalanan kuda”.
Dan dari Nabi Saw, “Keutamaan orang berilmu atas seorang budak adalah laksana bulan purnama ketika malam atas sekalian bintang-gemintang”.
Dan dari Nabi Saw: “Pada hari kiamat akan ada tiga golongan yang memberi syafaat: para nabi, para ulama, dan para syuhada”, maka tempat yang paling mulia adalah di pertengahan antara kenabian dan kesaksian Rasulullah (Tafsir al-Qurthubi, 1964: 17/300).
- Pengembangan pengetahuan akan berbarengan dengan kemajuan sebuah bangsa. Banyak masalah manusia yang akan dipecahkan oleh pengetahuan, seperti pada uraian di atas. Sembari mendalami ilmu agama, kini saatnya, menjadikan kembali pengembangan pengetahuan menjadi mandat bagi setiap muslim untuk mendesain masa depannya dan tidak lagi terjebak di bawah bayang-bayang nostalgia masa lampau.
Maka sesungguhnya inspirasi-inspirasi besar itu ada pada setiap zaman. Orang-orang besar, senantiasa memiliki karya-karya besar, langkah dan jejak yang besar pula. Karya dan perjuangannya tidak lekang dimakan masa. Karena tinta emas zaman, selalu merekam mereka, sehingga kebaikannya akan menginspirasi berjuta kebaikan berikutnya.
Semoga Allah memberikan kemudahan bagi Wisudawan/wisudawati sekalian dalam menjelajah ilmu, mencintai Islam, serta menggapai harapan dan cita-cita pada fase pendidikan dan kehidupan berikutnya, yang pada gilirannya akan meneguhkan Islam sebagai Rahmatan lil Alamin, soko guru peradaban dunia. Semoga Allah ijabah doa ini.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.