Menakar Efektivitas Gerakan Pangan Murah Demi Ketahanan Pangan Nasional
Politik | 2024-12-18 14:26:14Menakar Efektivitas Gerakan Pangan Murah Demi Ketahanan Pangan Nasional
Oleh: Tati Sunarti, S.S
"Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada badai, tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman"
Generasi tahun 70' dan 80' pasti familiar sekali dengan lirik lagu diatas. Lagu ini dipopulerkan oleh grup band legend Koes Plus. Isinya menggambarkan istimewanya tanah surga. Lautan dianalogikan kolam susu, tanah yang subur bahkan tongkat kayu dan batu pun ajaibnya bisa menjadi tanaman. Semua itu cukup untuk menghidupi siapapun yang tinggal diatasnya.
Tanah surga itu ya Indonesia, negara kepulauan nan elok. Tanah subur, menumbuhkan berbagai jenis tanaman yang bisa dijadikan sebagai bahan pokok makanan untuk menopang berlangsungnya kehidupan. Indonesia, negara agraris dengan lahan pertanian yang terbentang luas. Tanah surga dengan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Tanah subur seyogyanya dikelola dengan maksimal. Sektor pertanian saja, jika dikelola dengan baik akan mencukupi kebutuhan sebanyak kurang lebih 270 juta jiwa. Apalagi saat ini perkembangan teknologi yang semakin canggih akan mampu mendobrak hasil pertanian yang bagus.
Dalam berbagai upaya untuk mencukupi kebutuhan masyarakat, banyak cara yang sudaj ditempuh oleh pemerintah. Mulai dari memastikan bahan pokok tetap tersedia dengan jumlah yang sesuai. Namun, tanah subur tanpa pengelolaan dan pengaturan yang seksama, membuat pemerintaj tetap memilih opsi impor dari tahun ke tahun.
Semisal beras, gula, jagung, sayur, hingga buah-buahan segar masih diimpor demi pemenuhan pangan nasional. Baru-baru ini pemerintah daerah pun melakukan upaya strategis untuk menyokong program pusat yaitu ketahanan pangan.
Kebon Ambu, salaj satu program di Kabupaten Purwakarta contohnya, memiliki luas sekitar 10 hektare merupakan kebun milik pemerintah daerah yang didedikasikan untuk penelitian, pengembangan holtikultura, serta sebagai tempat pendidikan dan wisata bagi masyarakat, khususnya anak-anak sekolah. Selain hasil pertanian, Kebun Ambu dalam kegiatannya juga menyediakan bahan-bahan pokok dengan harga terjangkau. Maka hal ini disebut akan menjadi solusi kebutuhan pangan bagi warga.
Luas tanah satu deka hektar tersebut sejalan dengan program gerakan pangan murah yang kerap dilakukan oleh pemerintah daerah. Namun perlu juga menakar se-efektif apa program tersebut dalam mengentaskan minimnya pasokan kebutuhan masyarakat. Karena data dan fakta tetap menunjukkan krisis pangan yang kerap dialami oleh Indonesia. Padahal Indonesia adalah negara agraris.
Pemerintah seyogyanya tidak sekadar melakukan gerakan pangan murah yang bersifat tahunan, akan tetapi adanya kebijakan tersebut diperkuat dengan peningkatan alokasi anggaran tanaman pangan, peningkatan insentif petani pangan, pupuk dengan harga terjangkau, dan kebijakan tarif yang mampu memproteksi kegiatan impor dan memperkuat peran Bulog utuk menyangga harga pangan.
Hal ini memang tidak mudah, apalagi rencana pemerintah untuk menghentikan impor pada komoditas pangan tertentu akan mulao dicanangkan di tahun 2025 nanti harus betul-betul diiringi dengan upaya strategis dalam meningkatkan produksi pangan.
Rencana stop impor disampaikan langsung oleh Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pangan yaiti Zulkifli Hasan atau lebih dikenal Zulhas. Beliau menyatakan keseriusan pemerintah dalam mewujudkan visi swasembada pangan. Maka dari itu, dua tahun ke depan perlu kerja keras dalam meluluskan visi tersebut (menpan.go.id, 10/12/24).
Rencana ini diragukan oleh beberapa pakar. Dwi Andreas Santosa, seorang guru besar di Fakuktas Pertanian Institut Pertanian Bogor menyatakan wajar jika pemerintah stop impor tahun 2025 karena stok pangan yang melimpah dan memadai, tapi bagaimana dengan tahun-tahun ke depan. Upaya apa yang bisa dilakukan ketika hama dan badai Elnino melanda dan merusak hasil pertanian? Ini pun harus dipikirkan oleh pemerintah (bbc.com, 13/12/24).
Satu negara dengan kekayaan melimpah memang sudah saatnya memikiki ketahanan pangan nasional yang kuat. Sehingga tidak perlu lagi impor, yang justru melemahkan kondisi petani lokal. Bahkan National Food Agency/Badan Pangan Nasional mendorong untuk fokua menyiapkan pangan domestik, dalam rangka mendukung rencana swasembada pangan.
Selain itu, kebijakan lain yang bisa dipertimbangkan agar visi swasembada pangan terwujud, salah satunya adalah mulai mengurangi swastanisasi sektor pertanian, menyediakan fasilitas serta kebutuhan untuk pengembangan pertanian. Poin yang tidak kalah penting yaitu mengunci rapat kran impor.
Indonesia dengan tanah surganya, walau bagaimana pun jika pengolahan dan pengelolaannya serius dilakukan oleh pemerintah pasti akan memberikan kelimpahan yang luar biasa. Tidak akan ada lagi cerita petani gula menumpahkan gulanya, petani sayur membuang sayurnya ke jalan, peternak susu tidak bermandikan susu akibat kekecewaan pada pemerintah karena lebih memilih impor.
Maka, efektif tidaknya gerakan pangan murah akan berjalan sebagaimana mestinya jika gayung bersambut dengan kebijakan yang pro kepada petani dan sektor pertanian.
Islam sebetulnya menyatakan dalam sebuah hadits bahwa manusia itu berserikat pada tiga hal; air, api, dan padang rumput. Implementasinya bisa menjadi pilihan dalam penetapan kebijakan.
Baik kiranya mengadopsi langkah konkrit guna menguatkan swasembada pangan. Karena manusia itu berserikat atau akan selalu bergantung pada tiga hal seperti yang disebutkan diatas. Maka dari itu, pengelolaan padang rumput yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah lahan pertanian, hutan, perkebunan, juga laham agraria lainnya harus dikelola langsung oleh pemerintah.
Wallahu'alam
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.