Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Rifky Ali

Hukum Garansi dalam Transaksi Jual Beli

Agama | 2024-12-18 12:11:34

Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa banyak produk yang dikelurkan pabrik barang atau industri lalu didistribusikan ke pasaran umum. Dalam hukum ekonomi, semakin banyak barang yang dikeluarkan maka juga semakin ketat persaingan sesama prudusen. Sering terbenak, apakah persaingan tersebut dilegalkan dalam islam?. Tentu jawabannya islam mebenarkannya selagi masih menjunjung tinggi nilai kebaikan dan kemaslahatan. Sebagaimana inti kandungan dari QS Al-Maidah 48. "Allah hendak mengujimu tentang karunia yang telah dia anurahkan kepadamu. Maka, berlomba-lomblah dalam kebaikan"

Persaingan itu tergambar didalam saling berlomba-lombanya produsen untuk melayani konsumennya, Termasuk produk yang dipasarkan dan cara pemasaran produk itu. Kita ketahui seksama, motivasi produsen adalah keuntungan. Hal itu berhasil dengan meningkatnya pembelian produk. Tidak peduli, besar atau kecil laba yang diraih olehnya, yang paling terpenting produk itu terjual di pasaran. Inilah langkah yang dipilih oleh produsen. Sehingga yang sering tampil dalam ajang promosi adalah kualitas, sesuai tren zaman, harga saing dan up to date serta garansi produk.

Semisal, membeli produk headset bluetooth/TWS dengan merek tertentu, kualitas headset ini cukup terkenal di pasaran. Namun, ada garansi yang berlaku dalam pembelian headset ini. Tercatat di dalam packing kemasannya, bahwa jika selama 3 bulan pemakaian, headset bluetooth ini tidak berfungsi, maka bisa dikembalikan dan ditukarkan ke toko dimana konsumen itu membelinya, dengan syarat menyertakan bukti garansi dan kemasanya.

Sekarang, apakah dibenarkan oleh syariat tindakan menukarkan headset bluetooth/TWS yang sudah digunakan tersebut? Dan apakah tidak berfungsi tersebut termasuk bagian dari cacatnya barang sehingga boleh bagi pembelinya untuk meminta kompensasi/ganti rugi?

Di dalam kitab Athmadu al-Ainain fi Ba’dli Ikhtilâfi al-Syaikhain terbitan Al-Hidayah halaman 124, karya Syekh Abu Shabirin terdapat penjelasan analogi sebuah kasus transaksi jual beli. Beliau mengatakan “Permasalahan. Ada seorang pembeli baju dengan harga 10 dirham, kemudian digunakannya selang beberapa waktu lamanya. Otomatis nilainya berkurang, kurang lebih 5 dirham. Lalu baru tampak adanya cacat yang dikenal sebagai al-burri atau biasa dikenal dengan al-‘uwaari dan semacamnya, yang baru bisa diketahui terdapat pada baju itu - apalagi al-kattan – maka tidak ada khiyar baginya karena memungkinkannya bisa melihat cacat yang dimaksud setelah [mencucinya] dengan sikat dan semacamnya, sebagaimana cara ini dikatakan oleh para ahli kain. Pendapat orang yang mengatakan “tidak ada sarana lain untuk mengetahui cacatnya barang selain memakainya terlebih dulu” dalam hal ini tidak bisa dibenarkan atasnya. Sebab, jual beli ini, berbeda kondisinya dengan jual beli baju yang terlipat - yang telah kami nyatakan sah pembeliannya – yang tidak mungkin bisa melihat cacatnya baju tanpa membukanya terlebih dahulu, sehingga bisa menyebabkan berkurangnya nilai jualnya. Dalam hal ini pembeli bisa mengembalikan baju itu, meskipun sehabis dibuka, dengan tanpa kompensasi. Dan bila pembeli sekira menahan pengembalian, maka jika salah satu penjual dan pembeli ridlo dengan pengembalian tanpa adanya kompensasi, maka akad itu yang terjadi. Dan jika penjual tidak ridlo, maka pembeli memberikan kompensasi atas perkara baru yang terjadi, yaitu pemakaian barang dagangan. Atau sebaliknya, jika ada keridlaan, maka penjual memberikan kompensasi berupa harga lama. Hal ini terjadi jika keduanya bersepakat atas salah satu dari ketentuan ini. Dan bila tidak bersepakat, maka pendapat yang paling shahih adalah mengabulkan orang yang menuntut penahanan dan mengembalikan barang (pembeli) dengan kompensasi harga lama.”

Dari penjelasan tadi, dapat kita ambil beberapa poin rumusan sebagai berikut:

1. Secara fakta di tempat transaksi, barang yang dijual tidak terdapati cacat fisik

2. Diketahuinya kecacatan barang setelah beberapa waktu dalam pemakaian

3. Keadaan cacatnya adalah ciri khas barang menurut pakar barang tersebut

4. Bila mengetahuinya cacat barang adalah masih masuk dalam kerangka umum pendapat pendapat ahli tentang barang itu, maka khiyar pengembalian pembeli terhadap barang masih dibenarkan. Namun, bila cacat barang itu diketahui di luar batasan pendapat para ahli di bidangnya, maka klaim pembeli terhadap cacatnya barang boleh untuk ditolak oleh penjual

5. Terlebih dahulu adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang pengembalian barang sebab terjadi kecacatan

Era sekarang, kita kenal sitilah garansi dengan artian engembalikan barang yang baru diketahui cacatnya di kemudian hari. Rumusan kasus tadi, membawa kita untuk mengambil jalan qiyas dalam garansi pembelian produk headset bluetooth/TWS. Ini pasti terdapat ketentuan dan syarat yang harus disertakan oleh penjual. Bila penjual menetapkan syarat bahwa barang tidak bisa dikembalikan setelah jangka waktu tertentu, maka pihak pembeli tidak bisa memaksakan diri untuk pengembaliannya. Karena syarat yang dimaksud oleh penjual adalah merupakan bagian dari manfaat yang dijanjikan atas barang dan hak pembeli adalah bisa menerima manfaat tersebut.

Kesimpulanya, garansi merupakan bagian dari inovasi jual beli yang dibenarkan secara syariat. Kedudukan garansi sama dengan akad jual beli barang yang cacat, di mana penjual memiliki kewajiban memberikan kompensasi kepada pembeli bila produknya tidak memiliki kualitas seperti yang tertera. konmpensasi tersebut terkadang bisa diganti dengan barang baru yang sejenis atau dengan mengembalikan harga beli sesuai harga lama barang. Setiap pihak yang melakukan transaksi jual beli dengan adanya garansi harus wajib menepati syarat yang dijanjikannya. Yang diwajibkan atas syarat, adalah kejelasan ketentuan yang dimuat dalam syarat. Bila disyaratkan batas waktu pemakaian adalah 3 bulan, kemudian lebih dari waktu 3 bulan, maka permintaan garansi tidak dibenarkan dalam transaksi jual beli secara Syari'ah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image